BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Mood adalah kondisi perasaan yang terus
ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi
bukanlah hal yang abnormal dalam konteks peristiwa penuh tekanan. Namun orang
dengan gangguan mood (mood disorder)
mengalami gangguan mood yang luar biasa parah atau
berlangsung lama dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi
tanggung jawab secara normal bahkan bisa sampai menyebabakan bunuh diri.
Sejumlah orang
mengalami depresi berat bahkan ketika semua hal tampak berjalan lancar, atau
saat mereka menghadapi peristiwa yang sedikit membuat kesal yang dapat diterima
dengan mudah oleh orang lain. Sebagian lainnya mengalami perubahan mood yang
ekstrem. Mereka bagaikan menaiki roller coster emosional dengan
ketinggian yang membuat pusing dan turunan yang bukan kepalang ketika dunia di
sekitar mereka tetap stabil.
Oleh karena semua hal
yang terpapar di atas, sangan penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami
definisi sebenarnya dari mood, etiologi atau sebab-sebab gangguan
perasaan (mood), gejala-gejala gangguan perasaan (mood),
intervensi atau penanganan gangguan perasaan (mood) beserta analisa
contoh kasus.
Dengan penyusunan
makalah ini dipaparkan mengenai tipe-tipe gangguan mood (mood disorder)
dan bunuh diri, berbagai definisinya sehingga diharapkan dapat membantu kita
semua untuk lebih memahami tentang gangguan perasaan (mood disorder) yang
dapat menimbulkan bunuh diri.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
penjelasan pengertian mood dan bunuh diri?
2. Bagaiman penjelasan mengenai faktor yang menyebabkan mood dan bunuh diri?
3. Bagaimana gelaja mood dan bunuh diri?
4. Bagaimana menangani gangguan mood dan bunuh diri?
C. Tujuan
1.Untuk mengetahui penngertian mood
dan bunuh diri
2 Untuk mengetahui faktor yang
meneybabkan mood dan bunuh diri
3. Untuk mengetahui gejala mood dan
bunuh diri
4.Untuk mengetahui penanganan
gangguan mood dan bunuh diri
BAB II
PEMBAHASAN
1. MOOD
A. Pengertian
Dalam hidup
semua manusia memiliki perasaan yang berbeda-beda dalam setiap harinya.
Perasaan itu terkadang sedih, senang, marah, dan lain sebagainya yang biasanya
berlangsung sementara. Perasaan tersebut sering disebut dengan mood. Mood
merupakan perpanjangan dari emosi yang berlangsung selama beberapa waktu,
kadang-kadang beberapa jam, beberapa hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus
depresi beberapa bulan. Mood yang dialami dalam kehidupan manusia ini
sedikit banyak akan berpengaruh kuat terhadap cara mereka dalam berinteraksi.
Mood adalah kondisi perasaan yang
terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi
bukanlah yang abnormal dalam konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan.
Namun, orang dengan gangguan mood atau yang sering dikenali sebagai gangguan
perasaan biasanya terlarut dalam suasana perasaannya dalam jangka waktu yang
cukup lama sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi
tanggung jawab secara normal. Mereka yang mengalami gangguan mood ini akan
mengalami perubahan mood yang ekstrem, bagaikan roller coaster emosional dengan
ketinggian yang membuat pusing dan turunan yang bukan kepalang ketika dunia
disekitarnya tetap stabil (Nevid, 2003: 229).
Pada diri manusia mood ini dating
dan pergi, dan ketika itu terjadi biasanya kita dapat mengatasinya dan kembali
normal. Namun, kenyataannya tidak semudah itu umumnya gangguan mood ini terjadi
pada semua usia, ekspresi gangguan mood pada anak-anak bervariasi tergantung
pada usia mereka.
Ganggguan mood yang terjadi pada
seseorang ini umumnya terjadi karena banyaknya tekanan yang menimpa dirinya dan
cenderung terlarut dalam tekanan dapat meningkatkan resiko berkembangnya
gangguan mood yang kemudian dapat berubah menjadi depresi terutama depresi
mayor. Hal ini terbukti pada suatu penelitian yang menemukan bahwa dalam
sekitar empat dari lima kasus, depresi mayor diawali oleh peristiwa kehidupan
yang penuh tekanan. Orang juga lebih cenderung untuk menjadi depresi bila
mereka menanggung sendiri tanggung jawab dari peristiwa yang tidak diinginkan
(Nevid, 2003: 240).
Depresi berat yang terjadi dalam
jangka waktu yang lama ataupun orang yang berada di bawah tekanan stress yang
berat dan tidak memiliki pertimbangan yang baik, maka orang tersebut lebih
memilih untuk bunuh diri (Nevid, 2003: 262).
Dari beberapa pengertian diatas
disimpulkan bahwa gangguan mood ini merupakan suatu gejala yang menyebabkan
perubahan suasana perasaan pada seseorang secara ekstreem dan membuat
penderitanya terlarut dalam suasana perasaannya dalam jangka waktu yang cukup
lama sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi
tanggung jawab secara normal.
B.
Macam-Macam Gangguan Mood
dan Ciri-Cirinya
Ada beberapa jenis dalam gangguan mood
yang terjadi pada manusia ini umumnya digolongkan sesuai dengan tingkat
seberapa lamanya gangguan ini terjadi,
yaitu :
1.
Episode manic
Periode ini biasanya muncul secara
tiba-tiba, mengumpulkan kekuatan dalam beberapa hari. Selama satu episode manic
ornag tersebut mengalami elevasi atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan
merasakan kegembiraan, euphoria, atau optimism yang tidak biasa. Orang yang
mengalami episode manic ini akan memperolok orang lain dengan memberikan
lelucon yang keterlaluan atau bahkan cenderung memperlihatkan penilaian yang
buruk dan menjadi argumentative, dan terkadang bertindak afektif. Tak hanya itu
orang yang mengalami episode manic ini umumnya mengalami self-esteem
yang meningkat, mulai berkisar dari self-confidance yang ekstreem hingga
delusi total akan kebesaran diri sendiri (Nevid, 2003: 237-238).
Dalam episode manic terdapat
kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat disertai dengan peningkatan
dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental dalam berbagai derajat
keparahan. Dalam episode manic terdapat tipe hipomania dimana pada gangguan ini
derajat gangguan yang lebih ringan dari mania.
Tipe hipomania ini dapat ditandai
dengan adanya afek yang meninggi atau berubah disertai dengan aktivitas,
menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut, dan tidak
disertai halusinasi atau waham.
2.
Gangguan Depresi (gangguan
Unipolar)
Depresi
merupakan suatu perasaan yang bias muncul dalam berbagai cara dan mempunyai
sejumlah penyebab,tidak memedulikan jenis kelamin dan pekerjaan, dan bias
menyerang kapanpun dari remaja sampai paruh baya. Dimana usia paruh baya ini
merupakan usia puncak dari depresi. Pada setiap orang depresi ini berbeda-beda
bentuknya. Kondisi ini bisa disertai dengan kecemasan, gelisah, dan berbicara
gugup atau bias beralih menjadi periode mania (mood yang meningkat),
berbicara terputus-putus, serta aktivitas kompulsif yang dinamakan pasien
“manic depresif”. Namun, ada juga yang bersikap apatis dan cenderung menutupi
kekhawatirannya. Penderita sering mengeluh tidak mampu berfikir dengan jelas,
sulit berkonsentrasi, atau membuat keputusan (Jacoby, 2009:34). Dalam proses berjalannya gangguan depresi,
depresi ini merupakan gangguan yang dapat dibagi menjadi tiga tahap yang
dimulai dari gejala yang ringan, sedang hingga berat.
Gejala atau
ciri-ciri utama seseorang dengan depresi adalah afek depresif, kehilangan minat
dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan yang
mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
Gejala atau
ciri lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang,
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang,
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak
berguna,
d) Pandangan tentang masa depan yang suram dan
pesimistis,
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau
bunuh diri,
f) Tidur terganggu,
g)
Nafsu makan berkurang (Maslim, 2003: 64)
·
Depresi ringan
Depresi ringan ini di identikkan
dengan depresi minor yang merupakan perasaan melankolis yang berlangsung
sebentar dan disebabkan oleh sebuah kejadian yang tragis atau mengandung
ancaman, atau kehilangan sesuatu yang penting dalam kehidupan si penderita
(Meier, 2000: 20-21). Orang dengan depresi ringan ini setidaknya memiliki 2
dari gejala lainnya dan 2-3 dari gejala utama. (Maslim, 2003, 64).
·
Depresi sedang
Depresi
sedang ini di alami oleh penderita selama kurang 2 minggu, dan orang dengan
depresi sedang ini mengalami kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social,
pekerjaan dan urusan rumah tangga. Orang dengan depresi sedang ini setidaknya
memiliki 2-3 dari gejala utama dan 3-4 dari gejala lainnya (Maslim, 2003: 64).
·
Depresi mayor
Depresi
mayor merupakan salah satu gangguan yang prevalensinya paling tinggi di antara
berbagai gangguan (Davidson, 2006: 374). Depresi mayor adalah kemurungan yang
dalam dan menyebar luas. Perasaan murung ini mampu menyedot semangat dan energy
serta menyelubungi kehidupan si penderita seperti asap yang tebak dan
menyesakkan dada. Depresi mayor ini dapat berlangsung cukup lama mulai dari
empat belas hari sampai beberapa tahun. Hal ini menyebabkan penderita akan
sangat sulit utnuk berfungsi dengan baik di lingkungannya. Orang dengan depresi
mayor ini juga terkadang disertai dengan keinginan untuk bunuh diri atau bahkan
keinginan untuk mati. Orang yang sangat tertekan, mereka akan mengalami dampak
hal-hal yang mengganggu kejiwaan mereka seperti gila, paranoia atau halusinasi
pendengaran (Meier, 2000: 25-26).
3.
Gangguan distimik atau
distimia
Gangguan distimik ini merupakan
gangguan mood yang berpola depresi ringan (tetapi nungkin saja menjadi mood
yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja) yang terjadi dalam suatu rentang
waktu—pada orang dewasa, biasanya dalam beberapa tahun (Nevid, 2003: 229).
Gangguan distimik pada anak-anak dan remaja terdiri dari mood yang
terdepresi atau mudah tersinggung untuk sebagaian besar hari, lebih banyak hari
dibandingkan tidak, selama periode sekurangnya satu tahun. Pada anak-anak dan
remaja, mood yang mudah tersinggung dapat menggantikan criteria mood
terdepresi untuk orang dewasa dan bahwa criteria durasi adalah bukan dua tahun
tetapi satu tahun utnuk anak-anak dan remaja (Kaplan, dkk, 1997: 813).
Ada beberapa gejala atau ciri yang
dapat ditandai saat gejala ini muncul,
yaitu :
a)
Kehilangan nafsu makan atau justru makan berlebihan,
b) Sulit tidur atau kebanyakan tidur (sulit
bangun),
c) Tingkat energy rendah atau mudah lelah,
d) Citra diri yang rendah,
e)
Daya konsentrasi yang rendah atau sulit mengambil keputusan,
f) Perasaan putus asa.
Penderita gangguan ini setidaknya
mengalami gejala-gejala diatas paling lama 2 bulan sekali. Pada gangguan ini
tidak terjadi depresi mayor selama dua tahun terakhir, tidak pernah menderita
akibat perubahan naik turun antara periode kegairahan yang membumbung tinggi
dan depresi yang melankolis. Gangguan distimia ini tidak disebabkan oleh
penyalahgunaaan obat atau bahan kimiawi.
Namun, gejala ini mengakibatkan kerusakan klinis yang signifikan dalam fungsi
social, pekerjaan atau area-area penting lain dalam kehidupan si penderita
(Meier, 2000: 22).
4.
Gangguan perubahan mood
(bipolar)
Gangguan bipolar adalah gangguan
mental berat, tanpa memandang apakah ada perubahan mental antara mania dan
depresi secara full brown. Gangguan bipolar merupakan suatu psikosis
afektif, ada gangguan emosi, baik akibat kebiasaan maupun menyembunyikan
kecemasan dan perasaan malu. Pada fase depresi, pendiam, mendendam perasaan,
emosional sensitive. Pada fase mania perilakunya sangat berlawanan, sangat
ekstrover. Pada beberapa kasus keadaaan ini mengandung unsure fanatic dan
religious (Jacoby, 2009: 27).
Gangguan bipolar ini sendiri dibagi
menjadi dua, yaitu gangguan bipolar 1 dan gangguan bipolar 2. Gangguan bipolar
1 ini terjadi pada seseorang yang mengalami setidaknya satu episode manic
secara penuh. Di mana seseorang mengalami perubahan mood antara rasa
girang dan depresi dnegan diselingi periode antara berupa mood yang
normal. Sedangkan, gangguan bipolar 2 ini diasosiasikan dengan suatu bentuk
maniak yang lebih ringan. Pada gangguan bipolar 2 ini sesorang mengalami satu
atau lebih episode-episode depresi mayor dan paling tidak satu episode
hipomanik (Nevid, 2003: 237).
5.
Gangguan Siklotimik
Gangguan siklotimik ini berasal dari
kata Yunani kyklos “lingkaran” dan thymos “spirit”. Jadi dapat
diartikan bahwa siklotimik ini merupakan spirit yang bergerak secara berputar
di mana dapat diartikan sebagai suatu deskripsi yang tepat dari siklotimik
karena gangguan ini melibtatkan suatu pola melingkar yang kronis dari gangguan mood
yang ditandai oleh perubahan mood ringan paling tidak selama 2 tahun (1
tahun untuk anak-anak dan remaja)(Nevid, 2003: 239). Pada gangguan siklotimik
anak dan remaja diperlukan periode satu tahun adanya sejumlah pergeseran mood.
Dan pada beberapa remaja siklotimik dapat memungkinkan untuk menjadi gangguan
bipolar 1(Kaplan, dkk, 1997: 814).
Pada penderita gangguan siklotimik,
penderita mengalami pergantian suasana perasaan senang dan depresi yang
bersifat kronis yang tidak sampai pada tingkat keparahan seperti episode manic
atau depresi berat. Pada para gangguan siklomatik cenderung berada di salah
satu keadaan suasana perasaan selama bertahun-tahun dengan relative sedikit
periode suasana netral (eutimia). Penderita gangguan siklomatik ini secara
berganti-ganti akan mengalami gejala-gejala keadaan depresi ringan dan umumnya
disebut sebagai moody(Durand, 2006: 282).
6.
Kehilangan
Kehilangan adalah keadaan duka cita
yang berhubungan dengan kematian seseorang yang dicintai yang dapat ditemukan
dengan gejala yang karakteristik dari episode depresif berat. Orang dengan
kehilangan ini umumnya dapat dikenali dari gejala-gejala berikut :
a) Perasaan sedih,
b) Insomnia,
c) Menghilangnya nafsu makan,
d) Dan di beberapa kasus terjadi penurunan berat
badan.
Dan jika pada anak-anak umumnya
mereka lebih menarik diri dan terlihat sedih; dan mereka tidak mudah ditarik
meskipun aktivitas itu merupakan aktivitas yang mereka sukai (Kaplan, dkk,
1997: 815).
7.
Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri bukanlah suatu
gangguan psikologis, tetapi sering merupakan cirri atau symptom dari gangguan
psikologis yang mendasarinya, dan biasanya adalah gangguan mood yang
menjadi alasan dibalik perilaku percobaan bunuh diri. Orang yang
mempertimbangkan untuk bunuh diri pada saat stress kemungkinan kurang memiliki
keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara
alternative untuk copping dengan stressor yang mereka hadapi.
Dalam kaitannya, bunuh diri ini
terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari beberapa factor. Namun, jelas
bahwa kebanyakan kasus bunuh diri ini dapat dicegah bila orang dengan perasaan
ingin bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasari perilaku
bunuh diri, termasuk didalamnya adalah depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan
alcohol dan zat (Nevid, 2003: 262-266).
C.
Faktor-Faktor yang
Menyebabkan Gangguan Mood
Dilihat dari beberapa sudut pandang,
ada beberapa hal ynag menyebabkan seseorang itu mengalami gangguan mood,
dan diantara factor-faktor tersebut adalah :
1.
Faktor Biologis
a. Pengaruh Keluarga dan Genetik
Dalam kaitannya dengan gangguan mood
adalah dalam studi keluarga, para peneliti melihat adanya prevaliansi gangguan
tertentu pada anggota-anggota keluarga keluarga tingkat-pertama dari
orang-orang yang diketahui memiliki gangguan. Dan mereka menemukan bahwa angka
anggota keluarga yang memiliki gangguan suasana perasaan secara konsisten dua
sampai tiga kali lebih tinggi fibanding anggota keluarga kelompok control yang
tidak memiliki gangguan perasaan. Namun, perlu diketahui bahwa jika salah satu
di antara pasangan memiliki gangguan unipolar, maka kemungkinan pasangan
kembarnya untuk memiliki gangguan bipolar yang sangat tipis atau sama sekali
tidak ada. Dan tingkat keparahan mungkin juga terkait dengan banyaknya concordance
(sejauhmana sesuatu dimiliki bersama).
b.
Sistem Neurotransmiter
Gangguan suasana
perasaan telah menjadi subjek studi neurobiologist yang lebih intens.
Penelitian mengimplikasikan pada tingkat serotonin yang rendah dalam etiologi
gangguan suasana perasaan. Hal ini dikarenakan, fungsi primer serotonin adalah
mengatur reaksi-reaksi emosional pada manusia. Dalam hipotesis “permisif”
penelitian ini mengatakan bahwa ketika tingkat serotonin rendah,
neurotransmitter lainnya diizinkan (mood irregularities), termasuk
depresi. Anjloknya norepineferin akan menjadi salah satu akibat terjadinya
gangguan mood.
c.
Ritme Tidur dan Sirkadian
Gangguan mood
yang dialami oleh seseorang ini umumnya dapat dilihat dari pertambahan jam
tidur yang semakin meningkat. Dan dalam beberapa tahun telah diketahui bahwa
gangguan tidur merupakan salah satu pertanda bagi kebanyakan gangguan perasaan.
Hal ini terjadi karena, pada orang-orang yang mengalami depresi hanya ada waktu
yang lebih pendek secara signifikan sepelum repid eye movement (REM) sleep
dimulai. REM sleep atau non-REM sleep. Pada saat seseorang
tetidur, mereka akan melalui beberapa subtahapan tidur yang secara progresif
menjadi lebih nyenyak, di mana pada saat itu mereka mencapai tingkat istirahat
yang sesungguhnya. Pada prosesnya, setelah 90 menit seseorang mulai mengalami
REM sleep, di mana otak terjaga dan kita mulai bermimpi. Mata akan
bergerak maju-mundur dengan cepatdi balik kelopak mata, sehingga dinamai dengan
repid eye movement sleep. Dan ketika semakin larut, maka banyaknya REM sleep
akan semakain bertambah. Sedangkan, pada orang yang menderita depresi akan
kehilangan tidur gelombang-lambat mereka.
Selain
memasuki periode REM sleep yang jumlah yang jauh lebih cepat, orang
dengan depresi ini akan mengalami aktvitas REM yang lebih intens. Tak hanya
itu, tahapan tidur yang paling nyenyak hanya berlangsung pendek atau bahkan
tidak terjadi sama sekali. Karena ada beberapa karakteristik tidur hanya
terjadi pada saat seseorang sedang mengalami depresi dan tidak terjadi pada
saat lainnya.
d.
Aktivitas Gelombang Otak
Ada beberapa
indicator yang dapat dilihat dari aktivitas gelombang otak yang menunjukkan
adanya kerentanan biologis seseorang terhadap depresi. Hal ini ditunjukkan oleh
aktivitas gelombang otak yang didemonstrasikan oleh peneliti bahwa para
penderita depresi menunjukkan aktivasi lebih besar pada anterior sebelah kanan
(dan lebih kecil pada aktivasi sebelah kiri) disbanding orang-orang yang tidak
mengalami depresi (Durand, 2006: 295-299).
2.
Faktor Psikologis
Dalam
mengulas kontribusi genetic terhadap penyebab depresi dapat dinyatakan bahwa
60%-80% penyebab depresi dapat diatribusikan pada pengalaman-penagalaman
psikologis. Selain itu pengalaman itu bersifat unik untuk masing-masing
individu.
a.
Peristiwa Kehidupan yang
Stressful
Peristiwa
hidup yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan orang-orang yang divintai,
putusnuya hubungan romantic, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah
dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya ini dapat
meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya sebuah
gangguan mood, terutama depresi mayor. Dan pada orang-orang dengan
depresi mayor ini sering kali kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan
untuk memecahkan masalah interpersonal dengan teman, teman kerja atau
supervisor.
b.
Teori Humanistic
Menurut
teori ini, seseornag menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan
mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik yang
menghasilkan self-fulfillment. Kemudian dunia dianggap sebagai tempat
yang menjemukan (Nevid, 2003: 240-243).
c.
Learned Helplessness
Learned
helplessness merupakan kedaan diri yang selalu membuat atribusi bahwa mereka
tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupannya (baik sesuai kenyataan
maupun tidak).
d.
Negative Cognitive Styles
Negative
cognitive styles adalah kesalahan berfikir yang difokuskan secara negative pada
tiga hal, yaitu dirinya sendiri, dunian terdekatnya, dan masa depannya. Di mana
menurut Beck, penderita depresi memandang yang terburuk dari segala hal. Bagi
mereka, kemunduran terkevil sekalipun merupakan bencana besar.
3.
Faktor Sosial dan Kultural
Sejumlah
faktor social cultural memberikan kontribusi pada onset atau bertahannya
dperesi. Faktor yang paling menonjol antara lain adalah hubungan perkawinan,
gender, dan dukungan social.
·
Hubungan Perkawinan
Maksudnya
adalah hubungan perkawinan yang tidak memuaskan yang bisa menyebabkan individu
bisa mengalami gangguan perasaan seperti depresi.
·
Perbedaan Gender
Menurut
Cyranowski, dkk (2000) Sumber perbedaan ini bersifat cultural, karena peran
jenis yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan di masyarakat. Di mana laki-laki sangat di dorong mandiri, masterful,
dan asertif, sedangkan perempuan sebaliknya diharapkan lebih pasif, lebih
sensitive terhadap orang lain, dan mungkin lebih banyak bergantung pada orang
lain.
·
Dukungan Social
Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Johnson, Winett, dkk (1999) tentang efek-efek
dukungan social di dalam kesembuhan yang pesat dari episode manic maupun
depresif pada pasien gangguan bipolar, mereka menemukan hasil yang mengejutkan
bahwa, jaringan pertemanan, dan keluarga yang suportif secara social membantu
terjadinya kesembuhan cepat dari episode depresif, tetapi tidak pada episode
manic. Dari hasil penelitian ini dan juga studi-studi prospektif yang dilakukan
menguatkan tentang pentingnya dukungan social (atau kekurangan dukungan social)
dalam memprediksi onset atau gejala-gejala depresi yang muncul kemudian
(Durand, 2006: 303-308).
D.
Terapi untuk Gangguan Mood
Ada beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk menangani seseorang yang mengalami gangguan mood,
beberapa diantaranya adalah :
1.
Pengobatan
Pemberian
antidepresian yang dapat membantu memgontrol gejala dan mempertahankan fungsi
neurotransmitter. Ada 3 tipe antidepresian yang sering digunakan, yaitu :
a.
Trisiklik (Tofranil, Elavil)
Trisiklik
ini berfungsi untuk memberikan efek dengan mendesentralisasi norepinefferin.
b.
Monamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)
MAOIs ini
berfungsi untuk memblokir enzim MAO yang memogokkan neurotransmitter seperti
norepinefrin dan serotonin.
c.
Selective
Serotogenic Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Cara
spesifik memblokir reuptake serotonin pra-sinaptik. Dan secara temporer
menaikkan level serotonin dibagian reseptornya.
d.
Lithium
Lithium ini
merupakan garam yang dapat ditemukan dalam kandungan air minum yang kadar
jumlahnya sangat kecil hingga tidak memberikan efek apapun. Lithium sendiri
memiliki sebuah keunggulan yang membedakannya dari antidepresan lainnya.
Karena, substansinya lebih sering efektif untuk mencegah dan menangani
episode-episode manic.
2.
Terapi Kognitif-Behavioral
Dalam
prosees terapi ini klien diajarkan untuk menelaah secara cermat cara berfikir
mereka saat mereka depresi dan untuk menengarai kesalahan-kesalahan “depresif”
dalam berpikir. Tak hanya itu, klien juga diajarkan bahwa kesalahan dalam
berfikir dapa menyebabkan depresi secara langsung. Dan penanganannya melibatkan
tindakan mengkoreksi kesalahan-kesalahan berpikir dan menggantinya dengan
pemikiran dan penilaian yang kurang menyebabkan depresi dan (mungkin) lebih
relistis.
3.
Psikoterapi Interpersonal
(IPT / Interpersonal Psychotheraphy)
IPT atau
Psikoterapi Interpersonal ini memfokuskan pada penyelesaian berbagai masalah
dalam hubungan yang sudah ada dan belajar membangun hubungan-hubungan
interpersonal yang penting dan baru. Dalam proses IPT ini sangat terstruktur.
Pada proses awal terapis harus mengidentifikasi berbagai stressor yang mungkin
mencetuskan depresi. Setelah itu, terapis mengklasifikasikan dan mendefinisikan
sebuah perselisihan interpersonal. Setelah itu, mencari penyelesaiannya dengan
:
·
Tahap negosi
·
Tahap jalan bunyu
·
Tahap resolusi
4. ECT (Elektrokonvulsif dan Simulasi Magnetik Transkranial/ TMS)
ECT adalah
penangan yang cukup aman dan efektif untuk depresi berat yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan penanganan bentuk lain. ECT merupakan bentuk penanganan yang
dalam pengadministrasiannya pasien diberi anestsesi/ obat bius untuk mengurangi
perasaan tidak nyaman dan diberikan obat perelaks otot untuk mencegah kerusakan
tulang akibat konvulsi selama sizure (Kejang-kejang). Kemudian listrik
diadministrasikan secara langsung melalui otak selama kurang dari satu detik.
Bentuk penanganan ECT ini terbukti untuk menaikkan lever serotonin, memblokir
hormone-hormon stress dan membantu terjadinya neurogenesis dalam hipokampus.
Sedangkan
TMS (Transcrantial Magnetic Simulation) bekerja dengan cara menempatkan
sebuah gulungan magnetic diatas kepala untuk membangkitkan denyut
elektromagnetik yang dialokasikan dengan tepat. Dalam penanganan ini anastesi
tidak dibutuhkan karena, efek sampingnya biasanya terbatas dalam bentuk sakit
kepala.
TMS dan ECT ini sama-sama efektif
untuk pasien-pasien dengan depresi berat atau depresi psikotik yang resisten
dengan penanganan (belum menunjukkan respons terhadap obat atau penanganan
psikologis) (Durand, 2006: 311-318).
2. BUNUH
DIRI
Bunuh diri bukan
lah suatu alasan gangguan psikologis , tetapi sering merupakan ciri atau simtom
dari gangguan psikologis yang mendasarinya,seperti mood. Terlepas dari
terdapatnya kemajuan teknlogi perpanjangan hidup dalam perawatan medis,
sejumlah orang dewasa lanjut usia merasa bahwa kualitas kehidupan mereka kurang
dari memuaskan. Dengan hidup lebih lama ,sejumlah orang lanjut usia menjadi
lebih rentan terhadap penyakit seperti kanker dan alzheimer, yang dapat membuat
mereka merasa tidak berdaya dan putus asa yang da pada gilirannyadapat
memunculkan pikirannya untuk bunuh diri. Banyak orang berusia lanjut juga
menderita suatu akumulasi yang mengandung dari kehilangan teman-teman dan orang yang mereka cintai seiring
berjalannya waktu menyebabkan isolasi sosial. Kehilangan-kehilangan ini,
seperti juga kehilangan kesehatan yang baik dan suatu peran tanggung jawab di
komunitas, dapat menurunkan keinginan mereka untuk hidup. Tidak mengherankan,
angka bunuh diri yang paling tinggi pada pria lanjut usia terdapat diantara
mereka yang menduda atau menjalani kehidupan yang terisolasi secar sosial. Penerimaan masyarakat yang meningkat terhadap bunuh diri
pada orang usia lanjutnjuga memeinkan peranan didalamnya. Mungkin masyarakat
harus memfokuskan perhatian yang sama besar pada kualitas kehidupan yang dapat
dicapai oleh orang usia lanjut dan tidak hanya pada memberikan mereka perawatan
medis yang membantu mewujudkan hidup yang lebih panjang.
Perbedaan
gender pada resiko bunuh diridapat
menutupi faktor-faktor yang mendasarinya. Temuan umum bahwa pria lebih
cenderung untuk mengakhiri hidupnya sendiri dapat dikarenakan adanya fakta
bahwa pria juga lebih cenderung untuk memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol
dan obat.
1. Alasan
orang melakukan bunuh diri
Bagi pengamat
awan Bunuh diri tampak seperti tindakan
yang sangat ekstrem sehingga hanya
orang yang tidak waras yang akan
melakukannya. Namun, pikiran untuk bunuh diri tidak selalu mengimplikasikan
hilangnya hubungan realitas, konflik tak disadari yang terkubur dalam, atau
suatu gangguan kepribadian memiliki pikiran-pikiran mengenai bunuh diri umumnya
mereflesikan suatu penyempitan kisaran pilihan yang orang pikir tersedia bagi
mereka untuk mengatasi masalah-masalah mereka dan tidak melihat jalan keluar
lain.
Risiko bunuh
diri lebih besar diantara orang dengan gangguan mood parah, seperti depresi mayor
dan gangguan bipolar. Sebanyak satu dari
lima orang dengan gangguan bipolar pada akhirnya melakukan bunuh
diri(Cowan & Kandel). Para ahli percaya bahwa semakin besar usaha yang dilakukan untuk mendiagnosis dan menangani gangguan mood
dapat menghasilkan angka bunuh diri yang
rendah(Isakason). Percobaan maupun keberhasilan bunuh diri juga dihubungkan dengan gangguan psikologis
lainnya,seperti alkoholisme dan ketergantungan obat, skizofrenia, gangguan
panik, gangguan kepribadian anti sosial, gangguan stres pascatrauma , gangguan
kepribadian ambang , dan suatu riwayat bunuh diri dalam keluarga(Roy.2000).
Bunuh diri juga merupakan penyebab utama dari kematian dini diantara orang
dengan skizofrenia(Fenton). Setengah atau lebih orang yang melakukan
percobaan bunuh diri dalam suatu
penelitian terkini, memiliki dua atau lebih ganngguan psikologis.
Tidak semua
bunuh diri terkait dengan psikologis. Sejumlah orang yang menderita penyakit
fisik yang sangat menyakitkan dan tanpa
harapan mencari pelarian dan penderitaan mereka dengan cara mengakhiri hidup
mereka. Bunuh diri semacam ini terkadang dianggap bunuh diri yang rasional
dengan keyakinan bahwa hal itu didasarkan pada keputusan yang rasional bahwa
hidup tidak lagi berharga untuk dijalani dengan adanya penderitaan yang
berkepanjangan. Namun, mungkin dalam banyak
dari kasusu-kasus ini , penilaian dan kemampuan penalaran orang tersebut bisa saja dipengaruhi oleh suatu gangguan
psikologis yang mendasar dan potensial yang dapat ditangani, seperti depresi.
Pecobaan bunuh
diri sering kali terjadi dalanm upaya merespon terhadap peristiwa hidup yang
penuh tekanan, terutama kejadian luar seperti kematian pasangan, teman dekat,
atau kerabat, perceraian atau perpisahan, seorang anggota keluarga meninggalkan
rumah atau kehilangan teman dekat. Orang yang mempertimbangkan bunuh diri pada
saat stres kemungkinan kurang memiliki ketrampilan memecahkan masalah dan
kurang dapat menemukan cara-cara alternatif untuk coping dengan stresor yang mereka hadapi. Menekankan
dampak psikologis dari stres yang berat.
2. Perspektif
teoritis tentang bunuh diri
Model
psikodinamika klasik memandang depresi sebagai pengalihan kedalam dari rasa
marah terhadap representasi internal atas objek cinta yang hilang. Kemudian,
bunuh diri mewakili kemarahan yang diarahkan kedalam yang menjadi bersifat
membunuh. Jadi, orang yang bunuh diri tidak berusaha menghancurkan dirinya
sendiri. Mereka malah mencari cara untuk mengekspresikan rasa marah mereka
terhadap representasi internal atas objek cintanya. Dengan melakukannya, mereka
tentu saja juga menghancurkan diri mereka sendiri. Dalam tulisannya yang baru,
Freud berspekulasi bahwa bunuh diri kemungkinan dimotivasi oleh insting
kematian , suatu kecenderungan untuk kembali ke keadaan bebas tekanan yang ada
sebelum kelahiran. Teoritikus eksistensial dan humanistik menghubungkan bunuh
diri dengan persepsi bahwa hidup tidaklah bermakna dan tanpa harapan. Orang
yang bunuh diri dilaporkan merasa bahwa hidupnya lebih menjemukan, lebih
kosong, dan lebih membosankan dari pada orang yang tidak bunuh diri(Mehrabian).
Pada abad
kesembilan belas, pemikir sosial Emile Durkheim menyatakan bahwa orang yang
mengalami anomi mereka yang merasa tersesat, tanpa identitas, tidak
berakar,lebih cenderung untuk melkuakan bunuh diri.Teoritikus
sosiokultural juga percaya bahwa
ketersaingan dalam masyarakat saat ini dapat memainkan peran dalam bunuh
diri.Dalam masyarakat moderndan terus bergerak, orang sering kali bepergian
ratusan atau ribuan ke sekolah atau ketempat kerja. Personel militer dan keluargannya bahkan
dapat berpindah-pindah lebih sering lagi.
Oleh karenanya,
banyak orang terisolasi secara sosial atau terputus dari kelompok pendukung
mereka.Lebih lagi, penduduk kota cenderung membatasi atau tidak berminat dengan
kontak-kontak sosial informal karena kepadatan, stimulasi yang berlebihan, dan
ketakutan akan kriminalitas. Jadi dapatlah dimengerti mengapa banyak orang yang
hanya menemukan sedikit sumber dukungan di masa-masa krisis. Pada sejumlah
kasus, ketersediaan dukungan keluarga tidaklah membantu. Anggota keluarga
dianggap sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Teoritikus
belajar banyak berfokus pada kurangnya ketrampilan pemecahan masalah untuk
menangani tekanan hidup yang berat. Menurut Shneidman, orang yang melakukan
percobaan bunuh diri berharap untuk dapat lari dari rasa sakit psikologis yang
tidak tertahankan dan kemungkinan memersepsikan bahwa tidak ada jalan keluar
lain. Orang yang mengancam atau mencoba bunuh diri juga bisa mendapatkan
simpati serta dukungan dari orang tercintanya dan orang lainn, yang kemungkinan
mendorong percobaan dimasa depan dan yang lebih mematikan ini bukan berarti
bahwa usaha atau tanda-tanda bunuh diri harus diabaikan. Tidaklah benar bahwa
orang yang mengancam bunuh diri berbuat demikian hanya untuk mencari perhatian.
Meski mereka yang telah mengancam bunuh diri sering kali tidak melakukan
aksinya, ancaman ancaman mereka harus dianggap serius. Orang yang melakukan
bunuh diri sering kali mengatakan pada orang lain mengenai niat mereka atau
meninggalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya. Lebih lagi banyak orang melakukan
percobaan bunuh diri yang gagal yang mereka hentikan sebelum menyakiti diri
mereka, sebelum akhirnya mereka melanjutkan dengan usaha bunuh diri yang
sesungguhnya (Barber).
Teoritikus
sosial kognitif mengatakan bahwa bunuh diri dapat dimotivasi oleh harapan positif
dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap legitimasi dan bunuh
diri(Stein).Orang yang membunuh dirinya sendiri mungkin berharap bahwa mereka
akan dirindukan atau dikenang setelah kematian mereka, atau bahwa orang yang
hidup akan merasa bersalah karena telah salah memperlakukan mereka.Pasien
psikiatri yang cenderung bunuh diri memiliki harapan yang lebih positif
mengenai bunuh diri daripada sapel psikiatri yang tidak cenderung bunuh diri.
Mreka sering menekspresikan keyakinan bahwa bunuh diri akan menyelesaikan
masalah mereka(Lenihan). Bunuh diri dapat merepresentasikan suatu usaha yang
putus asa dalam menghadapi masalahdengan cara jatuh menukik dan bukan sedikt
demi sedikit.
Teoritikus
sosial kognitif juga berfokus pada dampak modeling yang potensial dan
mengobservasi perilaku bunuh diri pada orang lain, terutama remaja yang merasa
terbebani olek stresor akademikdan sosial. Suatu penularan sosial, atau
menyebarnya bunuh diri dalam komunitas, dapat terjadi dengan adanya bunuh diri
yang mendapat publisitas yang luas. Remaja yang tampaknya paling rentan untuk
dampak modeling seperti ini , dapat meromantisasi bunuh diri sebagai suatu
keberanian heroik. Pada penelitian di Oregon, perilaku bunuh diri dari seorang
teman menjadi faktor risiko dalam percobaan bunuh diri diantara
remaja(Lewinsohn). Mencontoh bunuh diri kemungkinan lebih cenderung terjadi
bila laporan tentang bunuh diri tersebut sangat sensasional sehingga membuat
remaja lain berharap bahwa kepergian mereka dapat memiliki dampak yang luas
pada komunitas(Kessler).
Faktor-faktor
biologis juga berimplikasi dalam bunuh diri. Penurrunan aktivitas seretonin
ditemukan pada banyak orang yang mencoba
atau melakukan bunuh diri(Ganshyam). Oleh karena menurunnya ketersediaan
seretonin terkait dalam depresi, maka hubungannya dengan bunuh diri tidaklah
mengherankan. Namun seretonin bekerja untuk membatasi atau atau menhambat
aktivitas sistem saraf, sehingga mungkin kurangnya aktivitas seretonin
menyebabkan disinhibition atau pelepasan dari perilaku implusif yang mengambil
bentuk tindakan bunuh diri pada individu yang rapuh. Bunuh diri juga cenderung
menurun dalam keluarga, yang menandakan adanya faktor genetis.Bukti dari suatu
penelitian terbaru tentang anak kembar menujukan bahwa dari sembilan pasangan
kembar diman keduanya melakukan bunuh diri, tujuh diantaranya adalah kembar MZ
dan dua adalah kembar DZ (Roy). Secara keseluruhan , kira- kira satu dari empat
yang mencoba bunuh diri memiliki satu anggota yang telah melakukan bunuh diri.(
Sorensen & Rutter).
Keberadaan
gangguan psikologis diantara anggota keluarga dapat dihubungkan dengan bunuh
diri(Sorensen & Rutter). Bunuh diri terkait dengan suatu jaringan yang
kompleksdari berbagai faktor, dan untuk memprediksinya tidaklah mudah. Namun
jelas bahwa bunuh diri yang dapat dicegah bila orang dengan perasaan ingin
bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasaribperilaku bunuh
diri, termasuk depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan alkohola dan zat(many
suicides could be prevented, 1998). Kita juga memerlukan strategi yang
menekankan pada harapan-harapan selama masa-masa stres berat(Malone).
3. Memprediksi
Bunuh Diri
Orang yang bunuh
diri cenderung menunjukan niatnya, sering kali cukup eksplisit, seperti
menceritakan pada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh dirinya (Denneby)
dan beberapa berusaha menyembunyikan niatnya. Namun, petunjuk –petunjuk
behavioral tetap dapat mengungkapkan niat bunuh diri. Orang yang memikirkan
bunuh diri juga seperti membuang-buang barang miliknya(Gelman). Orang yang
memikirkan bunuh diri juga dapat secara
tiba-tiba mencoba untuk memilah-milah urusan-urusan mereka, seperti mebuat
surat warisan atau membeli tanah di pemakaman. Saat orang yang bermasalah
memutuskan untuk melakukan bunuh diri, mereka tiba-tiba tampak berda dalam keadaan
yang damai, mereka merasa terlepas dari keharusan untuk terbebani dengan
masalah hidup. Ketenagan yang tiba-tiba ini dapat salah diinterpretasikan
sebgai suatu tanda harapan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mood adalah
kondisi perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis kita.
Perasaan sedih atau depresi bukanlah yang abnormal dalam konteks peristiwa atau
situasi yang penuh tekanan.
Ada beberapa jenis dalam gangguan mood
yang terjadi pada manusia ini umumnya digolongkan sesuai dengan tingkat
seberapa lamanya gangguan ini terjadi,
yaitu :
a. Episode manic
b. Gangguan Depresi (gangguan Unipolar)
c. Gangguan distimik atau distimia
d. Gangguan perubahan mood (bipolar)
e. Gangguan Siklotimik
f. Kehilangan
g. Bunuh Diri
Bunuh
diri adalah bukanlah suatu alasan gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri
atau simtom dari gangguan psikologis yang mendasarinya,seperti mood. Pendekatan
teoritis yang utama untuk memahami bunuh diri dalam pendekatan yang diambil
dari model psikodinamika klasik tentang kemarahan yang diarahkan kedalam, teori
Durkeim tentang alienasi sosial, serta pandangan yang berdasarkan belajar,
sosial kognitif, dan biologis.
Daftar Pustaka
Nevid, Jeffrey dkk. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan ya :)