>

Sabtu, 20 Desember 2014

Gangguan Identitas Gender, Parafilia dan Disfungsi seksual



BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan apa yang tidak normal sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Sikap dan nilai budaya masyarakat tentang apa yang normal dan tidak normal berbeda jauh. Sikap ini mempengaruhi perilaku seksual mereka dan kepuasan yang mereka capai atau tidak mereka capai dari aktivitas seksual. Dalam seks, seperti juga dalam area perilaku lainnya, garis batas antara normal dan tidak normal tidak selalu jelas. Seks, seperti halnya makan, adalah fungsi yang alamiah. Namun fungsi alamiah ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, cerita rakyat, budaya, takhayul, agama, dan keyakinan-keyakinan moral.
Beberapa waktu belakangan ini sangat fenomental dengan seorang pria yang hidup di raga yang salah, seperti halnya homoseksual dan kelainan-kelainan lainnya di dalam seksual. Tentu kita sering kali melihat bahwa ada orang-orang yang dilahirkan sebagai pria, di tandai dengan alat kelamin dan hormon-hormon yang mengikutinya, namun bertingkah laku dan bersifat layaknya seorang perempuan , hal tersebut dapat dilihat hal-hal yang kasat mata sampai yang tidak, misalnya dari cara berpakaian,cara berbicara, teman sepermainan atau orientasi seksual.
Bagi sebagian dari kita (budaya timur) fenomena demikian masih dianggap sebagai hal yang aneh,anomaly dewan ataupun apapun istilah-istilah yang menerangkan kata “tidak wajar”. Memang sah-sah saja apabila orang di anggap demikian. Akan tetapi satu hal yang perlu kita ingat, bahwasanya kitatidak bisa selalu semena-mena menyalahkan orang-orang tersebut, karena pada dasarnya mereka juga mungkin tidak mau menjadi seperti mereka saat ini.
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang, maka dapat merumuskan suatu permasalahan yaitu:
1.    Menjelaskan tentang gangguan identitas gender
2.    Menjelaskan tentang parafilia (paraphilias) !
3.    Mengidentifikasi disfungsi seksual (sexual disfunction) !
4.    Mengetahui pencegahan dan penanganan masalah seksual !
3.    Tujuan
1.      Mengetahui tentang gangguan identitas gender
  1. Mengetahui tentang parafilia (paraphilias),
  2. Untuk mengetahui disfungsi seksual (sexual disfunction),
  3. Mengetahui cara pencegahan dan penanganan masalah seksual !








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Gangguan Identitas Gender
Identitas gender (gender identity) adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal, identitas gender konsisten dengan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender (gender identity disorder) terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.
Ganguan identitas gender dapat berawal sejak masa kanak-kanak. Anak-anak dengan gangguan ini menemukan bahwa anatomi gender merupakan sumber distress yang terus menerus yang intensif. Diagnosis tidak digunakan hanya untuk melabel anak perempuan “tomboy” dan anak laki-laki “banci”. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara kuat menolak sifat anatomi mereka (anak perempuan yang memaksa buang air kecil sambil berdiri atau berusaaha bersikeras tidak mau menumbuhkan dadanya; anak laki-laki yang menolak penis dan testis mereka) atau pada mereka yang berfokus pada pakaian atau aktifitas yang merupakan stereotip dari gender lain.
Diagnoasis gangguan identitas gender (dulu disebut transeksualisme) diberikan baik pada anak-anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan yang secara terus-menerus menunjukkan ketidaknyamanan terhadap anatomi gender mereka.
Walau angka keseluruhan gangguan gender tidak diketahui, gangguan ini diyakini muncul sekitar lima kali lebih banyak pada pria daripada wanita (Zucker dan Green,1992). Gangguan ini memiliki pola yang berbeda-beda. Bisa berakhir atau berkurang pada masa remaja, ketika anak dapat menerima identitas gender mereka. Atau bisa juga bertahan selama masa remaja dan atau dewasa dan menyebabkan identitas transeksual (Cohen-Kittenis dkk.,2001). Anak tersebut bisa juga mengembangkan orientasi gay atau lesbian pada saat remaja (Zucker dan Green, 1992)
Banyak orang dewasa transeksual melakukan operasi perubahan gender. Pada operasi ini akan dibentuk alat genetikal eksternal yang semirip mungkin dengan alat genetikal yang diinginkan. Orang yang melakukan operasi ini dapat melakukan aktifitas seksual, bahkan mencapai orgasme. Namun mereka tidak mampu mempunyai atau melahirkan anak karena tidak mempunyai organ reproduksi internal dari gender baru yang dibentuk ini. Peneliti secara umum menemukan hasil psikologis yang menyenangkan dari operasi perubahan gender. Pria yang mencoba melakukan perubahan gender jumlahnya lebih banyak daripada wanita, sekitar tiga atau empat banding satu. Tetapi secara umum hasilnya lebih disukai untuk kasus wanita menjadi pria. Mungkin salah satu alasannya adalah penerimaan masyarakat yang lebih besar pada wanita yang memiliki hasrat untuk hidup sebagai pria. Alasan lain yang muncul adalah wanita dengan gangguan identitas gender secara umum lebih dapat menyesuaikan diri daripada rekan prianya sebelum operasi (Kockott dan Fahrner, 1998). Pasien pria menjadi wanita yang pada operasi tidak menyisakan tanda apapun (seperti bekas luka pada payudara atau sisa jaringan erektil) ditemukan memiliki penyesuaian diri yang lebih baik daripada yang operasinya yang kurang sukses dalam membentuk mereka menjadi wanita (Ross dan Need, 1989).
Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis pada anggota gender mereka sendiri, tetapi identitas gender mereka (perasaan menjadi pria atau wanita) konsistensi dengan anatomi seks mereka. Mereka tidak memiliki hasrat untuk menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik pada alat genital mereka, seperti yng dapat kita temukan pada orang-orang dengan ganguan identitas gender.
Tidak seperti orientasi seksual gay atau lesbian, ganguan identitas gender sangat jarang ditemukan. Orang dengan gangguan identitas gender yang tertarik secara seksual pada anggota dari anatomi gender mereka sendiri tidak menganggap diri mereka sebagai guy atau lesbian. Gender yan mereka miliki sebelumnya merupakan kesalahan dimata mereka. Dari sudut pandang mereka, meraka terperangkap pada tubuh dengan gender yang berbeda.
Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender :
b.    Terhadap identifikasi yang kuat dan persisten gender lainnya.
Setidaknya empat dari lima ciri dibawah ini diperlukan untuk memberikan diagnosis tersebut pada anak-anak :
·      Ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lainnya atau ekspresi dari kepercayaan bahwa dirinya adalah bagian dari gender lain.
·      Preferensi untuk mengenakan pakaian yang merupakan streotipikal dari gender lainnya.
·      Adanya fantasi yang terus-merus mengenai menjadi anggota dari gender lain, atau asumsi memainkan peran yang dilakukan oleh anggota gender lain dalam permainan “pura-pura”.
·      Hasrat untuk berpartisipasi dalam aktivitas waktu luang dan permainan yang merupaka  streotip dari gender lainnya.
·      Preferensi yang kuat untuk memiliki teman bermainan dari gender lainnya (pada usia dimana anak-anak biasanya memilih teman bermain dari gendernya sendiri).
Remaja dan orang dewasa biasanya mengekspresikan keinginan untuk menjadi bagian dari gender lainnya, sering kali “berperilaku” sebagai anggota gender lainnya, dan berharap untuk hidup sebagai bagian dari gender lainnya atau percaya bahwa emosi dan perilaku mereka setipe dengan gender lainnya.
c.    Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus ada dengan anatomi gendernya sendiri atau dengan perilaku yang merupakan tipe dari peran gendernya.
Pada anak-anak, ciri-ciri ini biasanya muncul : anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genetikal eksternal mereka menjijikan, atau akan lebih baik jika tidak memiliki, menunjukkan penolakan pada mainan laki-laki, permainan “maskulin”, dan permainan yang kasar serta jungkir balik. Anak perempuan untuk memilih tidak buang air kecil sambil duduk, menunjukkan keinginan untuk tidak menumbuhkan payudara atau menstruasi, atau menunjukkan penolakan pada pakaian “feminim”. Remaja dan dewasa biasanya menunjukkan bahwa mereka dilahirkan dengan gender yang salah dan mengekspresikan harapan untuk intervensi medis (misalnya: penanganan hormon atau pembedahan) untuk menghilangkan karakteristik seksual mereka dan untuk karakteristik dari gender lainnya.
d.   Tidak ada “kondisi interseks” seperti anatomi seksual yang ambigu, yang mungkin membangkitkan perasaan-perasaan tersebut.
e.    Ciri-ciri tersebut menimbulkan distress yang serius atau hendaknya pada area penting yang terkait dengan pekerjaan, sosial atau fungsi lainnya.
Orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) atau transeksualisme, merasa bahwa jauh didalam dirinya merupakan orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini dengan kata lain mereka merasa terjebak didalam tubuh yang dimilikinya disaat ini. Meraka tidak menyukai pakaian dan aktifitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Ia dapat mencoba berpindah ke kelompok gender yang berbeda bahkan dapat menginginkan operasi untuk mengubah tubuhnya agar ssuai dengan identitas gendernya. Ketika identitas gender bermula di masa kanak-kanak, hal itu di hubungkan dengan banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian ataupun beraktifitas seperti lawan jenis. Gangguan identitas gender pada anak-anak biasanya dapat terdeteksi oleh orang tua ketika anak berusia antara 2 hingga 4 tahun (Green&Blanchhard,1955). Dan gangguan ini terjadi enam kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki di bandingkan anak perempuan (Zucker, Bradley,& Sanikhani,1997).
1.    Karakteristik Identitas Gender
Orang dengan gangguan identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa  dirinya adalah anggota jenis kelamin yang berlawanan. Orang dengan gangguan identitas gender tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa di lakukan orang dengan jenis kelaminnya, dan sering memilih untuk melakukan cross-dressing. Transeksual pada umumnya mengalami kecemasan atau depresi, yang kemungkinan berkaitan dengan perlakuan yang negative yang di dapat dari masyarakat. Gangguan identitas gender biasanya di mulai pada masa kanak-kanak dan dapat terdeteksi oleh orang tua sejak usia 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard,1995). Gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley,& Sanikhani,1997).
2.    Penyebab
Saat ini, masih belum ada pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentative bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat memberikan mengantribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carol,2000). Faktor biologis lain, seperti kalainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang di anggap dapat di sebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor social dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan croos-dressing, misalnya, kemungkinan enkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi seks anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green,1974,1997; Zuckerman & Green,1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan ,dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki. Dapat pula penyebabnya karena mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya akibat keinginan orang tua terhadap jenis kelamin berbeda atau kurangnya teman bermain yang sejenis selama tahun awal sosialisasi.
3.    Terapi
a.    Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang di lakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benyamin Internasional Gender Dysphoria Assosiation,1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut diwajah, serta mengomsusian hormone perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin. Keuntungan operasi kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Disatu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa di dapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapatkan keuntungan lain seperti kepuasan seksualyang lebih tinggi.
b.    Pengubahan Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender di anggap mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender. Gangguan identitas gender atau transeksualisme adalah ketidakpuasan psikologis terhadap gender biologisnya sendiri, gangguan dalam memahami identitasnya sendiri, sebagai laki-laki atau perempuan.
Tujuan utamanya bukan rangsangan seksual tetapi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenisnya. Biasanya yang bersangkutan merasa seolah terperangkap dalam tubuh dengan jenis kalamin yang salah.
Dibeberapa budaya, individu dengan identitas gender yang keliru sering dikaitkan dengan kemampuan cenayang atau peramal dan diperlakukan sebagai figur yang dihormati namun jarang justru dijadikan objek ingin tahu, cemoohan hingga sasaran kekerasan.
Gangguan identitas gender “berbeda” dengan individu interseks atau hermaphrodite dimana yang bersangkutan terlahir dengan alat kelamin yang tidak jelas akibat abnormalitas hormonal atau abnormalitas lainnya. Sebaiknya individu dengan gangguan identitas gender tidak menunjukkan abnormalitas fisik.
Para ilmuan belum menemukan adanya peran biologis yang spesifik terhadap gangguan identitas gender. Untuk pemulihan, dengan ataupun tanpa bantuan terapis, dilakukan kalibrasi ulang terhadap orientasi gender yang sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya.
Itu sebabnya izin untuk membatalkan sugesti yang mengatakan terperangkap pada tubuh yang salah dan mengembalikan orientasi gender sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya, harus datang dari dalam diri yang bersangkutan.
Gangguan identitas gender menurut psikologis adalah ketidakpuasan psikologis terhadap gender biologisnya sendiri, gangguan dalam memehami identitasnya sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Tujuan utamanya bukan rangsangan seksual tetepi lebih berupa keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenisnya.
Esensi maskulinitas atau femininitas adalah perasaan pribadi yang tertahan dalam yang disebut identitas gender. Gangguan identitas gender muncul bila gender fisik seseorang tidak konsisten dengan sense identitas orang itu. Orang-orang dengan gangguan ini terperangkap dalam tubuh orang dengan jenis kelamin yang salah. Gangguan identitas gender atau yang dulu disebut transeksualisme harus dibedakan dengan fitisisme transvestik yaitu sebuah gangguan parafilik dimana orang-orang, biasanya laki-laki terangsang secara seksual dangan mengenakan perlengkapan pakaian yang berhubungan dengan lawan jenis. Dalam kasus gangguan identitas gender, tujuan utamanya bukan seksual tetapi lebih keinginan untuk menjalani kehidupan lawan jenis kelaminnya.
Gangguan identitas gender juga harus dibedakan dengan pola rangsangan homoseksual dan tingkah laku maskulin. Individu semacam itu tidak merasa sebagai perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki atau mamiliki keinginan untuk menjadi perempuan (atau sebaliknya).
Berlawanan dengan ini dibudaya Barat, toleransi sosial terhadap mereka relatif rendah. Perlakuan terbaik bagi mereka adalah mereka dijadikan sebagai objek keingintahuan dan perlakuan terburuknya adalah menjadikan mereka sebagai bahan cemoohan atau bahkan sasaran kekerasan.
Gangguan gender, misalnya waria. Dari sudut psikologi-ilmiah, waria “condong” digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disorders). Gangguan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin. Dengan begitu, ia berperilaku seperti seperti lawan jenisnya.
Yang masuk dalam golongan ini adalah; transeksualisme, gangguan identitas jenis masa anak-anak  (pratran-seksualisme) dan gangguan identitas jenis tidak khas (Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa. Tim Direkrorat kesehatan Jiwa, edisi II, cetakan pertama,1985 halaman 223).
Perasaan tidak suka pada jenis kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga si empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena ia merasa alat kelaminnya tidak pada tempatnya. Dan perasaan terus selalu menggaggu, sehingga ada keinginan untuk menghilangkan kelaki-lakiannya (kalau ia merasa perempuan), atau sebaliknya.
Di kalangan awam, tidak sedikit yang memahami atau mempertautkan waria dengan homoseks, seakan-akan waria identik dangan gay. Padahal, waria dan gay merupakan fenomena yang terpisah, betapapun dalam hal-hal tertentu keduanya masih dapat di golongkan sebagai penyimpangan seksual. Untuk itu ada baiknya kita lihat penggolongan gangguan yang lain sebagai pembanding golongan identitas jenis , sehingga pemahaman akan waria semakin jelas dan gamblang.
B.       Parafilia
Kata parafilia (pharafilia) di ambil dari akar bahasa Yunani “para”, yang artinya “pada sisi lain”, dan “philos” artinya “mencintai”. Pada parafilia orang menunjukkan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respons terhadap stimulus yang tidak biasa (pada sisi lain dari stimulus normal ). Menurut  DSM-IV, parafilia melibatkan dorongan dan fantasi seksual yang berulang dan kuat , yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat  pada : (1) objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutera, (2) perasaan merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya, atau (3) anak-anak dan orang lain yang tidak dapat atau tidak mampu memberikan persetujuan. Meskipun untuk menegakkan diagnosis ini tidak di butuhkan kenyataan bahwa dorongan parafilia tersebut didemonstrasikan (orang dapat merasa distress dengan adanya dorongan tersebut tetapi tidak mendemonstrasikannya), orang dengan parafilia sering kali menampilkan perilaku terbuka seperti ekshibisionisme dan voyeurisme.
Sejumlah penderita parafilia dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi parafilia. Sementara yang lainnya menggunakan stimulus parafilia saat berada di bawah stress atau tekanan. Tetapi ada beberapa orang yang tidak dapat terangsang kecuali jika menggunakan stimulus ini, baik secara nyata atau dalam fantasi. Bagi sejumlah individu, parafilia adalah cara ekslusif untuk mencapai kepuasan seksual. Kecuali masokisme seksual dan beberapa kasus khusus dari gangguan lain, parafilia hampir tidak pernah di diagnosis pada wanita (Saligma & Hardenburg, 2000). Bahkan pada mesokisme, diperkirakan bahwa pria yang mendapatkan diagnosis ini lebih banyak daripada wanita dengan rasio 20 banding 1 (APA,2000).
Sejumlah penderita parafilia secara relative tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh korban. Diantaranya terdapat fetihisme dam vetihisme transvetik. Sedangkan yang lain, seperti ekshibionisme dan pedofilia, melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia yang paling berbahaya adalah sadism seksual yang dilakukan dangan pasangan tanpa persetujuannya. Voyeurisme terletak di antaranya, karena “korban” tidak mengetahui kalau dia sedang diintip.
Parafilia merupakan sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktifitas seksual yang tidak pada umumnya. Dengan kata lain terdapat deviasi dalam ketertarikan seseorang. Fantasi, dorongan, atau perilaku harus berlangsung setidaknya 6 bulan dan menyebabkan distress. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang di miliki seseorang parafilia (seperti memamerkan alat kelamin kepada orang asing yang tidak memiliki kecurigaan apapun), tidak didiagnosis menderita parafilia jika fantasia tau perilaku tersebut tidak dilakukan berulang.
Banyak orang sering kali mengalami lebih dari satu parafilia dan pola semacam itu dapat merupakan aspek gangguan mental lain, seperti skizofrenia, depresi atau salah satu gangguan kepribadian. Telah diakui bahwa sebagian besar pengidap parafilia apapun orientasi seksualnya adalah laki-laki.  Hal ini dikarenakan bahwa para pengidap parafilia mencari pasangan yang tidak begitu saja menurutinya atau dengan melanggar  hak orang lain  secara ofensif. Gangguan ini sering kali memiliki konsekuensi hukum.
b.    Macam-macam parafilia
1.    Fetihism
Fetihism melibatkan ketergantungan pada objek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Objek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut fetishes, dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, sticking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat di sukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual. Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat di tahan. Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetihisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal.
2.    Transvestic Fetishism
Merupakan gangguan saat seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.
3.    Pedofilia dan Inses
Pedofilia adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasan seksual yang melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hal ini dilakukan untuk  mendapatkan pengalaman melakukan seks dengan orang dewasa. Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan
4.    Veyeurism
Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Orang yang mengalami gangguan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun saat membayangkan.
5.    Eksibionisme
Merupakan preferensi mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genetikal kepada orang yang tidak dikena, atau dengan membayangkan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat.  Sebagian besar eksibionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal.
6.    Frotteurism
Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain secara seksual. Biasa di lakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara dan alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri pada paha atau pantat orang tersebut.
7.    Sadisme dan Masokisme Seksual
Sadisme seksual di tandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik ataupun mental. Berbeda dengan pada sadism, objek yang di sakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri.
8.    Mesokisme Sosial
Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus-menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat dicambuk, atau di buat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distress personal. Pada sejumlah kasus masokisme seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada rasa sakit atau malu.
c.    Perspektif Teoritis
Para teoritikus psikodinamika melihat banyak parafilia sebagai pertahanan terhadap kecemasan kastrasi yang tersisa dari periode Oedipal. Pikiran akan hilangnya penis di dalam vagina secara tidak sadar disamakan dengan kastrasi. Orang yang memiliki kelainan parafilia memungkinkan menghindar dari ancaman kecemasan kastrasi ini dengan memindahkan rangsangan seksual pada aktifitas yang lebih aman, sebagai contoh, pakaian dalan, anak-anak,atau memperhatikan atau menonton orang lain. Dengan melindungi penisnya di dalam pakaian wanita, pria dengan fetihisme transvestik melakukan tindakan simbolis dari pengingkaran bahwa wanita tidak mempunyai penis, di mana hal ini dapat mengurangi kecemasan akan kastrasi dengan secara tidak wajar memberikan bukti atas keselamatan wanita (dan dirinya sendiri). Rasa terkejut dam kekuatan yang di tunjukkan oleh korban dari pria ekshibionism secara tidak sedar memberikan kepastian bahwa ia memang memiliki penis. Sadisme melibatkan pengidentifikasian, secara tidak sadar, pada ayah penderita yang merupakan “pemicu” fantasi Oedipal dan sadism mengurangi kecemasan dengan memberikan kesempatan untuk memainkan peran sebagai yang mengkastrasi. Beberapa teoritikus psikoanalistik melihat masokisme sebagai cara untuk mengatasi perasaan tentang seks yang saling bertentangan. Secara mendasar, seseorang merasa bersalah akan seks, tetapi mampu akan menikmatinya sepanjang ia dihukum karana melakukan itu. Orang lain memandang masokisme sebagai pengarahan kedalam impuls agresif yang sebenarnya ditujukan pada ayah yang berkuasa dan menakutkan, Seperti seorang anak yang merasa lega ketika hukumannya berakhir, penderita dengan senang menerima penghinaan dan hukuman sebagai pengganti kastrasi. Pandangan ini masih spekulatif dan controversial. Belun terdapat cukup bukti langsung yang menunjukkan bahwa pria dengan parafilia memiliki hambatan dalam mengatasi mengatasi kecemasan akan kastrasi.
Para teoretikus belajar menjelaskan parafilia dalam kaitannya dengan  conditioning dan observation learning. Sejumlah objek atau aktivitas secara tidak sengaja dihibingkan dengan rangsangan seksual. Objek atau aktivitas tersebut kemudian mendapatkan kapasitas untuk menimbulkan rangsangan seksual. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki yang memandang stoking (Breslow, 1989). Pencapaian orgasme karena hadirnya objek menguatkan hubungan erotis yang ada, terutama ketika terjadi berulang kali. Namun jika kelainan fetish terjadi karena hubungan mekanis, kita dapat menduga orang akan mengembangkan fetish terhadap stimulus yang dengan tanpa sengaja dan berulang kali di hubungkan dengan aktivitas seksual, seperti sprei, bantal, bahkan langit-langit rumah. Tetapi tidak arti dari stimulis memainkan peran utama. Perkembangan perilaku fetish dapat tergantung pada pemberian arti erotis terhadap stimulus tertentu (seperti pakaian dalam wanita) dengan melibatkan stimulus-stimulus tersebut dalam fantasi seksual dan ritual masturbasi.
d.   Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang di anggap tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Distrosi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukkan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan social yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.
e.    Pendekatan Penanganan
1.    Perspektif Teori Belajar
·       Stimulus yang tidak biasa menjadi stimulus terkondisi untuk rangsangan seksual akibat pemasangannya dengan aktivitas seksual di masa lalu.
·       Stimulus yang tidak biasa dapat menjadi erotis dengan cara melibatkannya dalam fantasi erotis dan masturbasi.
2.    Perspektif Psikodinamika
Kecemasan kastrasi yang tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak yang menyebabkan rangsangan seksual dipindahkan pada objek atau aktivitas yang lebih aman.
3.    Perspektif Multifaktor
Penganiayaan seksual atau fisik pada masa kanak-kanak dapat merusak rangsangan seksual yang normal.
f.     Penanganan Parafilia
Orang dengan parafilia biasanya tidak mencari pananganan atas keinginan sendiri. Mereka biasanya menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan penyerangan seksual atau mereka dirujuk ke sebuah penyedia penanganan oleh pengadilan. Dalam kondisi ini, tidak mengherankan bahwa pelaku penyerangan seksual sering kali melawan atau menolak penanganan. Terapis menyadari bahwa penanganan dapat menjadi sia-sia, jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka. Namun demikian, bukti menunjukkan bahwa sejumlah bentuk penanganan, terutama terapi perilaku dan terapi kognitif-behavioral (CBT), dapat membantu pelaku penyerangan seksual yang ingin mengubah perilaku mereka. Salah satu teknik behavioral yang digunakan untuk menangani parafilia adalah aversive conditioning. Tujuan dan penanganan ini adalah membangkitkan respon emosional negatif pada stimulus atau fantasi yang tidak tepat. Dalam teknik ini, stimulus yang membangkitkan rangsangan seksual (misalnya celana dalam) dipasangkan berulang kali dengan stimulus aversif (misalnya kejutan listrik) dengan harapan agar stimulus tersebut juga akan menjadi stimulus aversif. Keterbatasan mendasar dari aversive conditioning adalah hal ini tidak dapat membantu individu untuk mendapatkan perilaku yang lebih adaptif sebagai ganti dari pola respon maladaptif. Ini dapat menjelaskan mengapa peneliti menemukan bahwa program kognitif-behavioral. Yang lebih luas yang ditujukan untuk menangani ekshibi~ionisme dan menekankan pada pengembangan pemikiran adaptif, keterampilan sosial, dan keterampilan mengatasi stress lebih efektif daripada program lain yang didasarkan pada terapi aversif (Marshall Eceles & Barbarce, 1991). Sensitisasi tertutup (covert sensitization) adalah variasi dari aversive conditioning di mana pemasangan stimulus aversive dengan perilaku bermasalah terjadi dalam imajinasi.
1.    Terapi Parafilia
Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991) :
a) Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum
b) Memberitahukan jenis-jenis perawatan membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan timbul apabila tidak dilakukan treatment
c) Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresikan keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan
d) Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Gerland & Dougher, 1991).
Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari perilaku kajahatan seksual.
2.    Terapi Psikoanalitik
Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum memberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.
3.    Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran bahavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap objek seksual yang tidak pantas, prosedur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang.
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmie reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
4.    Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.
5.    Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru – baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian terdapat masalah etis dari penggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang–kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.
6.    Usaha Hukum
Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya tersebut di susun dalam sebuah cerita dengan berbagai aturan dan prosedur yang di sepakati bersama dan memiliki makna fiksional bagi keduanya, gangguan seksual dan identitas gender.
C.   Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual (sexual dysfunctions) meliputi masalah dalam minat, rangsangan, atau respon seksual. Gangguan ini sering kali merupakan sumber disstres bagi orang yang mengalaminya dan bagi pasangan mereka. Ada beberapa tipe disfungsi seksual, tetapi semuanya cenderung memiliki sejumlah ciri yang sama. Sejumlah kasus disfungsi seksual telah ada sepanjang hidup individu, dan karena itu diberi label disfungsi seumur hidup. Pada kasus disfungsi yang diperoleh (acquired disfunction), awal masalah terjadi setelah satu periode (atau setidaknya kemunculan satu kali) dari fungsi normal. Pada kasus disfungsi situasional, masalah muncul pada sejumlah situasi (sebagai contoh, dengan pasangan tertentu), tetapi tidak pada situasi yang lain (misalnya, dengan kekasih atau ketika bermasturbasi), atau pada saat-saat tertentu tetapi tidak pada saat lain.
Pada kasus disfungsi menyeluruh (generalized dysfunction), masalah muncul pada semua situasi dan pada setiap saat individu melakukan aktivitas seksual. Untuk mendapatkan sudut pandang mengenai disfungsi seksual, pertama-tama kami akan menjabarkan pola normal dari respon seksual. Kemudian kami mengeksplorasi berbagai tipe disfungsi seksual dan metode yang digunakan untuk menanganinya.
a.    Siklus Respons Seksual
Disfungsi seksual mempengaruhi pemulaan atau penyelesaian siklus respons seksual. Sebagian besar pemahaman kita mengenai siklus respons seksual didasarkan pada hasil kerja William Masters dan Virginia Johnson yang merupakan perintis penelitian seks. Berdasarkan hasil kerja mereka dan beberapa orang lainnya, seperti terapis seks Helen Singer Kaplan, DSM menjabarkan siklus respons seksual dalam empat fase yang berbeda :
1.    Fase Keinginan
Fase ini melibatkan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual. Timbulnya fantasi dan hasrat seksual adalah normal; pertanyaannya adalah “Seberapa besar (atau seberapa kecil) minat seksual yang dikatakan normal?”
2.    Fase Perangsangan
Fase ini melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat proses rangsangan seksual. Dalam merespons stimulasi seksual detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah meningkat. Perangsangan seksual melibatkan dua refleks seksual yang penting, ereksi pada pria dan lubrikasi vagina (“basah”) pada wanita. Pada pria ereksi terjadi ketika pembuluh darah dalam jaringan yang ada di dalam penis membesar untuk memungkinkan aliran darah yang meningkat memperbesar jaringan. Pada wanita, payudara akan membesar, puting susu akan berereksi. Darah memenuhi genital, menyebabkan klitoris membesar. Vagina melebar dan membesar, dan lubrikasi muncul karena pembesaran pembuluh darah di vagina mendorong cairan keluar melalui membran kapiler.
3.    Fase Orgasme
Baik pada pria dan wanita, tegangan seksual mencapai puncaknya dan dilepaskan melalui kontraksi ritmik involunter dari otot pelvis disertai dengan perasaan nikmat orgasme, seperti ereksi dan lubrikasi adalah suatu refleks. Pada pria, kontraksi dari own pelvis mendorong cairan mani untuk keluar melalui ujung penis pada saat ejakulasi. Pada wanita, otot pelvis yang mengelilingi lapisan luar ketiga dari vagina berkontraksi secara refleks. Pada pria dan wanita, kontraksi pertama adalah yang terkuat dan berjarak 0,8 detik interval (lima kontraksi dalam 4 detik). Kontraksi selanjutnya lebih lemah dan terjadi dalam rentang yang lebih lama.
Orang tidak dapat memaksakan suatu orgasme. Demikian juga mereka tidak dapat memaksakan refleks seksual lainnya, seperti ereksi dan lubrikasi vagina. Kita hanya dapat mengatur tahap respons seksual dan membiarkannya terjadi secara alamiah. Mengatur tahap orgasme melibatkan menerima stimulasi seksual yang adekua dan sikap mau menerima kenikmatan seksual. Biasanya mencoba memaksakan orgasme justru akan mencegah terjadinya orgasme itu sendiri.
4.    Fase Resolusi
Fase terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman. Pada tahap ini pria secara fisiologi, tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme untuk suatu periode waktu tertentu. Namun, wanita mungkin mempertahankan rangsangan seksual pada tingkat yang tinggi jika stimulasi dilanjutkan dan mengalami orgasme ganda dalam suatu rangkaian yang cepat. Dalam seks sama seperti area kehidupan lainnya, segala keharusan sering kali merupakan tuntutan yang dipaksakan yang menimbulkan perasaan cemas dan tidak mampu.

b.    Jenis-jenis Disfungsi Seksual
DSM-IV mengelompokkan disfungsi seksual dalam kategori berikut :
1. Gangguan Hasrat Seksual (Sexual Desire Disorder)
2. Gangguan Rangsangan Seksual (Sexual Arousal-Disorder)
3. Gangguan Orgasme (Orgasme Disorder)
4. Gangguan Sakit Nyeri Seksual (Sexual pain Disorder)
Tiga kategori yang pertama berhubungan dengan tiga fase pertama dari siklus respons seksual.
1.    Gangguan Hasrat Seksual
Gangguan hasrat seksual merupakan gangguan dalam nafsu seksual atau suatu keengganan terhadap aktivitas seksual genital. Orang dengan gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder) tidak atau kurang, memiliki minat atau hasrat seksual. Biasanya terjadi karena kurangnya atau tidak adanya fantasi seksual. Pasangan biasanya mencari bantuan ketika salah satu atau keduanya merasakan bahwa tingkat aktivitas seksual dalam hubungan mereka menurun atau telah sampai pada tingkat dimana minat dan hasrat seksual yang ada tinggal sedikit. Kadangkala menurunnya hasrat hanya terbatas pada satu pihak pasangan. Pada kasus lainnya, kedua belah pihak merasakan adanya dorongan seksual, tetapi kemarahan dan konflik yang berhubungan dengan isu-isu lainnya menghambat interaksi seksual mereka. Orang dengan gangguan seksual aversi (sexual aversion disorder) memiliki keengganan yang kuat pada kontak seksual genital dan menghindari semua atau hampir semua kontak genital dengan pasangan. Namun mereka dapat memiliki hasrat dan menikmati kontak yang penuh kasih sayang atau kontak seksual nongenital. Rasa jijik dengan segala bentuk kontak genital dapat berasal dari penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, perkosaan, atau pengalaman traumatis lainnya. Pada kasus lain, perasaan yang mendalam akan rasa bersalah atau rasa malu terhadap seks dapat menimbulkan adanya respons seksual
Ada dua sub kategori gangguan gairah seksual :
a)    Gangguan seksual perempuan
Yaitu ketidakmampuan yang bersifat terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan kenikmatan seksual (lubrikasi dan pembengkakan genital) yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual.
Gangguan ini dapat disebabkan karena distress yang mendalam efek fisiologis langsung dari obat-obatan atau penyakit medis umum.
b)   Gangguan ereksi pada laki-laki
Ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas seksual
Salah satu jenis gangguan ereksi yaitu impotensi, dimana laki-laki yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan dalam kendali selama aktivitas seksual.
Diagnosis gangguan gairah bagi perempuan : tidak terjadinya lubrikasi vagina yang memadai dalam melakukan hubungan seksual secara nyaman. Sedangkan pada laki-laki : terjadinya kegagalan yang terus menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi.
Penyebab umum pada perempuan :
·      Ketidaktahuan perempuan dalam hal-hal yang dapat membuatnya terangsang.
·      Kurang mengetahui anatomi tubuhnya sendiri.
·      Kurangnya hormon estrogen
·      Perasaan malu terhadap pasangan
·      Bersikap diam apabila pasangan tidak menstimulasi dan tidak mengenakkan bagi kenyamanan si perempuan selama melakukan hubungan seksual.
Sedangkan pada laki-laki :
·      Adanya penyakit tertentu seperti : diabetes, penyakit ginjal, alkoholisme kronis
·      Pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi seperti : thorazine, prozac, antihipertensi
·      Ketidakseimbangan hormon
·      Faktor-faktor somatik dapat berinteraksi dengan faktor psikologis untuk dapat menimbulkan ereksi tersebut.
2.    Gangguan Orgasme
Orgasme atau klimaks seksual adalah suatu refleks involunter yang menghasilkan kontraksi ritmik dari otot pelvis dan biasanya disertai dengan perasaan nikmat yang kuat. Pada pria, kontraksi ini disertai dengan keluarnya cairan mani. Ada tiga jenis spesifik dari gangguan orgasme : gangguan orgasme wanita (female orgasmic disorder), gangguan orgasme pria (male orgasmic disorder), dan ejakulasi dini (premature ejaculation).
Gangguan orgasme dilihat sebagai suatu pola kesulitan mencapai orgasme atau ketidakmampuan untuk mencapai orgasme setelah adanya hasrat dan rangsangan seksual yang normal. Klinisi perlu membuat penilaian tentang apakah ada jumlah dan jenis stimulasi yang “cukup” untuk mencapai respons orgasmik. Cakupan yang luas dari variasi normal respons seksual perlu dipertimbangkan. Banyak wanita, sebagai contoh, membutuhkan stimulasi klitoral langsung (yaitu stimulasi dengan menggunakan tangannya sendiri atau pasangannya) untuk mencapai orgasme saat hubungan vaginal. Hal ini tidak dapat dikatakan abnormal, karena klitoris bukan vagina, klitoris adalah organ wanita yang paling sensitif secara erotis.
Pada pria, pola kesulitan untuk mencapai orgasme setelah melalui pola hasrat dan gairah seksual yang normal disebut dengan gangguan orgasme pria. Pria dengan masalah ini biasanya dapat mencapai orgasme melalui masturbasi tetapi tidak melalui hubungan genital. Ejakulasi dini mengacu pada pola ejakulasi dengan stimulasi seksual yang minimal. Hal ini dapat terjadi sebelum, pada saat, atau segera setelah penetrasi, tetapi sebelum pria tersebut menginginkannya. Ada tiga jenis gangguan orgasme :
·           Gangguan orgasme pada perempuan : ketiadaan orgasme setelah satu periode kenikmatan seksual normal, tertundanya atau tidak terjadinya orgasme dengan mempertimbangkan umur, pengalaman seksual, keadekuatan stimulasi seksual yang diterima.
Penyebabnya antara lain :
§  Perempuan yang jarang atau tidak pernah melakukan masturbasi sebelum mereka mulai melakukan hubungan seksual memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk tidak mengalami orgasme. Kurangnya pengetahuan tentang seksual, terutama ketidaktahuan akan anatomi genital mereka sendiri
§  Konsumsi alkohol kronis dapat menjadi faktor somatik
§  Perempuan memiliki ambang batas orgasme yang berbeda
§  Rasa takut akan kehilangan kendali. Seperti : berteriak tanpa kendali, hal itu dapat membuat dirinya tampak bodoh atau pingsan
§  Perasaan nonseksual yang dimiliki pasangan tersebut dapat juga mempengaruhi
·           Gangguan orgasme pada laki-laki dan ejakulasi prematur (dini).
Penyebab :
§  Takut bila pasangan hamil
§  Menyembunyikan rasa cinta
§  Mengekspresikan kekasaran
§  Takut untuk melepaskan kendali
§  Adanya cidera saraf tulang belakang atau penggunaan obat penenang tertentu.
Ejakulasi dini dapat terjadi sebelum penis dimasukkan ke dalam vagina, namun lebih sering terjadi dalam beberapa detik setelah kontak kelamin.
Ejakulasi dini umumnya berhubungan dengan kecemasan yang tinggi. Laki-laki yang mengalami masalah tersebut lebih responsif terhadap sentuhan.
3.    Gangguan Nyeri Seksual
Pada dispareunia (dyspareunia), hubungan seksual dihubungkan dengan rasa sakit atau nyeri yang berulang pada daerah genital. Rasa sakit tersebut tidak dapat dijelaskan dengan penuh secara medis dan karena itu diyakini memiliki komponen psikologis. Namun, banyak, bahkan mungkin hampir semua, kasus nyeri saat berhubungan seksual dapat dilacak pada kondisi medis yang mandasari, seperti kurangnya lubrikasi atau infeksi saluran urin. Vaginismus melibatkan kejang involunter pada otot disekitar vagina ketika terjadi penetrasi vaginal, sehingga membuat hubungan seksual terasa menyakitkan atau tidak memungkinkan. Macam-macam gangguan nyeri seksual antara lain :
-            Dispareunia : rasa nyeri berulang pada kelamin yang berhubungan dengan kontak kelamin dalam hubungan seksual. Rasa nyeri terjadi ketika penis mulai memasuki vagina atau rasa sakit terjadi setelah penetrasi
-            Vaginismus : kejang berulang pada bagian luar ketiga pada vagina hingga ketingkat yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kelamin.
Rasa sakit genital yang berhubungan dengan kontak kelamin dapat disebabkan oleh :
-       Sintom-sintom depresif
-       Kecemasan
-       Masalah dalam perkawinan
-       Ketidakmampuan pihak laki-laki untuk mempertahankan ereksi.
c.    Faktor Penyebab Disfungsi Seksual
1.    Faktor Biologis
Penyakit atau kurangnya produksi hormon seks dapat mengganggu hasrat, rangsangan, atau respons seksual
2.    Faktor Psikodinamika
Teoretikus psikodinamika memperkirakan bahaya konflik tak sadar yang berasal dari masa kanak-kanak dapat menjadi akar permasalahan dalam merespons rangsangan seksual
3.    Faktor Psikososial
·      Kecemasan akan performan muncul dari kepedulian yang berlebihan terhadap kemampuan seseorang untuk memberikan performa seksual yang baik
·      Riwayat trauma atau penganiayaan seksual
·      Kurangnya kesempatan untuk mendapatkan ketrampilan seksual
·      Pemaparan terhadap sikap dan kepercayaan negatif tentang seksualitas terutama seksualitas wanita
4.    Faktor Kognitif
·      Pengadopsian kepercayaan irasional, seperti kepercayaan bahwa seseorang harus kompeten secara sempurna setiap saat, dapat menyebabkan kecemasan akan performa
·      Pada ejakulasi dini, gagal untuk mengukur peningkatan level tegangan seksual yang menyebabkan ejakulasi
·      Pengaruh kognisi seperti ketakutan untuk gagal, dapat menghambat respons seksual yang normal
5.    Faktor Hubungan
Masalah hubungan dan kegagalan untuk mengkomunikasikan kebutuhan seksual
d.   Pendekatan Penanganan Disfungsi Seksual
1.    Penanganan Biomedis
Terutama melibatkan penggunaan obat-obatan untuk menangani disfungsi ereksi atau ejakulasi dini
2.    Terapi Kognitif Behavioral (CBT)
Terapi seks, teknik kognitif-behavioral singkat yang membantu individu dan pasangan untuk mengembangkan hubungan seksual yang lebih memuaskan dan mengurangi kecemasan akan performa





BAB 3
KESIMPULAN

Orang dengan gangguan identitas gender merasa bahwa anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus ada dan intensif. Orang dengan gangguan ini dapat mencoba untuk mengubah organ seks mereka sehingga menyerupai lawan jenis, dan banyak yang melakukan operasi penggantian gender untuk mencapai tujuan ini.
Gangguan identitas gender melibatkan kebingungan seseorang akan perasaannya secara psikologis sebagai pria atau wanita dan anatomi seksnya. Orientasi seksual berhubungan dengan arah ketertarikan seksual seseorang terhadap anggota gendernya sendiri atau gender lawan. Tidak seperti orang dengan gangguan identitas gender, orang dengan orientasi seksual guy atau lesbian, memiliki identitas gender yang konsisten dengan anatomi gender mereka.
Parafilia adalah penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya rangsangan terhadap stimulus tertentu seperti objek non-manusia (misalnya sepatu atau pakaian), penghinaan atau pemberian rasa sakit pada diri sendiri atau pasangan, atau anak-anak.
Parafilia mencakup ekshibisionisme, vetishisme, transvestik fetishisme, voyeurisme, froterisme, vedovilia, masokisme seksual, dan sadisme seksual. Meskipun sejumlah parafilia sebenarnya tidak membahayakan (seperti fetishisme), yang lain, seperti vedovilia dan sadisme seksual, sering membahayakan korban.
Parafilia dapat disebabkan oleh interaksi dari faktor biologis, psikologis, dan sosial. Usaha untuk menangani parafilia harus dikompromikan dengan fakta bahwa sebagian besar orang dengan gangguan ini tidak ingin berubah.
Disfungsi seksual mencakup gangguan hasrat seksual (gangguan hasrat seksual hipoaktif dan gangguan aversi seksual), gangguan rangsangan seksual (gangguan rangsangan seksual wanita dan gangguan ereksi pria), gangguan orgasme (gangguan orgasme wanita dan pria, dan ejakulasi dini), dan gangguan rasa nyeri seksual (dispareunia dan vaginismus).
Disfungsi seksual dapat berasal dari faktor biologis (seperti penyakit atau efek alkohol dan obat-obatan lain), faktor psikologis (seperti kecemasan akan performa, konflik yang tidak terpecahkan atau kurangnya kompetensi seksual), dan faktor sosio-kultural (seperti pembelajaran budaya yang membatasi secara seksual).
Terapis seks membantu orang untuk mengatsi disfungsi seksual dengan meningkatkan harapan self-efficacy, mengajarkan kompetensi seksual, memperbaiki komunikasi seksual, dan mengurangi kecemasan akan performa.
Hal ini meliputi penanganan hormon pembedahan vaskular, dan yang paling umum, penggunaan obat-obatan untuk membantu membangkitkan ereksi (Viagra) atau penundaan ejakulasi (antidepresan).




DAFTAR PUSTAKA
Davidson,Gerald, dkk.2006.Psikologi Abnormal.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Nevid S.Jefrey dkk.2005.Psikologi Abnormal.Jakarta: PT.Gelora Aksara.
Nevid,Jeffrey S,dkk.2003.Psikology Abnormal Edisi Kelima Jilid .Jakarta: Airlangga.




















1 komentar:

  1. boleh mnta word nya gak kalo boleh kirim email aku ya.makasih :)

    BalasHapus

Berikan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan ya :)