BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konseling adalah proses
pemberian bantuan non material yang dilakukan oleh seorang konselor kepada
klien yang dilakukan dengan wawancara konseling yang dilakukan secara
sistematis, dinamis, berkesinambungan, dan sesuai dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat, yang bermuara pada pada teratasinya masalah yang dihadapi
oleh klien.
Konseling merupakan sebuah
kebutuhan yang diperlukan oleh semua masyarakat yang mencakup semua kalangan
yang menangani hal-hal yang menyangkut kehidupan manusia. Konseling
dapat diaplikasikan kedalam lapangan kerja, yakni konseling pranikah, konseling
perkawinan, konseling keluarga dan konseling pendidikan. untuk lebih
jelasnya, dibawah ini akan dipaparkan mengenai
beberapa konseling dalam aplikasi lapangan kerja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa sajakah aplikasi lapangan kerja konseling ?
2.
Bagaimana cara menangani masalah sesuai dengan aplikasi
lapangan kerja konseling itu sendiri ?
3.
Apa peranan konselor dalam aplikasi lapangan kerja konseling
itu ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa saja aplikasi lapangan kerja konseling
2.
Mengetahui cara menangani masalah klien sesuai dengan
aplikasi lapangan kerja konseling
3.
Mengetahui peranan konselor dalam aplikasi lapangan kerja
konseling
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Konseling Pranikah
A.
Pengertian Konseling Pranikah
Konseling pranikah merupakan konseling yang
deselenggarakan kepada pihak – pihak yang belum menikah, sehubungan dengan
rencana pernikahannya. Menurut Brammer dan Shostrom, tujuan konseling pranikah
adalah membantu patner pranikah untuk mencapai emahaman yang lebih baik rentang
drinyaa, masing – masing pasangan dan tuntutan – tuntutan perkawinan. Konseling
pranikah dianggap penting karena banyak orang yang merasa salah dalam
menetapkan pilihannya, atau mengalami banyak kesulitan dalam penyesuaian diri
dalam kehidupan berkeluarga. Banyak orang yang terburu-buru membuat keputusan
tanpa mempertimbangkan banyak aspek sehubungan dengan kehidupan berumah tangga.
B.
Aspek yang Perlu Diasesmen
Aspek yang perlu
dipahami dan diasesmen konselor jika melakukan konseling pranikah :
1.
Riwayat Perkenalan
Konselor perlu mengetahui
riwayat perkenalan pasangan pranikah. Dimana mulai berkenalan, seberapa lama
perkenalannya berlangsung, bagaimana mereka saling mengetahui satu dengan
lainnya, misalnya tentang pembicaraan tentang nilai, tujuan, dan harapannya
terhadap hubungan pernikahan, dan alas an mereka berkeinginan melanjutkan
perkenalannya kea rah pernikahan.
2.
Perbandingan Latar Belakang Pasangan
Keberhasilan membangun
keluarga seringkali dihubungkan dengan latar belakang pasangan. Keseteraaan
latar belakang lebih baik penyesuaian pernikahannya disbanding dengan yang
berasal dari latar belakang yang berbeda. Konselor perlu mengungkapkan latar
belakang pendidikan, budaya keluarga setiap partner dan status social
ekonominya sepenuhnya harus dieksplorasi, dan perbedaan agama, serta adat
istiadat keluarganya.
3.
Sikap Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap
rencana pernikahannya, termasuk bagaimana sikap mertua dan sanak keluarga
terhadap keluarga nantinya, apakah mereka menyetujui terhadap rencana
pernikahannya, atau memberikan dorongan, dan bahkan memaksakan agar menikah
dengan orang yang disenangi.
4.
Perencanaan Terhadap Pernikahan
Perencanaan terhadap
pernikahan meliputi rumah yang akan ditempati, system keuangan keluarga yang
hendak disusun dan apa yang dipersiapkan menjelang pernikahan.
5.
Faktor Psikologs dan Kepribadian
Factor psikologis dan
kepribadian yang perlu diasesmen adalah sikap mereka terhadap peran seks dan
bagaimana peran yang hendak dijalankan di keluarganya nanti, bagaimana perasaan
mereka terhadap dirinya, dan usaha apa yang akan dilakukan untuk keperluan
keluarganya nanti.
6.
Sifat Prokreatif
Menyangkut sikap mereka
terhadap hubungan seksual dan sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana
pengasuhan terhadap anaknya kelak.
7.
Kesehatan dan Kondisi Fisik
Hal lain yang sangat penting
adalah perlunya diketahui tentang kesesuaian usia untuk mengukur kematangan
emosialnya secara usia kronologis, kesehatan secara fisik dan mentalnya, dan
factor-faktor genetic.
C.
Prosedur Konseling Pranikah
Konseling
pranikah diselenggarakan prosedur sebagaimana konseling perkawinan. Yang
menjadi penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat antisipatif, yaitu
mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan
rencana pernikahannya.
II.
Konseling Perkawinan
A.
Pengertian
Konseling
perkawinan memiliki beberapa istilah, yaitu couples
counseling, marriage counseling, dan marital
counseling. Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling
yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode embantu patner – patner yang menikah untuk memecahkan masalah
dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik. Dikatakan sebagai
metode pendidikan karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada
pasangan suami isteri yang berkonsultasi tentang diri, pasangan dan masalah –
masalah dalam hubungan perkawinan serta cara – cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya.
B.
Perbandingan Konseling Perkawinan dan Keluarga
Secara umum
konseling keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan
masalah – masalah keluarga, sementara konseling perkawinan lebih menekankan
pasa masalah – masalah pasangan ( suami isteri ).
Sekalipun konseling keluarga dan konseling perkawinan
memiliki penekanan tersendiri, kedua macam konseling tersebut memiliki prosedur
yang sama. Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur konseling
keluarga yang dikembangkan dari adanya konflik hubungan perkawinan dan menekankan
pada hubungan perkawinantanpa mengabaikan nilai konseling individu. Konseling
keluarga dilakukan jika masalah yang dialami oleh anggota keluarga secara jelas
tidak dapat terpecahkan tanpa adanya keterlibatkan bersama – sama anggota
keluarga yang bersangkutan.
C.
Permasalahan
Perkawinan
Beberapa masalah
pasangan yang sering kali menjadi masalah dalam suatu perkawinan, dan tentunya
menjadi perhatian konselor. Ada tiga masalah yang mungkin dihadapi dalam
konseling perkawinan.
1.
Adanya harapan dalam perkawinan yang tidak realistis. Harapan
yang berlebihan terhadap rencana pernikahan dan tidak dapat terwujud secara
nyata selama kehidupan berkeluarga, dapat menimbulkan suatu permasalahan, yaitu
kekecewaan pada salah satu atau keduanya.
2.
Kurang pengertian satu dengan lainnya. Jika salah satu atau
bahkan keduanya tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan
perkawinan. Pemahaman tidak hanya diberikan melalui pemahaman, tetapi juga
melalui tindakan afeksi dan tindakan nyata lainnya.
3.
Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara
langgeng. Sebagian orang memandang bahwa keluarga yang dibangunnya tidak lagi
dapat dipertahankan. Sekalipun sudah cukup waktu membangun keluarga,
mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan adalah sangat sulit. Mereka ini
melihat mempertahankannya tidak membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan
bagi dirinya.
Hal – hal yang juga sering
menjadi masalah dalam perkawinan adalah kurangnya kesetiaan salah satu atau
kedua belah pihak, memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua
belah pihak, dan perspisahan diantara pasangan. Problem-problem perkawinan ini
dapat dipecahkan melalui konseling asalkan kedua belah pihak (pasangan)
berkeinginan untuk menyelesaikannya.
D.
Tujuan Konseling Perkawinan
Dalam konseling
perkawinan, konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang
dihadapi, dan mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya. Secara lebih
rinci tujuan jangka panjang konseling perkawinan adalah sebagai berikut.
1.
Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling
empati di antara patner.
2.
Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing
– masing.
3.
Meningkatkan sikap untuk saling membuka diri.
4.
Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5.
Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan
mengelola konfliknya.
E.
Asumsi – Asumsi Konseling Perkawinan
1.
Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan,
bukan pada kepribadian masing – masing patner. Konselor tidak menekankan untuk
mengetahui secara mendalam kepribadian setiap klien yang dating. Dia akan
menekankan bagaimana hubungan yang terjadi selama ini diantara pasangan
tersebut.
2.
Masalah yang dihadapi kedua nelah pihak adalah mendesak,
sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung untuk
memecahkan masalah.
3.
Masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah – masalah
normal, buka kasus yang sangat ekstrem yang bersifat patologis. Maslah normal
adalah masalah kehidupan pasangan yang umum dialami oleh keluarga, hanya saja
keduannya mengalami kesulitan dalam mengatasi konflik-konfliknya.
F.
Tipe – Tipe Konseling Perkawinan
1.
Concurrent
Martial Counseling
Konselor
melakukan konseling secara terpisah pada setiap patner. Metode ini digunakan
ketika salah seorang partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan
sendiri, selain juga mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
2.
Collaborative
Marital Counseling
Setiap patner
secara individual menjumpai konselor yang berbeda. Konseling ini terjadi ketika
seorang partner lebih suka menyelesaikan masalah hubungan perkawinanya,
sementara konselor yang lain menyelesaikan masalah-masalah lain yang juga
menjadi perhatian kliennya.
3.
Conjoint Marital
Counseling
Suami isteri
bersama – sama datang ke seorang atau beberapa konselor. Pendekatan ini
digunakan ketika kedua partner dimotivasi untuk bekerja dalam hubungan,
penekanan pada pemahaman dan modifikasi hubungan.
4.
Couples Marital
Counseling
Beberapa pasangan
datang ke seorang atau ke beberapa konselor. Cara ini dapat mengurangi
kedalaman situasi emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan
memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
G.
Peranan Konselor
1.
Menciptakan hubungan dengan klien.
2.
Memberikan kesempatan kepada klien untuk membuka
perasaan perasaan secara leluasa di
hadapan pasangannya.
3.
Memberikan dorongan dan menunjukan penerimaannya kepada
klien.
4.
Melakukan diagnosis terhadap kesulitan – kesulitan klien.
5.
Membantu klien untuk menguji kekuatan – kekuatannya, dan
mencari kemungkinan aternatif dalam menentukan tindakannya.
H.
Langkah – Langkah Konseling
1.
Tahap persiapan, yaitu tahap dimana klien menghubungi
konselor.
2.
Tahap keterlibatan, yaitu tahap keterlibatan bersama klien.
3.
Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang
dihadapi oleh pasangan.
4.
Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi
untuk penyelesaian masalah.
5.
Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan
hipotesis dan memformulasikan langkah – langkah pemecahan.
6.
Tahap penentuan tujuan, yaitu taha yang dicapai klien telah
mencapai perilaku yang normal, telah mencapai cara berkomunikasi, telah
menaikan self esteem dan membuat
keluarga lebih kohesif.
7.
Tahap akhir dan penutup, yaitu merupakan kegiatan mengakhiri
hubungan konseling setelah tujuannya tercapai.
I.
Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Konseling
perkaawinan tidaklah mudah, karena orang yang ditanganibermasalah, dan
masalahnya menyangkut hubungan satu dengan lainnya. Konselor harus memberikan
perhatian yang sama kepada keduanya. Konselor tidak dibenarkan membela atau
mengesampingkan salah satu diantara pasangan yang berkonsultasi. Konselor
membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani pasangan. Dibandingkan dengan
konseling individual, konseling perkawinan membutuhkan kemampuan dalam member
perhatian, mrngatur pembicaraan, kemmapuan konfrontasi, dan keterampilan
konseling lain.
Namun demikian,
konseling perkawinan juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
konseling individu, yaitu :
1.
Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi
karena pasangannya mengikuti konseling secara bersama.
2.
Dapat dengan mudah mengetahui konflik – konflik di antara
asangan dan tranferensi yang terjadi pada pasangan.
3.
Terfokus pada kehidupan sejak awal pernikahan sampai
kehidupan yang terakhir.
III.
Konseling Keluarga
A.
Pengertian Konseling Keluarga
Konseling keluarga pada dasarnya
merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga in
secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi
keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Konseling keluarga
memandang keluarga secara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang
tidak mungkin dipisahkan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya
maupun penyelesaiannya. Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami oleh
seorang anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga
yang lain. Pada mulanya konseling keluarga terutama diarahkan untuk membantu
anak agar beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui
perbaikan lingkungan keluarganya. Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki
permasalahan pertumbuhan di dalam keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi
adalah menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang akan dikerjakan agar tetap
survive di dalam system keluarganya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Golden dan Sherwood, yang menjelaskan bahwa konseling atau terapi keluarga
merupakan metode yang difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk membantu
memecahkan problem perilaku anak. Dasar diselenggarakan konseling keluarga
karena keluarga memiliki kekuatan untuk mendorong atau mengambat usaha yang
baik dari konselor atau guru yang berusaha membantu guru meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan kliennya.
Menurut Crane, salah seorang konselor
behavioral, konseling keluarga merupakan proses pelatihan terhadap orangtua
dalam hal metode mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orang tua
dalam hal metode mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orang tua dalam perilaku yang
dikehendaki. Dalam pengertian ini, konseling keluarga tidak bermaksud untuk
mengubah kepribadian, sifat, dan karakter orang-orang yang terlibat, tetapi
lebih mengusahakan perubahan dalam system keluarga melalui pengubahan perilaku,
utamanya orang tua. Dalam konseling keluarga yang menjadi unit terapi adalah keluarga
sehubungan dengan masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga tersebut. Hal
tersebut berbeda dengan konseling individual karena yang menjadi unit terapi
adalah individu sekalipun masalah yang dihadapi dan yang dipecahkan adalah
berhubungan dengan keluarganya.
B.
Masalah – masalah Keluarga
Anak di dalam suatu keluarga sering
kali mengalami masalah dan berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah
tekanan dan kekuasaan orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh
orangtua dan seringkali tidak diketahui oleh orang tua. Permasalahan yang
diketahui orangtua jika fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu.
Orangtua akan menghantarkan anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa
anaknya sedang mengahdapi masalah atau sedang mengalami gangguan yang berat.
Karena itu konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap
keluarga dengan anak yang mengalami gangguan.
Hal kedua berhubungan dengan keadaan
orangtua. Banyak dijumpai orangtua tidak berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya,
menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang
berkesinambungan dan penuh konflik, atau member perlakuan secara salah kepada
anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai
masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yang
lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.
Perkembangan konseling keluarga tidak
hanya menagani dua hal tersebut, permasalahan yang ketiga karena mengalami
kondisi yang kurang harmoni di dalam keluarga akibat stressor
perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur keluarganya, dan cara
menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan pengalaman dalam
penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan kepada
konselor antara lain : keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadapan harapan
orang tua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan di antara anggota
keluarga karena kerja di luar daerah, dan anak yang mengalami kesulitan belajar
atau sosialisasi.
Berbagai permasalahan – permasalahan
keluarga tersebut dapat diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling
keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah – masalah tersebut jika semua
anggota keluarga bersedia untuk mengubah system keluarganya yang telah ada
dengan cara – cara baru untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang
bermasalah. Namun demikian, konseling keluarga juga memiliki beberapa hambatan
dalam pelaksanaannya, dan perlu dipertibangkan oleh konselor jika bermaksud
melakukannya. Hambatan yang dimaksud diantaranya :
1.
Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses
konseling karena mereka menganggap tidak berkepentingan dalam usaha ini, atau
karena ember kesibukan, dan sebagainya.
2.
Ada anggota keluarga yang merasa kesulitan untuk menyampaikan
perasaan dan sikapnya secara terbuka di hadapan anggota keluarga lain, padahal
konseling membutuhkan keterbukaan ini dan saling kepercayaan satu dengan yang
lainya.
C.
Pendekatan Konseling Keluarga
Untuk memahami mengapa suatu keluarga
bermasalah dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah keluarga tersebut, ada
tiga pendekatan konseling keluarga yaitu :
1.
Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak dasar
pendekatan system. Menurutnya keluarga bermasalah jika keluarga itu tidak
berfungsi. Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan
dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bawen, dalam keluarga terdapat
kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu
dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas.
Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari system keluarga yang
emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan. Jika
hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan
diri dari system keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan
berdasarkan rasioanalitasnya bukan emosionalnya.
2.
Pendekatan
Sedangkan menurut Satir masalah yang
dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan self-esteem dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi
penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga
itu sangat rendah dan komunikasi yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik.
Satir mengemukakan pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota
keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan
keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga lain.
3.
Pendekatan Struktural
Minuchin beranggapan bahwa masakah
keluarga sering terjadi karena struktur keluarga dan pola transaksi yang
dibangun tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini
batas-batas antara sub system dari system keluarga itu tidak jelas. Mengubah struktur
dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan
antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga
yang bermasalah perlu dirumuskan kembali struktur keluarga itu dengan
memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
D.
Tujaun Konseling Keluarga
Bowen menegaskan bahwa tujuan konseling
keluarga adalah membantu klien (anggota keluarga) untuk mencapai
individualitas, menjadi dirinya sebagai hal yang berbeda dari system keluarga.
Tujuan demikian ini relevan dengan pandangannya tentang masalah keluarga yang
berkaitan dengan kehilangan kebebasan anggota keluarga akibat dari peraturan
dan kekuasaan keluarga.
Satir menekankan pada tujuan mereduksi
sikap defensive di dalam dan antar anggota keluarga. Pada saat yang sama
konseling diharapkan dapat mempermudah komunkasi yang efektif dalam kontak
hubungan antar nggota keluarga. Oleh karena itu, anggota keluarag perlu membuka
inner experience (pengalaman
dalamnya) dengan tidak membekukan interaksi antar anggota keluarga.
Sedangkan Minuchin mengemukakan bahwa
tujuan konseling keluarga adalah mengubah struktur dalam keluarga, dengan cara
menyusun kembali kesatuan dan menyembuhkan perpecahan antara dan sekitar
anggota keluarga. Diharapkan keluarga dapat menantang persepsi untuk melihat
realitas, mempertimbangkan alternative sedapat mungkin dan pola transaksional.
Anggota keluarga dapat mengembangkan pola hubungan baru dana struktur yang
mendapatkan self-reinforcing.
Glick dan Kessler mengemukakan tujuan
umum konseling keluarga adalah untuk (1) memfasilitasi komunikasi pikiran dan
perasaan antar anggota keluarga, (2) mengganti gangguan, ketidakfleksibelan
peran dan kondisi, (3) member pelayanan sebagai model dan pendidik peran
tertentu yang ditunjukan kepada anggota lainnya.
E.
Bentuk Konseling Keluarga
Dalam akitannya dengan bentuknya,
konseling keluarga dikembangkan dalam berbagai bentuk sebagai pengembangan dari
konseling kelompok. Bentuk konseling keluarga dapat terdiri dari ayah, ibu, dan
anak sebagai bentuk konvensioanlnya. Saat ini juga dikembangkan dalam bentuk
lain, misalnya ayah dan anak perempuan, ibu dan anak laki-laki, dan sebagainya.
Bentuk konseling keluarga ini
disesuaiakan dengan keperluannya. Namun
banyak ahli yang menganjurkan agar anggota keluarga dapat ikut serta dalam
konseling. Perubahan pada system keluarga dapat dengan mudah diubah jika
seluruh anggota keluarga terlibat dalam konseling, karena mereka tidak hanya
berbicara tentang keluarganya, tetapi juga terlibat dalam penyusunan rencana
perubahan dan tindakannya.
F.
Peranan Konselor
1.
Konselor berperan sebagai facilitative
a comfortable, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan
tindakan-tindakannya sendiri
2.
Konselor menggunakan perlakuan melalui setting peran
interaksi
3.
Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keliarga
4.
Mempelajari klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk
bertanggung jawab dan melakukan self –
control
5.
Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan
komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota
keluarga
6.
Konselor menolak pembuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota
keluarga
G.
Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Pada mulanya seorang klien dating ke
konselor untuk mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya dating pertama kali ini
lebih bersifat “identitas pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan diperlukan
anggota keluarganya.
Tahapan konseling keluarga secara garis
besar dikemukakan oleh Crane yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga
untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane
menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terdpat empat tahap secara
berturut – turut sebagai berikut :
1.
Orang tua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku –
perilaku alternative. Hal ini dpat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas
membaca dan sesi pengajaran.
2.
Setelah orangtua membaca tentang prinsip dan atu telah
dijelaskan materinya, konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara
mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada anak,
sedangkan orangtua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan
tentang bagaimana hal itu dikerjakan. Secara tipikal, orangtua akan membutuhkan
contoh yang menunjukan bagaimana mengkontrofasikan anak-anak yang beroposisi.
Sangat pentng menunjukan kepada orangtua yang kesulitan dalam memahami dan
menerapkan cara yang tepatdalam memperlakukan anaknya.
3.
Selanjutnya orangtua mencoba mengimplementasikan
prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi.
Terapis selama ini dapat memberikan koreksi apabila dibutuhkan.
4.
Setelah terapis ember contoh kepada orangtua cara
menangani sanak secara tepat. Setelah
mempelajari dalam situasi terapi, orangtua mencoba menerapkannya di rumah,
konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai.
Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orangtua dapat ditanyakan pada saat
ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat member contoh
lanjutan di rumah dan diobservasi orangtua, selanjutnya orangtua mencoba sampai
mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan
dengan masalah anaknya.
H.
Kesalahan Umum dalam Konseling Keluarga
Dalam konseling keluarga banyak
dijumpai kesalahan-kesalahan yang dilakukan konselor, sehingga hasilnya tidak
efektif. Crane mengemukakan sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan
konseling keluarga diantaranya sebagai berikut.
1.
Tidak berjumpa dengan seluruh keluarga (termasuk kedua
orangtua) untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi. Yang baik jika
seluruh anggota keluarga terlibat dalam terapi / konseling.
2.
Pertama kali orangtua dan anak dating ke konselor
bersama-sama, konselornya suatu saat berkata hanya orangtua dan anak tidak
perlu turut dalam proses, sehingga menampakan ketidak peduliannya terhadap apa
yang menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah mengajak anak untuk bicara,
memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan meresponnya secara cepat.
3.
Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah, atau menjelaskan
pandangannya kepada orangtua dan bukan menunjukan cara penanganan masalah yang
dihadapi dalam situasi kehidupan yang nyata.
4.
Melihat / mendiagnosis untuk menjelaskan perilaku anak dan
orangtua, bukan mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-masalah yang
terjadi. Jadi penekanannya adalah mengubah system interaksi dengan jalan
mengubah perilaku orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana cara mengubah
perilaku anak-anak mereka.
5.
Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang
terlalu otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua
perlu belajar cara memberikan dorongan dan afeksi kepada anak mereka, bukan
mengendalikan perilaku anak. Konselor perlu mengajarkan cara member afeksi dan
penghargaan, serta mengajarkan anak dengan penuh afeksi pula.
Kesalahan – kesalahan dalam konseling
keluarga semacam diatas sepatutnya dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Konselor tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus-menerus
terhadap apa yang dilakukan dan bagaimana hasil yang dicapai dari usahanya.
IV.
Konseling Pendidikan
Pendidikan merupakan
institusi pembinaan anak didik yang memiliki latar belakang sosial budaya dan
psikologis yang beraneka ragam. Dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan
banyak anak didik yang menghadapi masalah dan sekaligus mengganggu tercapainya
tujuan-tujuan pendidikan. Masalah yang dihadapi sangat beraneka ragam,
diantaranya masalah pribadi, sosial, ekonomi, agama dan moral, belajar, dan
vokasional.
Masalah-masalah tersebut
seringkali menghambat kelancaran proses belajar, meskipun masalah yang dihadapi
tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan akademik. Penyelenggaraa pendidikan,
khususnya tenaga pendidikan bertanggungjawab membina anak didiknya sehingga
berhasil sebagaimana yang diharapkan, termasuk mereka yang mengalami masalah.
Konseling pada latar pendidikan ini telah banyak
dikenal di Indonesia. Di Amerika, klinik konseling juga didirikan di sekolah
dan pusat-pusat pendidikan pada awal perkembangan konseling, misalnya di Pennsylvania
University pada 1896.
Konseling pendidikan terdiri
atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan dan bantuan
remedial.
a. Perencanaan
pendidikan
Dalam perencanaan pendidikan meliputi bantuan kepada
klien untuk memilih tujuan pendidikan yang tepat dan memilih mecam lembaga
pendidikan yang paling tepat. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk membantu
klien dalam memilih lembaga pendidikan adalah bakat skolastik, kemampuan
keuangan, minat yang memadai, kebutuhan akan pendidikan umum, dan tujuan
jabatan.
Selain itu, perencanaan pendidikan juga meliputi
pembuatan prediksi untuk memperoleh sukses dalam lembaga pendidikan yang akan
dimasuki.
b. Bantuan
Remedial
Dalam konseling pendidikan, konselor pendidikan akan
banyak menghadapi masalah instruksional. Dalam hal ini, konselor harus dapat
mendiagnosa masalah remediadi untuk menetapkan langkah-langkah diagnosa atau
untuk membuat referal kepada spesialisremedial. Jadi ketrampilan yang harus
dimiliki konselor adalah dalam diagnosa dan remediasi (bantuan remedial).
Dalam melakukan diagnostik konselor harus menguasai
ketrampilan-ketrampilan dasar diagnostik dan penguasaan alat-alat yang
dipergunakan. Diagnostik masalah-masalah pendidikan harus dimulai dengan
pemeriksaan fisik, faktor-faktor motivasional, dan kemudian pemeriksaan
mengenai ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar yang menentukan hasil
belajar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konseling
pranikah merupakan konseling yang diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum
menikah, sehubungan dengan rencana pernikahannya. Aspek yang perlu diasesment
dalam konseling pranikah adalah riwayat perkenalan, perbandingan latar belakang
pasangan, sikap keluarga keduanya, perencanaan terhadap pernikahan, factor
psikologis dan kepribadian, sikap prokreatif, kesehatan dan kondisi fisik.
Konseling pranikah diselenggarakan prosedur sebagaimana konseling perkawinan.
Yang menjadi penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat antisipatif,
yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan
rencana pernikahannya. Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai
konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan
ketegangan emosional, metode embantu patner – patner yang menikah untuk
memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Secara umum, konseling keluarga itu dibatasi sebagai
konseling yang berhubungan dengan masalah keluarga, sementara konseling
perkawinan lebih menekankan pada masalah-masalah pasangan. Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada
situasi yang khusus. Konseling keluarga in secara khusus memfokuskan pada
masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan
anggota keluarga. Masalah – masalah dan pendekatan yang ada dalam konseling
keluarga adalah yang sesuai dengan permasalahan klien, dan pendekatan yang ada
dalam konseling keluarga sendiri. Selain aplikasi lapangan kerja konseling
keluarga, ada juga aplikasinya dalam konseling pendidikan, yang mana konseling
pendidikan terdiri atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu perencanaan
pendidikan bantuan remedial
DAFTAR PUSTAKA
Eukaristia. (2011). Aplikasi Konseling dalam Berbagai
Setting. http://animenekoi.blogspot.com/2011/06/aplikasi-konseling-dalam-berbagai.html
[diakses 14 Desember 2013]
Nurhadi,
Siti. (2013). Aplikasi Lapangan Kerja Konselor. http://sitinurhadii.blogspot.com/2013/06/aplikasi-lapangan-kerja-konselor.html
[diakses tanggal 14 Desember 2013]
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan ya :)