BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dalam lingkup perilaku
seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak
normal sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap dan nilai budaya
masyarakat tentang apa yang normal dan tidak normal berbeda jauh. Sikap ini
mempengaruhi perilaku seksual mereka dan kepuasan yang mereka capai atau tidak
mereka capai dari aktivitas seksual. Dalam seks, seperti juga dalam area
perilaku lainnya, garis batas antara normal dan tidak normal tidak selalu
jelas. Seks, seperti halnya makan, adalah fungsi yang alamiah. Namun fungsi
alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, cerita rakyat, budaya, takhayul,
agama, dan keyakinan-keyakinan moral.
Beberapa waktu belakangan ini
sangat fenomental dengan seorang pria yang hidup di raga yang salah, seperti
halnya homoseksual dan kelainan-kelainan lainnya di dalam seksual. Tentu kita
sering kali melihat bahwa ada orang-orang yang dilahirkan sebagai pria, di
tandai dengan alat kelamin dan hormon-hormon yang mengikutinya, namun
bertingkah laku dan bersifat layaknya seorang perempuan , hal tersebut dapat
dilihat hal-hal yang kasat mata sampai yang tidak, misalnya dari cara
berpakaian,cara berbicara, teman sepermainan atau orientasi seksual.
Bagi sebagian dari kita
(budaya timur) fenomena demikian masih dianggap sebagai hal yang aneh,anomaly
dewan ataupun apapun istilah-istilah yang menerangkan kata “tidak wajar”.
Memang sah-sah saja apabila orang di anggap demikian. Akan tetapi satu hal yang
perlu kita ingat, bahwasanya kitatidak bisa selalu semena-mena menyalahkan
orang-orang tersebut, karena pada dasarnya mereka juga mungkin tidak mau
menjadi seperti mereka saat ini.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan latar belakang, maka dapat merumuskan suatu permasalahan yaitu:
1.
Menjelaskan tentang gangguan identitas gender
2. Menjelaskan
tentang parafilia (paraphilias) !
3. Mengidentifikasi
disfungsi seksual (sexual disfunction) !
4. Mengetahui
pencegahan dan penanganan masalah seksual !
3.
Tujuan
1. Mengetahui
tentang gangguan identitas gender
- Mengetahui tentang parafilia (paraphilias),
- Untuk mengetahui disfungsi seksual (sexual disfunction),
- Mengetahui cara pencegahan dan penanganan masalah seksual !
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Gangguan
Identitas Gender
Identitas gender (gender identity) adalah bagaimana
seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita. Identitas gender
secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal, identitas
gender konsisten dengan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender (gender identity disorder) terjadi
konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.
Ganguan identitas gender dapat
berawal sejak masa kanak-kanak. Anak-anak dengan gangguan ini menemukan bahwa
anatomi gender merupakan sumber distress yang terus menerus yang intensif.
Diagnosis tidak digunakan hanya untuk melabel anak perempuan “tomboy” dan anak
laki-laki “banci”. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara kuat
menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memaksa buang air kecil
sambil berdiri atau berusaaha bersikeras tidak mau menumbuhkan dadanya; anak
laki-laki yang menolak penis dan testis mereka) atau pada mereka yang berfokus
pada pakaian atau aktifitas yang merupakan stereotip dari gender lain.
Diagnoasis gangguan identitas gender
(dulu disebut transeksualisme) diberikan baik pada anak-anak atau orang dewasa
yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender
yang berlawanan dan yang secara terus-menerus menunjukkan ketidaknyamanan
terhadap anatomi gender mereka.
Walau angka keseluruhan gangguan
gender tidak diketahui, gangguan ini diyakini muncul sekitar lima kali lebih
banyak pada pria daripada wanita (Zucker dan Green,1992). Gangguan ini memiliki
pola yang berbeda-beda. Bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja, ketika
anak dapat menerima identitas gender mereka. Atau bisa juga bertahan selama
masa remaja dan atau dewasa dan menyebabkan identitas transeksual
(Cohen-Kittenis dkk.,2001). Anak tersebut bisa juga mengembangkan orientasi gay
atau lesbian pada saat remaja (Zucker dan Green, 1992)
Banyak orang dewasa transeksual
melakukan operasi perubahan gender. Pada operasi ini akan dibentuk alat
genetikal eksternal yang semirip mungkin dengan alat genetikal yang diinginkan.
Orang yang melakukan operasi ini dapat melakukan aktifitas seksual, bahkan
mencapai orgasme. Namun mereka tidak mampu mempunyai atau melahirkan anak
karena tidak mempunyai organ reproduksi internal dari gender baru yang dibentuk
ini. Peneliti secara umum menemukan hasil psikologis yang menyenangkan dari
operasi perubahan gender. Pria yang mencoba melakukan perubahan gender
jumlahnya lebih banyak daripada wanita, sekitar tiga atau empat banding satu.
Tetapi secara umum hasilnya lebih disukai untuk kasus wanita menjadi pria.
Mungkin salah satu alasannya adalah penerimaan masyarakat yang lebih besar pada
wanita yang memiliki hasrat untuk hidup sebagai pria. Alasan lain yang muncul
adalah wanita dengan gangguan identitas gender secara umum lebih dapat
menyesuaikan diri daripada rekan prianya sebelum operasi (Kockott dan Fahrner,
1998). Pasien pria menjadi wanita yang pada operasi tidak menyisakan tanda
apapun (seperti bekas luka pada payudara atau sisa jaringan erektil) ditemukan
memiliki penyesuaian diri yang lebih baik daripada yang operasinya yang kurang
sukses dalam membentuk mereka menjadi wanita (Ross dan Need, 1989).
Identitas gender berbeda dengan
orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis pada anggota gender
mereka sendiri, tetapi identitas gender mereka (perasaan menjadi pria atau
wanita) konsistensi dengan anatomi seks mereka. Mereka tidak memiliki hasrat
untuk menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik pada alat
genital mereka, seperti yng dapat kita temukan pada orang-orang dengan ganguan
identitas gender.
Tidak seperti orientasi seksual gay
atau lesbian, ganguan identitas gender sangat jarang ditemukan. Orang dengan
gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari
anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai guy atau
lesbian. Gender yan mereka miliki sebelumnya merupakan kesalahan dimata mereka.
Dari sudut pandang mereka, meraka terperangkap pada tubuh dengan gender yang
berbeda.
Ciri-ciri klinis dari gangguan
identitas gender :
b. Terhadap
identifikasi yang kuat dan persisten gender lainnya.
Setidaknya
empat dari lima ciri dibawah ini diperlukan untuk memberikan diagnosis tersebut
pada anak-anak :
· Ekspresi
yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lainnya atau
ekspresi dari kepercayaan bahwa dirinya adalah bagian dari gender lain.
· Preferensi
untuk mengenakan pakaian yang merupakan streotipikal dari gender lainnya.
· Adanya
fantasi yang terus-merus mengenai menjadi anggota dari gender lain, atau asumsi
memainkan peran yang dilakukan oleh anggota gender lain dalam permainan
“pura-pura”.
· Hasrat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang dan permainan yang merupaka streotip dari gender lainnya.
· Preferensi
yang kuat untuk memiliki teman bermainan dari gender lainnya (pada usia dimana
anak-anak biasanya memilih teman bermain dari gendernya sendiri).
Remaja dan
orang dewasa biasanya mengekspresikan keinginan untuk menjadi bagian dari
gender lainnya, sering kali “berperilaku” sebagai anggota gender lainnya, dan
berharap untuk hidup sebagai bagian dari gender lainnya atau percaya bahwa
emosi dan perilaku mereka setipe dengan gender lainnya.
c. Perasaan
tidak nyaman yang kuat dan terus ada dengan anatomi gendernya sendiri atau
dengan perilaku yang merupakan tipe dari peran gendernya.
Pada
anak-anak, ciri-ciri ini biasanya muncul : anak laki-laki mengutarakan bahwa
alat genetikal eksternal mereka menjijikan, atau akan lebih baik jika tidak
memiliki, menunjukkan penolakan pada mainan laki-laki, permainan “maskulin”,
dan permainan yang kasar serta jungkir balik. Anak perempuan untuk memilih
tidak buang air kecil sambil duduk, menunjukkan keinginan untuk tidak
menumbuhkan payudara atau menstruasi, atau menunjukkan penolakan pada pakaian
“feminim”. Remaja dan dewasa biasanya menunjukkan bahwa mereka dilahirkan
dengan gender yang salah dan mengekspresikan harapan untuk intervensi medis
(misalnya: penanganan hormon atau pembedahan) untuk menghilangkan karakteristik
seksual mereka dan untuk karakteristik dari gender lainnya.
d. Tidak ada
“kondisi interseks” seperti anatomi seksual yang ambigu, yang mungkin
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut.
e. Ciri-ciri
tersebut menimbulkan distress yang serius atau hendaknya pada area penting yang
terkait dengan pekerjaan, sosial atau fungsi lainnya.
Orang-orang yang mengalami
gangguan identitas gender (GIG) atau transeksualisme, merasa bahwa jauh didalam
dirinya merupakan orang yang
berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini dengan kata lain mereka merasa terjebak didalam
tubuh yang dimilikinya disaat ini. Meraka tidak menyukai pakaian dan aktifitas
yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Ia dapat mencoba berpindah ke kelompok gender yang berbeda bahkan dapat menginginkan operasi untuk mengubah tubuhnya agar ssuai dengan identitas
gendernya. Ketika identitas gender bermula di masa kanak-kanak, hal itu di
hubungkan dengan banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian ataupun
beraktifitas seperti lawan jenis. Gangguan identitas gender pada anak-anak
biasanya dapat terdeteksi oleh orang tua ketika anak berusia antara 2 hingga 4
tahun (Green&Blanchhard,1955). Dan gangguan ini terjadi enam kali lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki di bandingkan anak perempuan (Zucker,
Bradley,& Sanikhani,1997).
1. Karakteristik Identitas Gender
Orang dengan gangguan
identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa dirinya adalah anggota jenis kelamin yang
berlawanan. Orang dengan gangguan identitas gender tidak menyukai pakaian
ataupun aktivitas yang biasa di lakukan orang dengan jenis kelaminnya, dan
sering memilih untuk melakukan cross-dressing. Transeksual pada umumnya mengalami
kecemasan atau depresi, yang kemungkinan berkaitan dengan perlakuan yang
negative yang di dapat dari masyarakat. Gangguan identitas gender biasanya di
mulai pada masa kanak-kanak dan dapat terdeteksi oleh orang tua sejak usia 2
hingga 4 tahun (Green & Blanchard,1995). Gangguan identitas gender lebih
banyak terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley,&
Sanikhani,1997).
2. Penyebab
Saat ini, masih belum ada
pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau
nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentative bahwa gangguan tersebut
disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak
dapat memberikan mengantribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon
(Carol,2000). Faktor biologis lain, seperti kalainan kromosom dan struktur
otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang di anggap
dapat di sebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor social dan
psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang
melakukan croos-dressing, misalnya,
kemungkinan enkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi seks anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green,1974,1997; Zuckerman
& Green,1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan
mengapa seorang laki-laki dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ
seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan ,dan akhirnya
memilih untuk hidup sebagai laki-laki. Dapat pula penyebabnya karena mendapatkan
perlakuan yang tidak semestinya akibat keinginan orang tua terhadap jenis
kelamin berbeda atau kurangnya teman bermain yang sejenis selama tahun awal
sosialisasi.
3.
Terapi
a.
Body
Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang di lakukan adalah mengubah tubuh
seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih
dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender
yang diinginkan (Harry Benyamin Internasional Gender Dysphoria
Assosiation,1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik,
elektrolisis untuk membuang rambut diwajah, serta mengomsusian hormone perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan
operasi perubahan kelamin. Keuntungan operasi kelamin telah banyak
diperdebatkan selama bertahun-tahun. Disatu sisi, hasil penelitian menyatakan
bahwa tidak ada keuntungan sosial yang
bisa di dapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa
pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta
mendapatkan keuntungan lain seperti kepuasan seksualyang lebih tinggi.
b.
Pengubahan
Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih
untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada
awalnya, identitas gender di anggap mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah.
Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses.
Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan
transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender. Gangguan identitas gender atau transeksualisme
adalah ketidakpuasan psikologis terhadap gender biologisnya sendiri, gangguan
dalam memahami identitasnya sendiri, sebagai laki-laki atau perempuan.
Tujuan utamanya bukan rangsangan seksual tetapi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenisnya. Biasanya yang bersangkutan merasa
seolah terperangkap dalam tubuh dengan jenis kalamin yang salah.
Dibeberapa budaya, individu dengan identitas gender yang keliru sering dikaitkan dengan
kemampuan cenayang atau peramal dan diperlakukan sebagai figur yang dihormati
namun jarang justru dijadikan objek ingin tahu, cemoohan hingga sasaran
kekerasan.
Gangguan identitas gender “berbeda” dengan individu interseks atau
hermaphrodite dimana yang bersangkutan terlahir dengan alat kelamin yang tidak
jelas akibat abnormalitas hormonal atau abnormalitas lainnya. Sebaiknya
individu dengan gangguan identitas gender tidak menunjukkan abnormalitas fisik.
Para ilmuan belum menemukan adanya peran biologis yang spesifik terhadap
gangguan identitas gender. Untuk pemulihan, dengan ataupun tanpa bantuan
terapis, dilakukan kalibrasi ulang terhadap orientasi gender yang sesuai dengan
jenis kelamin yang dimilikinya.
Itu sebabnya izin untuk membatalkan sugesti yang mengatakan terperangkap
pada tubuh yang salah dan mengembalikan orientasi gender sesuai dengan jenis
kelamin yang dimilikinya, harus datang dari dalam diri yang bersangkutan.
Gangguan identitas gender menurut psikologis adalah ketidakpuasan
psikologis terhadap gender biologisnya sendiri, gangguan dalam memehami
identitasnya sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Tujuan utamanya bukan
rangsangan seksual tetepi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan
lawan jenisnya.
Esensi maskulinitas atau femininitas adalah perasaan pribadi yang tertahan dalam
yang disebut identitas gender. Gangguan identitas gender muncul bila gender fisik seseorang tidak
konsisten dengan sense identitas orang itu. Orang-orang dengan gangguan ini
terperangkap dalam tubuh orang dengan jenis kelamin yang salah. Gangguan identitas gender atau yang dulu disebut transeksualisme harus dibedakan
dengan fitisisme transvestik yaitu sebuah
gangguan parafilik dimana orang-orang, biasanya laki-laki terangsang secara
seksual dangan mengenakan perlengkapan pakaian yang berhubungan dengan lawan
jenis. Dalam kasus gangguan identitas gender, tujuan utamanya bukan seksual
tetapi lebih keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenis kelaminnya.
Gangguan identitas gender juga harus dibedakan dengan pola rangsangan
homoseksual dan tingkah laku maskulin. Individu semacam itu tidak merasa
sebagai perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki atau mamiliki
keinginan untuk menjadi perempuan (atau sebaliknya).
Berlawanan dengan ini dibudaya
Barat, toleransi sosial terhadap mereka relatif rendah.
Perlakuan terbaik bagi mereka adalah mereka dijadikan sebagai objek
keingintahuan dan perlakuan terburuknya adalah menjadikan mereka sebagai bahan
cemoohan atau bahkan sasaran kekerasan.
Gangguan gender, misalnya waria. Dari sudut psikologi-ilmiah, waria
“condong” digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disorders). Gangguan ini ditandai dengan adanya
perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin. Dengan begitu, ia berperilaku
seperti seperti lawan jenisnya.
Yang masuk dalam golongan ini adalah; transeksualisme, gangguan identitas
jenis masa anak-anak
(pratran-seksualisme) dan gangguan identitas jenis tidak khas (Pedoman
penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa. Tim Direkrorat kesehatan Jiwa, edisi
II, cetakan pertama,1985 halaman 223).
Perasaan tidak suka pada jenis kelamin ini bukan karena alat kelaminnya
terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga si empunya tidak mendapat kepuasan,
tetapi karena ia merasa alat kelaminnya tidak pada tempatnya. Dan perasaan
terus selalu menggaggu, sehingga ada keinginan untuk menghilangkan
kelaki-lakiannya (kalau ia merasa perempuan), atau sebaliknya.
Di kalangan awam, tidak sedikit yang memahami atau mempertautkan waria dengan homoseks, seakan-akan waria identik
dangan gay. Padahal, waria dan gay merupakan fenomena yang terpisah, betapapun
dalam hal-hal tertentu keduanya masih dapat di golongkan sebagai penyimpangan
seksual. Untuk itu ada baiknya kita lihat penggolongan gangguan yang lain
sebagai pembanding golongan identitas jenis , sehingga pemahaman akan waria
semakin jelas dan gamblang.
B. Parafilia
Kata parafilia (pharafilia) di ambil dari akar bahasa
Yunani “para”, yang artinya “pada sisi lain”, dan “philos” artinya “mencintai”.
Pada parafilia orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai
respons terhadap stimulus yang tidak biasa (pada sisi lain dari stimulus normal
). Menurut DSM-IV, parafilia melibatkan
dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat , yang bertahan selama 6
bulan atau lebih yang berpusat pada :
(1) objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutera, (2)
perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya, atau (3)
anak-anak dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan
persetujuan. Meskipun untuk menegakkan diagnosis ini tidak di butuhkan
kenyataan bahwa dorongan parafilia tersebut didemonstrasikan (orang dapat
merasa distress dengan adanya dorongan tersebut tetapi tidak
mendemonstrasikannya), orang dengan parafilia sering kali menampilkan perilaku
terbuka seperti ekshibisionisme dan voyeurisme.
Sejumlah penderita parafilia
dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi parafilia.
Sementara yang lainnya menggunakan stimulus parafilia saat berada di bawah
stress atau tekanan. Tetapi ada beberapa orang yang tidak dapat terangsang
kecuali jika menggunakan stimulus ini, baik secara nyata atau dalam fantasi.
Bagi sejumlah individu, parafilia adalah cara ekslusif untuk mencapai kepuasan
seksual. Kecuali masokisme seksual dan beberapa kasus khusus dari gangguan
lain, parafilia hampir tidak pernah di diagnosis pada wanita (Saligma &
Hardenburg, 2000). Bahkan pada mesokisme, diperkirakan bahwa pria yang
mendapatkan diagnosis ini lebih banyak daripada wanita dengan rasio 20 banding
1 (APA,2000).
Sejumlah penderita parafilia
secara relative tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Diantaranya
terdapat fetihisme dam vetihisme transvetik. Sedangkan yang lain, seperti
ekshibionisme dan pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia
yang paling berbahaya adalah sadism seksual yang dilakukan dangan pasangan
tanpa persetujuannya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban” tidak
mengetahui kalau dia sedang diintip.
Parafilia merupakan sekelompok
gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar
atau aktifitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan kata lain terdapat
deviasi dalam ketertarikan seseorang. Fantasi, dorongan, atau perilaku harus
berlangsung setidaknya 6 bulan dan menyebabkan distress. Seseorang dapat
memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang di miliki seseorang
parafilia (seperti memamerkan alat kelamin kepada orang asing yang tidak
memiliki kecurigaan apapun), tidak didiagnosis menderita parafilia jika
fantasia tau perilaku tersebut tidak dilakukan berulang.
Banyak orang sering kali
mengalami lebih dari satu parafilia dan pola semacam itu dapat merupakan aspek
gangguan mental lain, seperti skizofrenia, depresi atau salah satu gangguan
kepribadian. Telah diakui bahwa sebagian besar pengidap parafilia apapun
orientasi seksualnya adalah laki-laki.
Hal ini dikarenakan bahwa para pengidap parafilia mencari pasangan yang
tidak begitu saja menurutinya atau dengan melanggar hak orang lain secara ofensif. Gangguan ini sering kali
memiliki konsekuensi hukum.
b.
Macam-macam parafilia
1. Fetihism
Fetihism melibatkan
ketergantungan pada objek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual.
Objek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut
fetishes, dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, sticking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat di sukai atau bahkan
dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual. Ketertarikan terhadap fetishes
memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat di tahan. Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetihisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan
pada masa yang lebih awal.
2. Transvestic Fetishism
Merupakan gangguan saat
seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun
perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri
sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.
3. Pedofilia dan Inses
Pedofilia adalah orang dewasa yang
memperoleh kepuasan seksual yang melalui kontak fisik dan seksual dengan anak
prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan pengalaman melakukan
seks dengan orang dewasa. Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga
dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah
kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah
ayah dengan anak perempuan
4. Veyeurism
Adalah preferensi yang nyata
untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa
busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Orang yang mengalami gangguan
ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat
melihat kejadian ataupun saat membayangkan.
5.
Eksibionisme
Merupakan preferensi
mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genetikal kepada orang
yang tidak dikena, atau dengan membayangkan hal tersebut. Dalam sebagian besar
kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang
melihat. Sebagian besar eksibionis adalah
laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis,
serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal.
6. Frotteurism
Melibatkan kegiatan menyentuh
orang lain secara seksual. Biasa di lakukan di tempat-tempat ramai seperti
kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara dan alat
kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri pada paha atau
pantat orang tersebut.
7. Sadisme dan Masokisme Seksual
Sadisme seksual di tandai
dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara
menyakiti orang lain, baik secara fisik ataupun mental. Berbeda dengan pada
sadism, objek yang di sakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri
sendiri.
8. Mesokisme Sosial
Masokisme seksual melibatkan
dorongan kuat yang terus-menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan
seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat dicambuk, atau di buat
menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang
menyebabkan atau didasari oleh distress personal. Pada sejumlah kasus masokisme
seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada
rasa sakit atau malu.
c.
Perspektif
Teoritis
Para teoritikus psikodinamika
melihat banyak parafilia sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasi yang
tersisa dari periode Oedipal. Pikiran akan hilangnya penis di dalam vagina
secara tidak sadar disamakan dengan kastrasi. Orang yang memiliki kelainan
parafilia memungkinkan menghindar dari ancaman kecemasan kastrasi ini dengan
memindahkan rangsangan seksual pada aktifitas yang lebih aman, sebagai contoh,
pakaian dalan, anak-anak,atau memperhatikan atau menonton orang lain. Dengan
melindungi penisnya di dalam pakaian wanita, pria dengan fetihisme transvestik
melakukan tindakan simbolis dari pengingkaran bahwa wanita tidak mempunyai
penis, di mana hal ini dapat mengurangi kecemasan akan kastrasi dengan secara
tidak wajar memberikan bukti atas keselamatan wanita (dan dirinya sendiri).
Rasa terkejut dam kekuatan yang di tunjukkan oleh korban dari pria ekshibionism
secara tidak sedar memberikan kepastian bahwa ia memang memiliki penis. Sadisme
melibatkan pengidentifikasian, secara tidak sadar, pada ayah penderita yang
merupakan “pemicu” fantasi Oedipal dan sadism mengurangi kecemasan dengan
memberikan kesempatan untuk memainkan peran sebagai yang mengkastrasi. Beberapa
teoritikus psikoanalistik melihat masokisme sebagai cara untuk mengatasi
perasaan tentang seks yang saling bertentangan. Secara mendasar, seseorang
merasa bersalah akan seks, tetapi mampu akan menikmatinya sepanjang ia dihukum
karana melakukan itu. Orang lain memandang masokisme sebagai pengarahan kedalam
impuls agresif yang sebenarnya ditujukan pada ayah yang berkuasa dan
menakutkan, Seperti seorang anak yang merasa lega ketika hukumannya berakhir,
penderita dengan senang menerima penghinaan dan hukuman sebagai pengganti
kastrasi. Pandangan ini masih spekulatif dan controversial. Belun terdapat
cukup bukti langsung yang menunjukkan bahwa pria dengan parafilia memiliki
hambatan dalam mengatasi mengatasi kecemasan akan kastrasi.
Para teoretikus belajar
menjelaskan parafilia dalam kaitannya dengan
conditioning dan observation learning. Sejumlah objek
atau aktivitas secara tidak sengaja dihibingkan dengan rangsangan seksual.
Objek atau aktivitas tersebut kemudian mendapatkan kapasitas untuk menimbulkan
rangsangan seksual. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang memandang
stoking (Breslow, 1989). Pencapaian orgasme karena hadirnya objek menguatkan
hubungan erotis yang ada, terutama ketika terjadi berulang kali. Namun jika
kelainan fetish terjadi karena hubungan mekanis, kita dapat menduga orang akan
mengembangkan fetish terhadap stimulus yang dengan tanpa sengaja dan berulang
kali di hubungkan dengan aktivitas seksual, seperti sprei, bantal, bahkan
langit-langit rumah. Tetapi tidak arti dari stimulis memainkan peran utama.
Perkembangan perilaku fetish dapat tergantung pada pemberian arti erotis
terhadap stimulus tertentu (seperti pakaian dalam wanita) dengan melibatkan
stimulus-stimulus tersebut dalam fantasi seksual dan ritual masturbasi.
d.
Pandangan
Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa
parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah
memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang di anggap tidak
pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat
multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Distrosi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukkan parafilia. Orang
dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya.
Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang
atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya.
Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia
yang muncul akibat kemampuan social yang tidak adekuat serta reinforcement yang
tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.
e.
Pendekatan
Penanganan
1.
Perspektif Teori Belajar
·
Stimulus
yang tidak biasa menjadi stimulus terkondisi untuk rangsangan seksual akibat
pemasangannya dengan aktivitas seksual di masa lalu.
·
Stimulus
yang tidak biasa dapat menjadi erotis dengan cara melibatkannya dalam fantasi
erotis dan masturbasi.
2.
Perspektif
Psikodinamika
Kecemasan kastrasi yang tidak
terselesaikan dari masa kanak-kanak yang menyebabkan rangsangan seksual
dipindahkan pada objek atau aktivitas yang lebih aman.
3.
Perspektif Multifaktor
Penganiayaan seksual atau
fisik pada masa kanak-kanak dapat merusak rangsangan seksual yang normal.
f.
Penanganan
Parafilia
Orang dengan parafilia
biasanya tidak mencari pananganan atas keinginan sendiri. Mereka biasanya
menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan penyerangan
seksual atau mereka dirujuk ke sebuah penyedia penanganan oleh pengadilan.
Dalam kondisi ini, tidak mengherankan bahwa pelaku penyerangan seksual sering kali
melawan atau menolak penanganan. Terapis menyadari bahwa penanganan dapat
menjadi sia-sia, jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka.
Namun demikian, bukti menunjukkan bahwa sejumlah bentuk penanganan, terutama
terapi perilaku dan terapi kognitif-behavioral (CBT), dapat membantu pelaku
penyerangan seksual yang ingin mengubah perilaku mereka. Salah satu teknik behavioral yang digunakan untuk menangani parafilia
adalah aversive conditioning. Tujuan
dan penanganan ini adalah membangkitkan respon emosional negatif pada stimulus
atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik ini, stimulus yang membangkitkan
rangsangan seksual (misalnya celana dalam) dipasangkan berulang kali dengan
stimulus aversif (misalnya kejutan listrik) dengan harapan agar stimulus
tersebut juga akan menjadi stimulus aversif. Keterbatasan mendasar dari aversive conditioning adalah hal ini
tidak dapat membantu individu untuk mendapatkan perilaku yang lebih adaptif
sebagai ganti dari pola respon maladaptif. Ini dapat menjelaskan mengapa
peneliti menemukan bahwa program kognitif-behavioral. Yang lebih luas yang ditujukan untuk menangani ekshibi~ionisme dan
menekankan pada pengembangan pemikiran adaptif, keterampilan sosial, dan
keterampilan mengatasi stress lebih efektif daripada program lain yang
didasarkan pada terapi aversif (Marshall Eceles & Barbarce, 1991).
Sensitisasi tertutup (covert
sensitization) adalah variasi dari aversive conditioning di mana pemasangan
stimulus aversive dengan perilaku bermasalah terjadi dalam imajinasi.
1.
Terapi
Parafilia
Karena
sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk
penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku
kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah
perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk
meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991) :
a) Berempati
terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum
b) Memberitahukan
jenis-jenis perawatan membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan
timbul apabila tidak dilakukan treatment
c) Memberikan
intervensi paradoksikal, dengan mengekspresikan keraguan bahwa orang tersebut
memiliki motivasi untuk menjalani perawatan
d) Menjelaskan
bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien;
dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus
diucapkan atau diakui oleh pasien (Gerland & Dougher, 1991).
Terdapat
beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis,
behavioral, kognitif serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi
masyarakat dari perilaku kajahatan seksual.
2.
Terapi
Psikoanalitik
Pandangan
psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter,
sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa
belum memberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.
3.
Teknik
Behavioral
Para terapis
dari aliran bahavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk
mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia
merupakan ketertarikan terhadap objek seksual yang tidak pantas, prosedur yang
dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan
kejutan fisik saat seseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan
parafilia. Metode lain, disebut satiation;
seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi
dengan lantang.
Cara lain
yang dilakukan adalah orgasmie reorientation,
yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada
stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada
stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual
terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain
yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
4.
Penanganan
Kognitif
Prosedur
kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada
individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu
memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program
penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi
ketergantungan obat-obatan terlarang.
5.
Penanganan Biologis
Intervensi
biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan
melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru – baru ini, penanganan
biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan
adalah medroxyprogesterone acetate
(MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua
obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat
rangsangan seksual. Walaupun demikian terdapat masalah etis dari penggunaan
obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang
mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (prozac)
telah digunakan, karena obat tersebut kadang–kadang efektif untuk mengobati
obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang
serupa dengan parafilia.
6.
Usaha Hukum
Dengan hukum
ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak
berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya tersebut di susun dalam sebuah
cerita dengan berbagai aturan dan prosedur yang di sepakati bersama dan
memiliki makna fiksional bagi keduanya, gangguan seksual dan identitas gender.
C. Disfungsi
Seksual
Disfungsi
seksual (sexual dysfunctions)
meliputi masalah dalam minat, rangsangan, atau respon seksual. Gangguan ini
sering kali merupakan sumber disstres bagi orang yang mengalaminya dan bagi
pasangan mereka. Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung
memiliki sejumlah ciri yang sama. Sejumlah kasus disfungsi seksual telah ada sepanjang hidup individu, dan
karena itu diberi label disfungsi seumur hidup. Pada kasus disfungsi yang
diperoleh (acquired disfunction),
awal masalah terjadi setelah satu periode (atau setidaknya kemunculan satu
kali) dari fungsi normal. Pada kasus disfungsi
situasional, masalah muncul pada sejumlah situasi (sebagai contoh, dengan
pasangan tertentu), tetapi tidak pada situasi yang lain (misalnya, dengan
kekasih atau ketika bermasturbasi), atau pada saat-saat tertentu tetapi tidak
pada saat lain.
Pada kasus
disfungsi menyeluruh (generalized dysfunction),
masalah muncul pada semua situasi dan pada setiap saat individu melakukan
aktivitas seksual. Untuk mendapatkan sudut pandang mengenai disfungsi seksual,
pertama-tama kami akan menjabarkan pola normal dari respon seksual. Kemudian
kami mengeksplorasi berbagai tipe disfungsi seksual dan metode yang digunakan
untuk menanganinya.
a.
Siklus
Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi
pemulaan atau penyelesaian siklus respons seksual. Sebagian besar pemahaman
kita mengenai siklus respons seksual didasarkan pada hasil kerja William
Masters dan Virginia Johnson yang merupakan perintis penelitian seks.
Berdasarkan hasil kerja mereka dan beberapa orang lainnya, seperti terapis seks
Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalam empat fase
yang berbeda :
1.
Fase
Keinginan
Fase ini melibatkan fantasi
seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual. Timbulnya fantasi dan
hasrat seksual adalah normal; pertanyaannya adalah “Seberapa besar (atau
seberapa kecil) minat seksual yang dikatakan normal?”
2.
Fase
Perangsangan
Fase ini melibatkan perubahan
fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsangan seksual. Dalam
merespons stimulasi seksual detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah
meningkat. Perangsangan seksual melibatkan dua refleks seksual yang penting,
ereksi pada pria dan lubrikasi vagina (“basah”) pada wanita. Pada pria ereksi
terjadi ketika pembuluh darah dalam jaringan yang ada di dalam penis membesar
untuk memungkinkan aliran darah yang meningkat memperbesar jaringan. Pada
wanita, payudara akan membesar, puting susu akan berereksi. Darah memenuhi
genital, menyebabkan klitoris membesar. Vagina melebar dan membesar, dan
lubrikasi muncul karena pembesaran pembuluh darah di vagina mendorong cairan
keluar melalui membran kapiler.
3.
Fase Orgasme
Baik pada pria dan wanita,
tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontraksi ritmik
involunter dari otot pelvis disertai dengan perasaan nikmat orgasme, seperti
ereksi dan lubrikasi adalah suatu refleks. Pada pria, kontraksi dari own pelvis mendorong cairan mani untuk
keluar melalui ujung penis pada saat ejakulasi. Pada wanita, otot pelvis yang
mengelilingi lapisan luar ketiga dari vagina berkontraksi secara refleks. Pada
pria dan wanita, kontraksi pertama adalah yang terkuat dan berjarak 0,8 detik
interval (lima kontraksi dalam 4 detik). Kontraksi selanjutnya lebih lemah dan
terjadi dalam rentang yang lebih lama.
Orang tidak dapat memaksakan
suatu orgasme. Demikian juga mereka tidak dapat memaksakan refleks seksual lainnya,
seperti ereksi dan lubrikasi vagina. Kita hanya dapat mengatur tahap respons
seksual dan membiarkannya terjadi secara alamiah. Mengatur tahap orgasme
melibatkan menerima stimulasi seksual yang adekua dan sikap mau menerima
kenikmatan seksual. Biasanya mencoba memaksakan orgasme justru akan mencegah
terjadinya orgasme itu sendiri.
4.
Fase
Resolusi
Fase terjadinya relaksasi dan
perasaan nyaman. Pada tahap ini pria secara fisiologi, tidak mampu mencapai
ereksi dan orgasme untuk suatu periode waktu tertentu. Namun, wanita mungkin
mempertahankan rangsangan seksual pada tingkat yang tinggi jika stimulasi
dilanjutkan dan mengalami orgasme ganda dalam suatu rangkaian yang cepat. Dalam
seks sama seperti area kehidupan lainnya, segala keharusan sering kali
merupakan tuntutan yang dipaksakan yang menimbulkan perasaan cemas dan tidak
mampu.
b.
Jenis-jenis
Disfungsi Seksual
DSM-IV mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori berikut :
1. Gangguan Hasrat Seksual (Sexual
Desire Disorder)
2. Gangguan Rangsangan Seksual (Sexual
Arousal-Disorder)
3. Gangguan Orgasme (Orgasme Disorder)
4. Gangguan Sakit Nyeri Seksual (Sexual
pain Disorder)
Tiga kategori yang pertama berhubungan dengan
tiga fase pertama dari siklus respons seksual.
1.
Gangguan
Hasrat Seksual
Gangguan hasrat seksual
merupakan gangguan dalam nafsu seksual atau suatu keengganan terhadap aktivitas
seksual genital. Orang dengan gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder) tidak
atau kurang, memiliki minat atau hasrat seksual. Biasanya terjadi karena
kurangnya atau tidak adanya fantasi seksual. Pasangan biasanya mencari bantuan ketika salah satu atau keduanya merasakan
bahwa tingkat aktivitas seksual dalam hubungan mereka menurun atau telah sampai
pada tingkat dimana minat dan hasrat seksual yang ada tinggal sedikit.
Kadangkala menurunnya hasrat hanya terbatas pada satu pihak pasangan. Pada
kasus lainnya, kedua belah pihak merasakan adanya dorongan seksual, tetapi
kemarahan dan konflik yang berhubungan dengan isu-isu lainnya menghambat
interaksi seksual mereka. Orang dengan gangguan seksual aversi (sexual aversion disorder) memiliki
keengganan yang kuat pada kontak seksual genital dan menghindari semua atau
hampir semua kontak genital dengan pasangan. Namun mereka dapat memiliki hasrat
dan menikmati kontak yang penuh kasih sayang atau kontak seksual nongenital.
Rasa jijik dengan segala bentuk kontak genital dapat berasal dari penganiayaan
seksual pada masa kanak-kanak, perkosaan, atau pengalaman traumatis lainnya.
Pada kasus lain, perasaan yang mendalam akan rasa bersalah atau rasa malu
terhadap seks dapat menimbulkan adanya respons seksual
Ada dua sub kategori gangguan
gairah seksual :
a)
Gangguan
seksual perempuan
Yaitu ketidakmampuan yang bersifat terus menerus untuk mencapai atau
mempertahankan kenikmatan seksual (lubrikasi dan pembengkakan genital) yang
diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual.
Gangguan ini dapat disebabkan karena distress yang mendalam efek fisiologis
langsung dari obat-obatan atau penyakit medis
umum.
b)
Gangguan
ereksi pada laki-laki
Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan
untuk menyelesaikan aktivitas seksual
Salah satu jenis gangguan ereksi yaitu impotensi, dimana laki-laki yang
bersangkutan tidak memiliki kekuatan dalam kendali selama aktivitas seksual.
Diagnosis gangguan gairah bagi perempuan : tidak terjadinya lubrikasi
vagina yang memadai dalam melakukan hubungan seksual secara nyaman. Sedangkan
pada laki-laki : terjadinya kegagalan yang terus menerus untuk mencapai atau
mempertahankan ereksi.
Penyebab umum pada perempuan :
·
Ketidaktahuan
perempuan dalam hal-hal yang dapat membuatnya terangsang.
· Kurang mengetahui anatomi tubuhnya sendiri.
· Kurangnya hormon estrogen
· Perasaan malu terhadap pasangan
·
Bersikap
diam apabila pasangan tidak menstimulasi dan tidak mengenakkan bagi kenyamanan
si perempuan selama melakukan hubungan seksual.
Sedangkan pada laki-laki :
·
Adanya
penyakit tertentu seperti : diabetes, penyakit ginjal, alkoholisme kronis
·
Pengaruh
obat-obatan yang dikonsumsi seperti : thorazine, prozac, antihipertensi
· Ketidakseimbangan hormon
· Faktor-faktor somatik dapat berinteraksi dengan faktor psikologis untuk
dapat menimbulkan ereksi tersebut.
2. Gangguan Orgasme
Orgasme atau klimaks seksual
adalah suatu refleks involunter yang menghasilkan kontraksi ritmik dari otot
pelvis dan biasanya disertai dengan perasaan nikmat yang kuat. Pada pria,
kontraksi ini disertai dengan keluarnya cairan mani. Ada tiga jenis spesifik
dari gangguan orgasme : gangguan orgasme wanita (female orgasmic disorder), gangguan orgasme pria (male orgasmic disorder), dan ejakulasi
dini (premature ejaculation).
Gangguan orgasme dilihat
sebagai suatu pola kesulitan mencapai orgasme atau ketidakmampuan untuk
mencapai orgasme setelah adanya hasrat dan rangsangan seksual yang normal.
Klinisi perlu membuat penilaian tentang apakah ada jumlah dan jenis stimulasi
yang “cukup” untuk mencapai respons orgasmik. Cakupan yang luas dari variasi
normal respons seksual perlu dipertimbangkan. Banyak wanita, sebagai contoh,
membutuhkan stimulasi klitoral langsung (yaitu stimulasi dengan menggunakan
tangannya sendiri atau pasangannya) untuk mencapai orgasme saat hubungan
vaginal. Hal ini tidak dapat dikatakan abnormal, karena klitoris bukan vagina,
klitoris adalah organ wanita yang paling sensitif secara erotis.
Pada pria, pola kesulitan
untuk mencapai orgasme setelah melalui pola hasrat dan gairah seksual yang
normal disebut dengan gangguan orgasme pria. Pria dengan masalah ini biasanya
dapat mencapai orgasme melalui masturbasi tetapi tidak melalui hubungan genital. Ejakulasi dini mengacu pada pola ejakulasi dengan stimulasi seksual yang
minimal. Hal ini dapat terjadi sebelum, pada saat, atau segera setelah penetrasi,
tetapi sebelum pria tersebut menginginkannya. Ada tiga jenis gangguan orgasme :
·
Gangguan
orgasme pada perempuan : ketiadaan orgasme setelah satu periode kenikmatan
seksual normal, tertundanya atau tidak
terjadinya orgasme dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual,
keadekuatan stimulasi seksual yang diterima.
Penyebabnya
antara lain :
§ Perempuan yang jarang atau tidak pernah melakukan masturbasi sebelum mereka
mulai melakukan hubungan seksual memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk
tidak mengalami orgasme. Kurangnya pengetahuan tentang seksual, terutama
ketidaktahuan akan anatomi genital mereka sendiri
§ Konsumsi alkohol kronis dapat menjadi faktor somatik
§ Perempuan memiliki ambang batas orgasme yang berbeda
§ Rasa takut akan kehilangan kendali. Seperti : berteriak tanpa kendali, hal
itu dapat membuat dirinya tampak bodoh atau pingsan
§ Perasaan nonseksual yang dimiliki pasangan tersebut dapat juga mempengaruhi
·
Gangguan
orgasme pada laki-laki dan ejakulasi prematur (dini).
Penyebab :
§ Takut bila pasangan hamil
§ Menyembunyikan rasa cinta
§ Mengekspresikan kekasaran
§ Takut untuk melepaskan kendali
§ Adanya cidera saraf tulang belakang atau penggunaan obat penenang tertentu.
Ejakulasi dini dapat terjadi
sebelum penis dimasukkan ke dalam vagina, namun lebih sering terjadi dalam
beberapa detik setelah kontak kelamin.
Ejakulasi dini umumnya
berhubungan dengan kecemasan yang tinggi. Laki-laki yang mengalami masalah
tersebut lebih responsif terhadap sentuhan.
3. Gangguan Nyeri Seksual
Pada dispareunia (dyspareunia), hubungan seksual
dihubungkan dengan rasa sakit atau nyeri yang berulang pada daerah genital. Rasa
sakit tersebut tidak dapat dijelaskan dengan penuh secara medis dan karena itu
diyakini memiliki komponen psikologis. Namun, banyak, bahkan mungkin hampir
semua, kasus nyeri saat berhubungan seksual dapat dilacak pada kondisi medis
yang mandasari, seperti kurangnya lubrikasi atau infeksi saluran urin.
Vaginismus melibatkan kejang involunter pada otot disekitar vagina ketika
terjadi penetrasi vaginal, sehingga membuat hubungan seksual terasa menyakitkan
atau tidak memungkinkan. Macam-macam gangguan nyeri seksual antara lain :
-
Dispareunia
: rasa nyeri berulang pada kelamin yang berhubungan dengan kontak kelamin dalam
hubungan seksual. Rasa nyeri terjadi ketika penis mulai memasuki vagina atau
rasa sakit terjadi setelah penetrasi
-
Vaginismus :
kejang berulang pada bagian luar ketiga pada vagina hingga ketingkat yang tidak
memungkinkan terjadinya kontak kelamin.
Rasa sakit genital yang berhubungan dengan
kontak kelamin dapat disebabkan oleh :
- Sintom-sintom depresif
- Kecemasan
- Masalah dalam perkawinan
- Ketidakmampuan pihak laki-laki untuk mempertahankan ereksi.
c.
Faktor
Penyebab Disfungsi
Seksual
1.
Faktor
Biologis
Penyakit atau kurangnya
produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan, atau respons seksual
2.
Faktor
Psikodinamika
Teoretikus psikodinamika
memperkirakan bahaya konflik tak sadar yang berasal dari masa kanak-kanak dapat
menjadi akar permasalahan dalam merespons rangsangan seksual
3.
Faktor
Psikososial
· Kecemasan akan performan muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap
kemampuan seseorang untuk memberikan performa seksual yang baik
· Riwayat trauma atau penganiayaan seksual
· Kurangnya kesempatan untuk mendapatkan ketrampilan seksual
· Pemaparan terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas
terutama seksualitas wanita
4.
Faktor
Kognitif
· Pengadopsian kepercayaan irasional, seperti kepercayaan bahwa seseorang
harus kompeten secara sempurna setiap saat, dapat menyebabkan kecemasan akan
performa
· Pada ejakulasi dini, gagal untuk mengukur peningkatan level tegangan
seksual yang menyebabkan ejakulasi
· Pengaruh kognisi seperti ketakutan untuk gagal, dapat menghambat respons
seksual yang normal
5.
Faktor
Hubungan
Masalah hubungan dan kegagalan
untuk mengkomunikasikan kebutuhan seksual
d.
Pendekatan
Penanganan Disfungsi Seksual
1.
Penanganan Biomedis
Terutama melibatkan penggunaan
obat-obatan untuk menangani disfungsi ereksi atau ejakulasi dini
2.
Terapi
Kognitif Behavioral (CBT)
Terapi seks, teknik
kognitif-behavioral singkat yang membantu individu dan pasangan untuk
mengembangkan hubungan seksual yang lebih memuaskan dan mengurangi kecemasan
akan performa
BAB 3
KESIMPULAN
Orang dengan gangguan identitas gender merasa
bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus ada dan
intensif. Orang dengan gangguan ini dapat mencoba untuk mengubah organ seks
mereka sehingga menyerupai lawan jenis, dan banyak yang melakukan operasi
penggantian gender untuk mencapai tujuan ini.
Gangguan identitas gender melibatkan kebingungan
seseorang akan perasaannya secara psikologis sebagai pria atau wanita dan
anatomi seksnya. Orientasi seksual berhubungan dengan arah ketertarikan seksual
seseorang terhadap anggota gendernya sendiri atau gender lawan. Tidak seperti
orang dengan gangguan identitas gender, orang dengan orientasi seksual guy atau
lesbian, memiliki identitas gender yang konsisten dengan anatomi gender mereka.
Parafilia adalah penyimpangan seksual yang
melibatkan timbulnya rangsangan terhadap stimulus tertentu seperti objek
non-manusia (misalnya sepatu atau pakaian), penghinaan atau pemberian rasa
sakit pada diri sendiri atau pasangan, atau anak-anak.
Parafilia mencakup ekshibisionisme, vetishisme,
transvestik fetishisme, voyeurisme, froterisme, vedovilia, masokisme seksual,
dan sadisme seksual. Meskipun sejumlah parafilia sebenarnya tidak membahayakan
(seperti fetishisme), yang lain, seperti vedovilia dan sadisme seksual, sering
membahayakan korban.
Parafilia dapat disebabkan oleh interaksi dari
faktor biologis, psikologis, dan sosial. Usaha untuk menangani parafilia harus
dikompromikan dengan fakta bahwa sebagian besar orang dengan gangguan ini tidak
ingin berubah.
Disfungsi seksual mencakup gangguan hasrat
seksual (gangguan hasrat seksual hipoaktif dan gangguan aversi seksual),
gangguan rangsangan seksual (gangguan rangsangan seksual wanita dan gangguan
ereksi pria), gangguan orgasme (gangguan orgasme wanita dan pria, dan ejakulasi
dini), dan gangguan rasa nyeri seksual (dispareunia dan vaginismus).
Disfungsi seksual dapat berasal dari faktor
biologis (seperti penyakit atau efek alkohol dan obat-obatan lain), faktor
psikologis (seperti kecemasan akan performa, konflik yang tidak terpecahkan
atau kurangnya kompetensi seksual), dan faktor sosio-kultural (seperti
pembelajaran budaya yang membatasi secara seksual).
Terapis seks membantu orang untuk mengatsi
disfungsi seksual dengan meningkatkan harapan self-efficacy, mengajarkan kompetensi seksual, memperbaiki
komunikasi seksual, dan mengurangi kecemasan akan performa.
Hal ini meliputi penanganan hormon pembedahan
vaskular, dan yang paling umum, penggunaan obat-obatan untuk membantu
membangkitkan ereksi (Viagra) atau penundaan ejakulasi (antidepresan).
DAFTAR PUSTAKA
Davidson,Gerald, dkk.2006.Psikologi
Abnormal.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Nevid S.Jefrey dkk.2005.Psikologi
Abnormal.Jakarta: PT.Gelora Aksara.
Nevid,Jeffrey S,dkk.2003.Psikology
Abnormal Edisi Kelima Jilid .Jakarta:
Airlangga.
boleh mnta word nya gak kalo boleh kirim email aku ya.makasih :)
BalasHapus