>

Sabtu, 20 Desember 2014

Mood dan Bunuh Diri








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi bukanlah hal yang abnormal dalam konteks peristiwa penuh tekanan. Namun orang dengan gangguan mood (mood disorder) mengalami gangguan mood yang luar biasa parah atau berlangsung lama dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal bahkan bisa sampai menyebabakan bunuh diri.
Sejumlah orang mengalami depresi berat bahkan ketika semua hal tampak berjalan lancar, atau saat mereka menghadapi peristiwa yang sedikit membuat kesal yang dapat diterima dengan mudah oleh orang lain. Sebagian lainnya mengalami perubahan mood  yang ekstrem. Mereka bagaikan menaiki roller coster  emosional dengan ketinggian yang membuat pusing dan turunan yang bukan kepalang ketika dunia di sekitar mereka tetap stabil.
Oleh karena semua hal yang terpapar di atas, sangan penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami definisi sebenarnya dari mood,  etiologi atau sebab-sebab gangguan perasaan (mood), gejala-gejala gangguan perasaan (mood), intervensi atau penanganan gangguan perasaan (mood) beserta analisa contoh kasus.
Dengan penyusunan makalah ini dipaparkan mengenai tipe-tipe gangguan mood (mood disorder) dan bunuh diri, berbagai definisinya sehingga diharapkan dapat membantu kita semua untuk lebih memahami tentang gangguan perasaan (mood disorder) yang dapat menimbulkan bunuh diri.






B.     Rumusan Masalah
1.  Bagaimana penjelasan pengertian mood dan bunuh diri?
2. Bagaiman penjelasan mengenai faktor yang menyebabkan mood dan bunuh    diri?
3. Bagaimana gelaja mood dan bunuh diri?
4. Bagaimana menangani gangguan mood dan bunuh diri?

C.     Tujuan
1.Untuk mengetahui penngertian mood dan bunuh diri
2 Untuk mengetahui faktor yang meneybabkan mood dan bunuh diri
3. Untuk mengetahui gejala mood dan bunuh diri
4.Untuk mengetahui penanganan gangguan mood dan bunuh diri









BAB II
PEMBAHASAN

1.      MOOD
A.    Pengertian
Dalam hidup semua manusia memiliki perasaan yang berbeda-beda dalam setiap harinya. Perasaan itu terkadang sedih, senang, marah, dan lain sebagainya yang biasanya berlangsung sementara. Perasaan tersebut sering disebut dengan mood. Mood merupakan perpanjangan dari emosi yang berlangsung selama beberapa waktu, kadang-kadang beberapa jam, beberapa hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus depresi beberapa bulan. Mood yang dialami dalam kehidupan manusia ini sedikit banyak akan berpengaruh kuat terhadap cara mereka dalam berinteraksi.
Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi bukanlah yang abnormal dalam konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan. Namun, orang dengan gangguan mood atau yang sering dikenali sebagai gangguan perasaan biasanya terlarut dalam suasana perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal. Mereka yang mengalami gangguan mood ini akan mengalami perubahan mood yang ekstrem, bagaikan roller coaster emosional dengan ketinggian yang membuat pusing dan turunan yang bukan kepalang ketika dunia disekitarnya tetap stabil (Nevid, 2003: 229).
Pada diri manusia mood ini dating dan pergi, dan ketika itu terjadi biasanya kita dapat mengatasinya dan kembali normal. Namun, kenyataannya tidak semudah itu umumnya gangguan mood ini terjadi pada semua usia, ekspresi gangguan mood pada anak-anak bervariasi tergantung pada usia mereka.
Ganggguan mood yang terjadi pada seseorang ini umumnya terjadi karena banyaknya tekanan yang menimpa dirinya dan cenderung terlarut dalam tekanan dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang kemudian dapat berubah menjadi depresi terutama depresi mayor. Hal ini terbukti pada suatu penelitian yang menemukan bahwa dalam sekitar empat dari lima kasus, depresi mayor diawali oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan. Orang juga lebih cenderung untuk menjadi depresi bila mereka menanggung sendiri tanggung jawab dari peristiwa yang tidak diinginkan (Nevid, 2003: 240).
Depresi berat yang terjadi dalam jangka waktu yang lama ataupun orang yang berada di bawah tekanan stress yang berat dan tidak memiliki pertimbangan yang baik, maka orang tersebut lebih memilih untuk bunuh diri (Nevid, 2003: 262).
Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa gangguan mood ini merupakan suatu gejala yang menyebabkan perubahan suasana perasaan pada seseorang secara ekstreem dan membuat penderitanya terlarut dalam suasana perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal.
B.     Macam-Macam Gangguan Mood dan Ciri-Cirinya
Ada beberapa jenis dalam gangguan mood yang terjadi pada manusia ini umumnya digolongkan sesuai dengan tingkat seberapa lamanya gangguan ini terjadi,  yaitu :
1.      Episode manic
Periode ini biasanya muncul secara tiba-tiba, mengumpulkan kekuatan dalam beberapa hari. Selama satu episode manic ornag tersebut mengalami elevasi atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan kegembiraan, euphoria, atau optimism yang tidak biasa. Orang yang mengalami episode manic ini akan memperolok orang lain dengan memberikan lelucon yang keterlaluan atau bahkan cenderung memperlihatkan penilaian yang buruk dan menjadi argumentative, dan terkadang bertindak afektif. Tak hanya itu orang yang mengalami episode manic ini umumnya mengalami self-esteem yang meningkat, mulai berkisar dari self-confidance yang ekstreem hingga delusi total akan kebesaran diri sendiri (Nevid, 2003: 237-238).
Dalam episode manic terdapat kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat disertai dengan peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental dalam berbagai derajat keparahan. Dalam episode manic terdapat tipe hipomania dimana pada gangguan ini derajat gangguan yang lebih ringan dari mania.
Tipe hipomania ini dapat ditandai dengan adanya afek yang meninggi atau berubah disertai dengan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut, dan tidak disertai halusinasi atau waham.
2.      Gangguan Depresi (gangguan Unipolar)
Depresi merupakan suatu perasaan yang bias muncul dalam berbagai cara dan mempunyai sejumlah penyebab,tidak memedulikan jenis kelamin dan pekerjaan, dan bias menyerang kapanpun dari remaja sampai paruh baya. Dimana usia paruh baya ini merupakan usia puncak dari depresi. Pada setiap orang depresi ini berbeda-beda bentuknya. Kondisi ini bisa disertai dengan kecemasan, gelisah, dan berbicara gugup atau bias beralih menjadi periode mania (mood yang meningkat), berbicara terputus-putus, serta aktivitas kompulsif yang dinamakan pasien “manic depresif”. Namun, ada juga yang bersikap apatis dan cenderung menutupi kekhawatirannya. Penderita sering mengeluh tidak mampu berfikir dengan jelas, sulit berkonsentrasi, atau membuat keputusan (Jacoby, 2009:34).  Dalam proses berjalannya gangguan depresi, depresi ini merupakan gangguan yang dapat dibagi menjadi tiga tahap yang dimulai dari gejala yang ringan, sedang hingga berat.
Gejala atau ciri-ciri utama seseorang dengan depresi adalah afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan yang mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
Gejala atau ciri lainnya :
a)  Konsentrasi dan perhatian berkurang,
b)  Harga diri dan kepercayaan diri berkurang,
c)  Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna,
d)  Pandangan tentang masa depan yang suram dan pesimistis,
e)  Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,
f)  Tidur terganggu,
g)  Nafsu makan berkurang (Maslim, 2003: 64)

·         Depresi ringan
Depresi ringan ini di identikkan dengan depresi minor yang merupakan perasaan melankolis yang berlangsung sebentar dan disebabkan oleh sebuah kejadian yang tragis atau mengandung ancaman, atau kehilangan sesuatu yang penting dalam kehidupan si penderita (Meier, 2000: 20-21). Orang dengan depresi ringan ini setidaknya memiliki 2 dari gejala lainnya dan 2-3 dari gejala utama. (Maslim, 2003, 64).


·         Depresi sedang
Depresi sedang ini di alami oleh penderita selama kurang 2 minggu, dan orang dengan depresi sedang ini mengalami kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social, pekerjaan dan urusan rumah tangga. Orang dengan depresi sedang ini setidaknya memiliki 2-3 dari gejala utama dan 3-4 dari gejala lainnya (Maslim,  2003: 64).
·         Depresi mayor
Depresi mayor merupakan salah satu gangguan yang prevalensinya paling tinggi di antara berbagai gangguan (Davidson, 2006: 374). Depresi mayor adalah kemurungan yang dalam dan menyebar luas. Perasaan murung ini mampu menyedot semangat dan energy serta menyelubungi kehidupan si penderita seperti asap yang tebak dan menyesakkan dada. Depresi mayor ini dapat berlangsung cukup lama mulai dari empat belas hari sampai beberapa tahun. Hal ini menyebabkan penderita akan sangat sulit utnuk berfungsi dengan baik di lingkungannya. Orang dengan depresi mayor ini juga terkadang disertai dengan keinginan untuk bunuh diri atau bahkan keinginan untuk mati. Orang yang sangat tertekan, mereka akan mengalami dampak hal-hal yang mengganggu kejiwaan mereka seperti gila, paranoia atau halusinasi pendengaran (Meier, 2000: 25-26).
3.      Gangguan distimik atau distimia
Gangguan distimik ini merupakan gangguan mood yang berpola depresi ringan (tetapi nungkin saja menjadi mood yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja) yang terjadi dalam suatu rentang waktu—pada orang dewasa, biasanya dalam beberapa tahun (Nevid, 2003: 229). Gangguan distimik pada anak-anak dan remaja terdiri dari mood yang terdepresi atau mudah tersinggung untuk sebagaian besar hari, lebih banyak hari dibandingkan tidak, selama periode sekurangnya satu tahun. Pada anak-anak dan remaja, mood yang mudah tersinggung dapat menggantikan criteria mood terdepresi untuk orang dewasa dan bahwa criteria durasi adalah bukan dua tahun tetapi satu tahun utnuk anak-anak dan remaja (Kaplan, dkk, 1997: 813).
Ada beberapa gejala atau ciri yang dapat ditandai saat gejala ini muncul,
yaitu :
a)  Kehilangan nafsu makan atau justru makan berlebihan,
b)  Sulit tidur atau kebanyakan tidur (sulit bangun),
c)  Tingkat energy rendah atau mudah lelah,
d)  Citra diri yang rendah,
e)  Daya konsentrasi yang rendah atau sulit mengambil keputusan,
f)  Perasaan putus asa.

Penderita gangguan ini setidaknya mengalami gejala-gejala diatas paling lama 2 bulan sekali. Pada gangguan ini tidak terjadi depresi mayor selama dua tahun terakhir, tidak pernah menderita akibat perubahan naik turun antara periode kegairahan yang membumbung tinggi dan depresi yang melankolis. Gangguan distimia ini tidak disebabkan oleh penyalahgunaaan obat  atau bahan kimiawi. Namun, gejala ini mengakibatkan kerusakan klinis yang signifikan dalam fungsi social, pekerjaan atau area-area penting lain dalam kehidupan si penderita (Meier, 2000: 22).
4.      Gangguan perubahan mood (bipolar)
Gangguan bipolar adalah gangguan mental berat, tanpa memandang apakah ada perubahan mental antara mania dan depresi secara full brown. Gangguan bipolar merupakan suatu psikosis afektif, ada gangguan emosi, baik akibat kebiasaan maupun menyembunyikan kecemasan dan perasaan malu. Pada fase depresi, pendiam, mendendam perasaan, emosional sensitive. Pada fase mania perilakunya sangat berlawanan, sangat ekstrover. Pada beberapa kasus keadaaan ini mengandung unsure fanatic dan religious (Jacoby, 2009: 27).
Gangguan bipolar ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu gangguan bipolar 1 dan gangguan bipolar 2. Gangguan bipolar 1 ini terjadi pada seseorang yang mengalami setidaknya satu episode manic secara penuh. Di mana seseorang mengalami perubahan mood antara rasa girang dan depresi dnegan diselingi periode antara berupa mood yang normal. Sedangkan, gangguan bipolar 2 ini diasosiasikan dengan suatu bentuk maniak yang lebih ringan. Pada gangguan bipolar 2 ini sesorang mengalami satu atau lebih episode-episode depresi mayor dan paling tidak satu episode hipomanik (Nevid, 2003: 237).
5.      Gangguan Siklotimik
Gangguan siklotimik ini berasal dari kata Yunani kyklos “lingkaran” dan thymos “spirit”. Jadi dapat diartikan bahwa siklotimik ini merupakan spirit yang bergerak secara berputar di mana dapat diartikan sebagai suatu deskripsi yang tepat dari siklotimik karena gangguan ini melibtatkan suatu pola melingkar yang kronis dari gangguan mood yang ditandai oleh perubahan mood ringan paling tidak selama 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak dan remaja)(Nevid, 2003: 239). Pada gangguan siklotimik anak dan remaja diperlukan periode satu tahun adanya sejumlah pergeseran mood. Dan pada beberapa remaja siklotimik dapat memungkinkan untuk menjadi gangguan bipolar 1(Kaplan, dkk, 1997: 814).
Pada penderita gangguan siklotimik, penderita mengalami pergantian suasana perasaan senang dan depresi yang bersifat kronis yang tidak sampai pada tingkat keparahan seperti episode manic atau depresi berat. Pada para gangguan siklomatik cenderung berada di salah satu keadaan suasana perasaan selama bertahun-tahun dengan relative sedikit periode suasana netral (eutimia). Penderita gangguan siklomatik ini secara berganti-ganti akan mengalami gejala-gejala keadaan depresi ringan dan umumnya disebut sebagai moody(Durand, 2006: 282).
6.      Kehilangan
Kehilangan adalah keadaan duka cita yang berhubungan dengan kematian seseorang yang dicintai yang dapat ditemukan dengan gejala yang karakteristik dari episode depresif berat. Orang dengan kehilangan ini umumnya dapat dikenali dari gejala-gejala berikut :
a)  Perasaan sedih,
b)  Insomnia,
c)  Menghilangnya nafsu makan,
d)  Dan di beberapa kasus terjadi penurunan berat badan.
Dan jika pada anak-anak umumnya mereka lebih menarik diri dan terlihat sedih; dan mereka tidak mudah ditarik meskipun aktivitas itu merupakan aktivitas yang mereka sukai (Kaplan, dkk, 1997: 815).
7.      Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan cirri atau symptom dari gangguan psikologis yang mendasarinya, dan biasanya adalah gangguan mood yang menjadi alasan dibalik perilaku percobaan bunuh diri. Orang yang mempertimbangkan untuk bunuh diri pada saat stress kemungkinan kurang memiliki keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara alternative untuk copping dengan stressor yang mereka hadapi.
Dalam kaitannya, bunuh diri ini terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari beberapa factor. Namun, jelas bahwa kebanyakan kasus bunuh diri ini dapat dicegah bila orang dengan perasaan ingin bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasari perilaku bunuh diri, termasuk didalamnya adalah depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan alcohol dan zat (Nevid, 2003: 262-266).

C.     Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Mood
Dilihat dari beberapa sudut pandang, ada beberapa hal ynag menyebabkan seseorang itu mengalami gangguan mood, dan diantara factor-faktor tersebut adalah :
1.      Faktor Biologis
a.       Pengaruh Keluarga dan Genetik
Dalam kaitannya dengan gangguan mood adalah dalam studi keluarga, para peneliti melihat adanya prevaliansi gangguan tertentu pada anggota-anggota keluarga keluarga tingkat-pertama dari orang-orang yang diketahui memiliki gangguan. Dan mereka menemukan bahwa angka anggota keluarga yang memiliki gangguan suasana perasaan secara konsisten dua sampai tiga kali lebih tinggi fibanding anggota keluarga kelompok control yang tidak memiliki gangguan perasaan. Namun, perlu diketahui bahwa jika salah satu di antara pasangan memiliki gangguan unipolar, maka kemungkinan pasangan kembarnya untuk memiliki gangguan bipolar yang sangat tipis atau sama sekali tidak ada. Dan tingkat keparahan mungkin juga terkait dengan banyaknya concordance (sejauhmana sesuatu dimiliki bersama).
b.      Sistem Neurotransmiter
Gangguan suasana perasaan telah menjadi subjek studi neurobiologist yang lebih intens. Penelitian mengimplikasikan pada tingkat serotonin yang rendah dalam etiologi gangguan suasana perasaan. Hal ini dikarenakan, fungsi primer serotonin adalah mengatur reaksi-reaksi emosional pada manusia. Dalam hipotesis “permisif” penelitian ini mengatakan bahwa ketika tingkat serotonin rendah, neurotransmitter lainnya diizinkan (mood irregularities), termasuk depresi. Anjloknya norepineferin akan menjadi salah satu akibat terjadinya gangguan mood.
c.       Ritme Tidur dan Sirkadian
Gangguan mood yang dialami oleh seseorang ini umumnya dapat dilihat dari pertambahan jam tidur yang semakin meningkat. Dan dalam beberapa tahun telah diketahui bahwa gangguan tidur merupakan salah satu pertanda bagi kebanyakan gangguan perasaan. Hal ini terjadi karena, pada orang-orang yang mengalami depresi hanya ada waktu yang lebih pendek secara signifikan sepelum repid eye movement (REM) sleep dimulai. REM sleep atau non-REM sleep. Pada saat seseorang tetidur, mereka akan melalui beberapa subtahapan tidur yang secara progresif menjadi lebih nyenyak, di mana pada saat itu mereka mencapai tingkat istirahat yang sesungguhnya. Pada prosesnya, setelah 90 menit seseorang mulai mengalami REM sleep, di mana otak terjaga dan kita mulai bermimpi. Mata akan bergerak maju-mundur dengan cepatdi balik kelopak mata, sehingga dinamai dengan repid eye movement sleep. Dan ketika semakin larut, maka banyaknya REM sleep akan semakain bertambah. Sedangkan, pada orang yang menderita depresi akan kehilangan tidur gelombang-lambat mereka.
Selain memasuki periode REM sleep yang jumlah yang jauh lebih cepat, orang dengan depresi ini akan mengalami aktvitas REM yang lebih intens. Tak hanya itu, tahapan tidur yang paling nyenyak hanya berlangsung pendek atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Karena ada beberapa karakteristik tidur hanya terjadi pada saat seseorang sedang mengalami depresi dan tidak terjadi pada saat lainnya.
d.      Aktivitas Gelombang Otak
Ada beberapa indicator yang dapat dilihat dari aktivitas gelombang otak yang menunjukkan adanya kerentanan biologis seseorang terhadap depresi. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas gelombang otak yang didemonstrasikan oleh peneliti bahwa para penderita depresi menunjukkan aktivasi lebih besar pada anterior sebelah kanan (dan lebih kecil pada aktivasi sebelah kiri) disbanding orang-orang yang tidak mengalami depresi (Durand, 2006: 295-299).
2.      Faktor Psikologis
Dalam mengulas kontribusi genetic terhadap penyebab depresi dapat dinyatakan bahwa 60%-80% penyebab depresi dapat diatribusikan pada pengalaman-penagalaman psikologis. Selain itu pengalaman itu bersifat unik untuk masing-masing individu.
a.       Peristiwa Kehidupan yang Stressful
Peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan orang-orang yang divintai, putusnuya hubungan romantic, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor. Dan pada orang-orang dengan depresi mayor ini sering kali kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah interpersonal dengan teman, teman kerja atau supervisor.
b.      Teori Humanistic
Menurut teori ini, seseornag menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik yang menghasilkan self-fulfillment. Kemudian dunia dianggap sebagai tempat yang menjemukan (Nevid, 2003: 240-243).
c.       Learned Helplessness
Learned helplessness merupakan kedaan diri yang selalu membuat atribusi bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupannya (baik sesuai kenyataan maupun tidak).
d.      Negative Cognitive Styles
Negative cognitive styles adalah kesalahan berfikir yang difokuskan secara negative pada tiga hal, yaitu dirinya sendiri, dunian terdekatnya, dan masa depannya. Di mana menurut Beck, penderita depresi memandang yang terburuk dari segala hal. Bagi mereka, kemunduran terkevil sekalipun merupakan bencana besar.
3.      Faktor Sosial dan Kultural
Sejumlah faktor social cultural memberikan kontribusi pada onset atau bertahannya dperesi. Faktor yang paling menonjol antara lain adalah hubungan perkawinan, gender, dan dukungan social.
·         Hubungan Perkawinan
Maksudnya adalah hubungan perkawinan yang tidak memuaskan yang bisa menyebabkan individu bisa mengalami gangguan perasaan seperti depresi.
·         Perbedaan Gender
Menurut Cyranowski, dkk (2000) Sumber perbedaan ini bersifat cultural, karena peran jenis yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan di masyarakat.  Di mana laki-laki sangat di dorong mandiri, masterful, dan asertif, sedangkan perempuan sebaliknya diharapkan lebih pasif, lebih sensitive terhadap orang lain, dan mungkin lebih banyak bergantung pada orang lain.


·         Dukungan Social
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Johnson, Winett, dkk (1999) tentang efek-efek dukungan social di dalam kesembuhan yang pesat dari episode manic maupun depresif pada pasien gangguan bipolar, mereka menemukan hasil yang mengejutkan bahwa, jaringan pertemanan, dan keluarga yang suportif secara social membantu terjadinya kesembuhan cepat dari episode depresif, tetapi tidak pada episode manic. Dari hasil penelitian ini dan juga studi-studi prospektif yang dilakukan menguatkan tentang pentingnya dukungan social (atau kekurangan dukungan social) dalam memprediksi onset atau gejala-gejala depresi yang muncul kemudian (Durand, 2006: 303-308).
D.    Terapi untuk Gangguan Mood
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani seseorang yang mengalami gangguan mood, beberapa diantaranya adalah :
1.      Pengobatan
Pemberian antidepresian yang dapat membantu memgontrol gejala dan mempertahankan fungsi neurotransmitter. Ada 3 tipe antidepresian yang sering digunakan, yaitu :
a.       Trisiklik (Tofranil, Elavil)
Trisiklik ini berfungsi untuk memberikan efek dengan mendesentralisasi norepinefferin.
b.      Monamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)
MAOIs ini berfungsi untuk memblokir enzim MAO yang memogokkan neurotransmitter seperti norepinefrin dan serotonin.
c.        Selective Serotogenic Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Cara spesifik memblokir reuptake serotonin pra-sinaptik. Dan secara temporer menaikkan level serotonin dibagian reseptornya.
d.       Lithium  
Lithium ini merupakan garam yang dapat ditemukan dalam kandungan air minum yang kadar jumlahnya sangat kecil hingga tidak memberikan efek apapun. Lithium sendiri memiliki sebuah keunggulan yang membedakannya dari antidepresan lainnya. Karena, substansinya lebih sering efektif untuk mencegah dan menangani episode-episode manic.
2.      Terapi Kognitif-Behavioral
Dalam prosees terapi ini klien diajarkan untuk menelaah secara cermat cara berfikir mereka saat mereka depresi dan untuk menengarai kesalahan-kesalahan “depresif” dalam berpikir. Tak hanya itu, klien juga diajarkan bahwa kesalahan dalam berfikir dapa menyebabkan depresi secara langsung. Dan penanganannya melibatkan tindakan mengkoreksi kesalahan-kesalahan berpikir dan menggantinya dengan pemikiran dan penilaian yang kurang menyebabkan depresi dan (mungkin) lebih relistis.
3.      Psikoterapi Interpersonal (IPT / Interpersonal Psychotheraphy)
IPT atau Psikoterapi Interpersonal ini memfokuskan pada penyelesaian berbagai masalah dalam hubungan yang sudah ada dan belajar membangun hubungan-hubungan interpersonal yang penting dan baru. Dalam proses IPT ini sangat terstruktur. Pada proses awal terapis harus mengidentifikasi berbagai stressor yang mungkin mencetuskan depresi. Setelah itu, terapis mengklasifikasikan dan mendefinisikan sebuah perselisihan interpersonal. Setelah itu, mencari penyelesaiannya dengan :
·         Tahap negosi
·         Tahap jalan bunyu
·         Tahap resolusi
4.      ECT (Elektrokonvulsif dan Simulasi Magnetik Transkranial/ TMS)
ECT adalah penangan yang cukup aman dan efektif untuk depresi berat yang tidak menunjukkan perbaikan dengan penanganan bentuk lain. ECT merupakan bentuk penanganan yang dalam pengadministrasiannya pasien diberi anestsesi/ obat bius untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dan diberikan obat perelaks otot untuk mencegah kerusakan tulang akibat konvulsi selama sizure (Kejang-kejang). Kemudian listrik diadministrasikan secara langsung melalui otak selama kurang dari satu detik. Bentuk penanganan ECT ini terbukti untuk menaikkan lever serotonin, memblokir hormone-hormon stress dan membantu terjadinya neurogenesis dalam hipokampus.
Sedangkan TMS (Transcrantial Magnetic Simulation) bekerja dengan cara menempatkan sebuah gulungan magnetic diatas kepala untuk membangkitkan denyut elektromagnetik yang dialokasikan dengan tepat. Dalam penanganan ini anastesi tidak dibutuhkan karena, efek sampingnya biasanya terbatas dalam bentuk sakit kepala.
TMS dan ECT ini sama-sama efektif untuk pasien-pasien dengan depresi berat atau depresi psikotik yang resisten dengan penanganan (belum menunjukkan respons terhadap obat atau penanganan psikologis) (Durand, 2006: 311-318).
2.      BUNUH DIRI
Bunuh diri bukan lah suatu alasan gangguan psikologis , tetapi sering merupakan ciri atau simtom dari gangguan psikologis yang mendasarinya,seperti mood. Terlepas dari terdapatnya kemajuan teknlogi perpanjangan hidup dalam perawatan medis, sejumlah orang dewasa lanjut usia merasa bahwa kualitas kehidupan mereka kurang dari memuaskan. Dengan hidup lebih lama ,sejumlah orang lanjut usia menjadi lebih rentan terhadap penyakit seperti kanker dan alzheimer, yang dapat membuat mereka merasa tidak berdaya dan putus asa yang da pada gilirannyadapat memunculkan pikirannya untuk bunuh diri. Banyak orang berusia lanjut juga menderita suatu akumulasi yang mengandung dari kehilangan teman-teman  dan orang yang mereka cintai seiring berjalannya waktu menyebabkan isolasi sosial. Kehilangan-kehilangan ini, seperti juga kehilangan kesehatan yang baik dan suatu peran tanggung jawab di komunitas, dapat menurunkan keinginan mereka untuk hidup. Tidak mengherankan, angka bunuh diri yang paling tinggi pada pria lanjut usia terdapat diantara mereka yang menduda atau menjalani kehidupan yang terisolasi secar sosial. Penerimaan  masyarakat yang meningkat terhadap bunuh diri pada orang usia lanjutnjuga memeinkan peranan didalamnya. Mungkin masyarakat harus memfokuskan perhatian yang sama besar pada kualitas kehidupan yang dapat dicapai oleh orang usia lanjut dan tidak hanya pada memberikan mereka perawatan medis yang membantu mewujudkan hidup yang lebih panjang.
Perbedaan gender  pada resiko bunuh diridapat menutupi faktor-faktor yang mendasarinya. Temuan umum bahwa pria lebih cenderung untuk mengakhiri hidupnya sendiri dapat dikarenakan adanya fakta bahwa pria juga lebih cenderung untuk memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol dan obat.

1.      Alasan orang melakukan bunuh diri
Bagi pengamat awan Bunuh diri tampak seperti  tindakan yang sangat ekstrem  sehingga hanya orang  yang tidak waras yang akan melakukannya. Namun, pikiran untuk bunuh diri tidak selalu mengimplikasikan hilangnya hubungan realitas, konflik tak disadari yang terkubur dalam, atau suatu gangguan kepribadian memiliki pikiran-pikiran mengenai bunuh diri umumnya mereflesikan suatu penyempitan kisaran pilihan yang orang pikir tersedia bagi mereka untuk mengatasi masalah-masalah mereka dan tidak melihat jalan keluar lain.
Risiko bunuh diri lebih besar diantara orang dengan gangguan mood parah, seperti depresi mayor dan gangguan bipolar. Sebanyak satu dari  lima orang dengan gangguan bipolar pada akhirnya melakukan bunuh diri(Cowan & Kandel). Para ahli percaya bahwa semakin  besar usaha yang dilakukan untuk  mendiagnosis dan menangani gangguan mood dapat menghasilkan  angka bunuh diri yang rendah(Isakason). Percobaan maupun keberhasilan bunuh diri  juga dihubungkan dengan gangguan psikologis lainnya,seperti alkoholisme dan ketergantungan obat, skizofrenia, gangguan panik, gangguan kepribadian anti sosial, gangguan stres pascatrauma , gangguan kepribadian ambang , dan suatu riwayat bunuh diri dalam keluarga(Roy.2000). Bunuh diri juga merupakan penyebab utama dari kematian dini diantara orang dengan skizofrenia(Fenton). Setengah atau lebih orang yang melakukan percobaan  bunuh diri dalam suatu penelitian terkini, memiliki dua atau lebih ganngguan psikologis.
Tidak semua bunuh diri terkait dengan psikologis. Sejumlah orang yang menderita penyakit fisik  yang sangat menyakitkan dan tanpa harapan mencari pelarian dan penderitaan mereka dengan cara mengakhiri hidup mereka. Bunuh diri semacam ini terkadang dianggap bunuh diri yang rasional dengan keyakinan bahwa hal itu didasarkan pada keputusan yang rasional bahwa hidup tidak lagi berharga untuk dijalani dengan adanya penderitaan yang berkepanjangan. Namun, mungkin  dalam banyak dari kasusu-kasus ini , penilaian dan kemampuan penalaran orang tersebut  bisa saja dipengaruhi oleh suatu gangguan psikologis yang mendasar dan potensial yang dapat ditangani, seperti depresi.
Pecobaan bunuh diri sering kali terjadi dalanm upaya merespon terhadap peristiwa hidup yang penuh tekanan, terutama kejadian luar seperti kematian pasangan, teman dekat, atau kerabat, perceraian atau perpisahan, seorang anggota keluarga meninggalkan rumah atau kehilangan teman dekat. Orang yang mempertimbangkan bunuh diri pada saat stres kemungkinan kurang memiliki ketrampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara alternatif untuk coping  dengan stresor yang mereka hadapi. Menekankan dampak psikologis dari stres  yang berat.
2.      Perspektif teoritis tentang bunuh diri
Model psikodinamika klasik memandang depresi sebagai pengalihan kedalam dari rasa marah terhadap representasi internal atas objek cinta yang hilang. Kemudian, bunuh diri mewakili kemarahan yang diarahkan kedalam yang menjadi bersifat membunuh. Jadi, orang yang bunuh diri tidak berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Mereka malah mencari cara untuk mengekspresikan rasa marah mereka terhadap representasi internal atas objek cintanya. Dengan melakukannya, mereka tentu saja juga menghancurkan diri mereka sendiri. Dalam tulisannya yang baru, Freud berspekulasi bahwa bunuh diri kemungkinan dimotivasi oleh insting kematian , suatu kecenderungan untuk kembali ke keadaan bebas tekanan yang ada sebelum kelahiran. Teoritikus eksistensial dan humanistik menghubungkan bunuh diri dengan persepsi bahwa hidup tidaklah bermakna dan tanpa harapan. Orang yang bunuh diri dilaporkan merasa bahwa hidupnya lebih menjemukan, lebih kosong, dan lebih membosankan dari pada orang yang tidak bunuh diri(Mehrabian).
Pada abad kesembilan belas, pemikir sosial Emile Durkheim menyatakan bahwa orang yang mengalami anomi mereka yang merasa tersesat, tanpa identitas, tidak berakar,lebih cenderung untuk melkuakan bunuh diri.Teoritikus sosiokultural  juga percaya bahwa ketersaingan dalam masyarakat saat ini dapat memainkan peran dalam bunuh diri.Dalam masyarakat moderndan terus bergerak, orang sering kali bepergian ratusan atau ribuan ke sekolah atau ketempat kerja.  Personel militer dan keluargannya bahkan dapat berpindah-pindah lebih sering lagi.
Oleh karenanya, banyak orang terisolasi secara sosial atau terputus dari kelompok pendukung mereka.Lebih lagi, penduduk kota cenderung membatasi atau tidak berminat dengan kontak-kontak sosial informal karena kepadatan, stimulasi yang berlebihan, dan ketakutan akan kriminalitas. Jadi dapatlah dimengerti mengapa banyak orang yang hanya menemukan sedikit sumber dukungan di masa-masa krisis. Pada sejumlah kasus, ketersediaan dukungan keluarga tidaklah membantu. Anggota keluarga dianggap sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Teoritikus belajar banyak berfokus pada kurangnya ketrampilan pemecahan masalah untuk menangani tekanan hidup yang berat. Menurut Shneidman, orang yang melakukan percobaan bunuh diri berharap untuk dapat lari dari rasa sakit psikologis yang tidak tertahankan dan kemungkinan memersepsikan bahwa tidak ada jalan keluar lain. Orang yang mengancam atau mencoba bunuh diri juga bisa mendapatkan simpati serta dukungan dari orang tercintanya dan orang lainn, yang kemungkinan mendorong percobaan dimasa depan dan yang lebih mematikan ini bukan berarti bahwa usaha atau tanda-tanda bunuh diri harus diabaikan. Tidaklah benar bahwa orang yang mengancam bunuh diri berbuat demikian hanya untuk mencari perhatian. Meski mereka yang telah mengancam bunuh diri sering kali tidak melakukan aksinya, ancaman ancaman mereka harus dianggap serius. Orang yang melakukan bunuh diri sering kali mengatakan pada orang lain mengenai niat mereka atau meninggalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya. Lebih lagi banyak orang melakukan percobaan bunuh diri yang gagal yang mereka hentikan sebelum menyakiti diri mereka, sebelum akhirnya mereka melanjutkan dengan usaha bunuh diri yang sesungguhnya (Barber).
Teoritikus sosial kognitif mengatakan bahwa bunuh diri dapat dimotivasi oleh harapan positif dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap legitimasi dan bunuh diri(Stein).Orang yang membunuh dirinya sendiri mungkin berharap bahwa mereka akan dirindukan atau dikenang setelah kematian mereka, atau bahwa orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah salah memperlakukan mereka.Pasien psikiatri yang cenderung bunuh diri memiliki harapan yang lebih positif mengenai bunuh diri daripada sapel psikiatri yang tidak cenderung bunuh diri. Mreka sering menekspresikan keyakinan bahwa bunuh diri akan menyelesaikan masalah mereka(Lenihan). Bunuh diri dapat merepresentasikan suatu usaha yang putus asa dalam menghadapi masalahdengan cara jatuh menukik dan bukan sedikt demi sedikit.
Teoritikus sosial kognitif juga berfokus pada dampak modeling yang potensial dan mengobservasi perilaku bunuh diri pada orang lain, terutama remaja yang merasa terbebani olek stresor akademikdan sosial. Suatu penularan sosial, atau menyebarnya bunuh diri dalam komunitas, dapat terjadi dengan adanya bunuh diri yang mendapat publisitas yang luas. Remaja yang tampaknya paling rentan untuk dampak modeling seperti ini , dapat meromantisasi bunuh diri sebagai suatu keberanian heroik. Pada penelitian di Oregon, perilaku bunuh diri dari seorang teman menjadi faktor risiko dalam percobaan bunuh diri diantara remaja(Lewinsohn). Mencontoh bunuh diri kemungkinan lebih cenderung terjadi bila laporan tentang bunuh diri tersebut sangat sensasional sehingga membuat remaja lain berharap bahwa kepergian mereka dapat memiliki dampak yang luas pada komunitas(Kessler).
Faktor-faktor biologis juga berimplikasi dalam bunuh diri. Penurrunan aktivitas seretonin ditemukan pada banyak orang  yang mencoba atau melakukan bunuh diri(Ganshyam). Oleh karena menurunnya ketersediaan seretonin terkait dalam depresi, maka hubungannya dengan bunuh diri tidaklah mengherankan. Namun seretonin bekerja untuk membatasi atau atau menhambat aktivitas sistem saraf, sehingga mungkin kurangnya aktivitas seretonin menyebabkan disinhibition atau pelepasan dari perilaku implusif yang mengambil bentuk tindakan bunuh diri pada individu yang rapuh. Bunuh diri juga cenderung menurun dalam keluarga, yang menandakan adanya faktor genetis.Bukti dari suatu penelitian terbaru tentang anak kembar menujukan bahwa dari sembilan pasangan kembar diman keduanya melakukan bunuh diri, tujuh diantaranya adalah kembar MZ dan dua adalah kembar DZ (Roy). Secara keseluruhan , kira- kira satu dari empat yang mencoba bunuh diri memiliki satu anggota yang telah melakukan bunuh diri.( Sorensen & Rutter).
Keberadaan gangguan psikologis diantara anggota keluarga dapat dihubungkan dengan bunuh diri(Sorensen & Rutter). Bunuh diri terkait dengan suatu jaringan yang kompleksdari berbagai faktor, dan untuk memprediksinya tidaklah mudah. Namun jelas bahwa bunuh diri yang dapat dicegah bila orang dengan perasaan ingin bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasaribperilaku bunuh diri, termasuk depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan alkohola dan zat(many suicides could be prevented, 1998). Kita juga memerlukan strategi yang menekankan pada harapan-harapan selama masa-masa stres berat(Malone).
3.      Memprediksi Bunuh Diri
Orang yang bunuh diri cenderung menunjukan niatnya, sering kali cukup eksplisit, seperti menceritakan pada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh dirinya (Denneby) dan beberapa berusaha menyembunyikan niatnya. Namun, petunjuk –petunjuk behavioral tetap dapat mengungkapkan niat bunuh diri. Orang yang memikirkan bunuh diri juga seperti membuang-buang barang miliknya(Gelman). Orang yang memikirkan bunuh diri  juga dapat secara tiba-tiba mencoba untuk memilah-milah urusan-urusan mereka, seperti mebuat surat warisan atau membeli tanah di pemakaman. Saat orang yang bermasalah memutuskan untuk melakukan bunuh diri, mereka tiba-tiba tampak berda dalam keadaan yang damai, mereka merasa terlepas dari keharusan untuk terbebani dengan masalah hidup. Ketenagan yang tiba-tiba ini dapat salah diinterpretasikan sebgai suatu tanda harapan.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi bukanlah yang abnormal dalam konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan.
Ada beberapa jenis dalam gangguan mood yang terjadi pada manusia ini umumnya digolongkan sesuai dengan tingkat seberapa lamanya gangguan ini terjadi,  yaitu :
a.       Episode manic
b.      Gangguan Depresi (gangguan Unipolar)
c.       Gangguan distimik atau distimia
d.      Gangguan perubahan mood (bipolar)
e.       Gangguan Siklotimik
f.       Kehilangan
g.      Bunuh Diri
Bunuh diri adalah bukanlah suatu alasan gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri atau simtom dari gangguan psikologis yang mendasarinya,seperti mood. Pendekatan teoritis yang utama untuk memahami bunuh diri dalam pendekatan yang diambil dari model psikodinamika klasik tentang kemarahan yang diarahkan kedalam, teori Durkeim tentang alienasi sosial, serta pandangan yang berdasarkan belajar, sosial kognitif, dan biologis.





Daftar Pustaka
Nevid, Jeffrey dkk. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan ya :)