BAB
II
PEMBAHASAN
Perspektif
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang
suatu hal, dengan perspektif orang akan memandang suatu hal berdasarkan
cara-cara tertentu. Perspektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan
asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia sehingga
menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu. Perspektif
membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena
yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional.
A.
Perspektif
Biologis
Model medis, yang diilhami oleh para dokter mulai dari Hippocrates hingga
kraepelin, tetap memiliki kekuatan yang besar dalam pemahaman kontemporer
tentang perilaku abnormal. Model medis mewakili perspektif biologis tentang
perilaku abnormal.
1. Sistem saraf
Sistem saraf terbuat dari sel – sel saraf yang disebut neuron. Neuron –
neuron saling berkomunikasi satu sama lain, atau menyalurkan pesan. Setiap
neuron memiliki badan sel, atau soma, dendrit – dendrit, dan sebuah akson.
Badan sel memuat nucleus sel dan memetabolisasi oksigen untuk membawa hasil
kerja dari sel. Neuron memancarkan pesan – pesan ke neuron yang lain melalui
substansi kimia yang disebut neurotransmiter. Ketidakteraturan dalam kerja system
neurotransmitter dikotak berkaitan erat dengan pola – pola perilaku abnormal.
2. Bagian – bagian system saraf
System saraf terdiri dari dua bagian utama, system saraf pusat dan system
saraf tepi. Kedua bagian ini juga terbagi – bagi. System saraf pusat terdiri
dari otak dan tulang belakang. System saraf tepi tersusun dari saraf – saraf
yang menerima dan menyalurkan pesan sensoris ke otak dan tulang belakang, dan
menyalurkan pesan dari otak atau tulang belakang ke otot – otot, menyebabkan
mereka berkontraksi, dan kekelenjar – kelenjar, menyebabkan mereka mensekresi
hormon – hormon.
·
System saraf pusat
Bagian bawah otak, terdiri dari medula, pons, dan serebellum. Banyak saraf
yang menghubungkan tulang belakang dengan tingkat otak yang lebih tinggi menjulur
melalui medula. Medula memainkan fungsi vital sepeti detak jantung, pernapasan,
dan tekanan darah. Pons menyalurkan informasi tentang pegerakan tubuh yang
terlibat dalam fungsi yang berkaitan dengan perhatian, tidur, dan pernapasan.
Serebelum terlibat dalam keseimbangan dan perilaku motorik.
Otak tengah terletak di atas batang otak dan berisi jalur saraf yang
menghubungkan batang otak dengan otak tengah.
Area penting pada bagian depan otak, adalah talamus, menyalurkan informasi
sensoris kedaerah otak yang lebih tinggi. talamus juga terlibat dalam tidur dan
perhatian. Hipotalamus, merupakan struktur kecil yang terletak antara talamus
dan kelenjar pituitary. Hipotalamus penting dalam pengaturan temperature tubuh,
konsentrasi cairan – cairan, penyimpanan nutrisi, dan motivasi serta emosi.
Serebrum, merupakan “mahkota kemenangan” dan bertanggung jawab terhadap bentuk
bulat pada kepala manusia. Permukaan serebrum disebut korteks serebral, pusat
pemikiran perencanaan, dan pelaksanaan dari otak.
·
System saraf tepi
System saraf tepi menghubungkan otak dengan dunia luar. Dua bagian utama
system saraf tepi adalah system saraf somatic dan otonomik. System saraf
somatic menyalurkan pesan – pesan tentang penglihatan, suara, bau, posisi
tubuh, suhu, dan lain –lain ke otak. Para psikolog terutama tertarik pada
system saraf otonomik karena aktivitasnya yang berhubugan dengan respon
emosional. Seperti detak jantung, pernapasan, pencernaan, dan dilatasi pupil
mata. Mengevaluasi perspektif biologis tentang perilaku abnormal. Telah jelas
diketahui keterlibatan struktur dan proses biologis dalam berbagai pola perilau
abnormal. Faktor – faktor seperti gangguan dalam fungsi neurotransmiter dan
abnormalitas otak yang mendasar dikaitkan dengan berbagai gangguan psikologis.
Namun demikian, untuk berbagai gangguan lain penyebab yang tepat
tetap tidak diketahui. Misalnya faktor genetis atau faktor
lingkungan pembuat stress.
B.
Perspektif
Sosiologis
Perspektif
sosiologi menekankan pada konteks sosial dalam mana manusia hidup. Perspektif
sosiologi mengkaji bagaimana konteks tersebut mempengaruhi kehidupan manusia.
Perspektif sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji
tentang kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses sosial kehidupan
di dalamnya. Inti dari perspektif sosiologi adalah pertanyaan bagaimana
kelompok mempengaruhi manusia, khususnya bagaimana manusia dipengaruhi
masyarakatnya
Perspektif sosiologi : adalah sudut
pandang yang berupa asumsi, nilai dan gagasan yang digunakan oleh peneliti
dalam melihat fenomena fenomena social.
Pada perkembangannya terdapat empat perspektif dalam sosiologi, yaitu
1.
Perspektif
Evolusi
Perspektif ini merupakan perspektif teoretis yang
paling awal dalam sosiologi. Penganutnya adalah Auguste Comte dan Herbert
Spencer. Perspektif ini memberikan keterangan yang memuaskan tentang bagaimana
masyarakat manusia tumbuh dan berkembang.
Para sosiolog yang menggunakan perspektif ini
mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang
berbeda untuk mengetahui apakah ada urutan perubahan yang berlaku umum. Dalam
perspektif ini secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan manusia atau
masyarakat itu selalu bergerak maju (secara linear), namun ada beberapa hal
yang tidak ditinggalkan sama sekali dalam pola kehidupannya yang baru dan akan
terus dibawa meskipun hanya kecil sampai pada perubahan yang paling baru.
2.
Perspektif
Interaksi Simbolis,
Perspektif ini cenderung menolak anggapan bahwa
fakta sosial adalah sesuatu yang determinan terhadap fakta sosial yang lain. Bagi
perspektif ini, orang sebagai makhluk hidup diyakini mempunyai perasaan dan
pikiran. Dengan perasaan dan pikiran orang mempunyai kemampuan untuk memberi
makna terhadap situasi yang ditemui, dan mampu bertingkah laku sesuai dengan
interpretasinya sendiri. Sikap dan tindakan orang tidak dipaksa oleh struktur
yang berada di luarnya (yang membingkainya) serta tidak semata-mata ditentukan
oleh masyarakat. Jadi, orang dianggap bukan hanya mempunyai kemampuan
mempelajari, memahami, dan melaksanakan nilai dan norma masyarakatnya,
melainkan juga bisa menemukan, menciptakan, serta membuat nilai dan norma
sosial (yang sebagian benar-benar baru). Karena itu orang dapat membuat,
menafsirkan, merencanakan, dan mengontrol lingkungannya.
Singkatnya, perspektif ini memusatkan perhatian
pada interaksi antara individu dengan kelompok, terutama dengan menggunakan
simbol-simbol, antara lain tanda, isyarat, dan katakata baik lisan maupun
tulisan. Atau dengan kata lain perspektif ini meyakini bahwa orang dapat
berkreasi, menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol. Tokoh-tokoh
yang terkenal sebagai penganut perspektif ini adalah George Herbert Mead dan
W.I. Thomas.
3.
Perspektif
Struktural Fungsional
Dalam perspektif ini, masyarakat dilihat sebagai
suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan teratur,
serta memiliki seperangkat aturan dan nilai yang dianut sebagian besar anggota
masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang
stabil, selaras, dan seimbang. Dengan demikian menurut pandangan perspektif
ini, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu secara
terus-menerus, karena hal itu fungsional. Sehingga, pola perilaku timbul karena
secara fungsional bermanfaat dan apabila kebutuhan itu berubah, pola itu akan hilang
atau berubah.
Hal ini juga berarti bahwa perubahan sosial akan
mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil tersebut. Namun tidak lama
kemudian akan tercipta kembali keseimbangan. Perspektif ini lebih menekankan
pada keteraturan dan stabilitas dalam masyarakat. Lembaga-lembaga sosial
seperti keluarga, pendidikan, dan agama dianalisis dalam bentuk bagaimana
lembaga-lembaga itu membantu mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini berarti
lembaga-lembaga itu dalam analisis ini dilihat seberapa jauh peranannya dalam
memelihara stabilitas masyarakat.
Perspektif fungsionalis menekankan pada empat hal
berikut ini.
a. Masyarakat tidak bisa hidup kecuali
anggota-anggotanya mempunyai persamaan persepsi, sikap, dan nilai.
b. Setiap bagian mempunyai kontribusi
pada keseluruhan.
c. Masing-masing bagian terintegrasi satu
sama lain dan saling memberi dukungan.
d. Masing-masing bagian memberi kekuatan,
sehingga keseluruhan masyarakat menjadi stabil.
Beberapa sosiolog pendukung perspektif ini adalah
Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton. Seorang antropolog yang
juga sangat mendukung perspektif ini, bahkan dapat dikatakan sebagai pelopornya
adalah Bronislaw Malinowsky (Polandia).
4.
Perspektif
Konflik.
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu
yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan
yang terus berusaha memelihara dan meningkatkan posisinya. Perspektif ini
beranggapan bahwa kelompokkelompok tersebut mempunyai tujuan sendiri yang
beragam dan tidak pernah terintegrasi. Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok
seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu muncul,
dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan
posisinya dan memelihara dominasinya.
Ciri lain dari perspektif ini adalah cenderung
memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi untuk keberadaan kelompok yang
berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak melekat dalam diri individu, tetapi
pada posisi orang dalam masyarakat. Pandangan ini juga menekankan bahwa fakta
sosial adalah bagian dari masyarakat dan eksternal dari sifatsifat individual.
Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada studi struktur sosial dan
lembaga-lembaga sosial. Ia memandang masyarakat terus- menerus berubah dan
masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan menciptakan
perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini
lebih menekankan pada peranan kekuasaan. Tokoh yang menganut perspektif ini
adalah Karl Marx dan Frederich Engles.
C. Perspektif Psikologis
1.
Model – model psikodinamika
Teori psikodinamika didasarkan pada kontribusi Sigmund freud dan para
pengikutnya. Model psikodinamika ini didasarkan pada keyakinan bahwa masalah
psiologis adalah akibat dari konflik psikologis diluar alam sadar yang dapat
dilacak pada masa kecil.
2. Model – model belajar
Teori psikologi lain yang relevan juga terbentuk diawal abad 20 adalah
perspektif behavioral. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar
dalam menjelaskan perilaku normal atau abnormal. Dari perspektif belajar, perilaku
abnormal mencerminkan perolehan, atau pembelajaran dari perilaku yang tidak
sesuai dan tidak adaptif. Dari pandangan belajar, perilaku abnormal bukanlah
sintomatik dari apapun. Perilaku abnormal itu sendiri merupakan masalah.
Perilaku abnormal dianggap sebagai sesuatu yang dipelajari dengan cara yang
sama sebagaimana perilaku normal. Watson dan teoretikus behavioristik lainnya,
meyakini bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan
pengaruh lingkungan. Sebagaimana freud, Watson tidak menggunakan konsep
kebebasan pribadi, pilihan, dan self-direktion. Teoritikus behavioristik
melihat kita sebagai hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi
perilaku kita. bagi Watson, keyakinan bahwa kita memiliki kehendak yang bebas
ditentukan oleh lingkungan. Watson berfokus pada peran dari dua bentuk utama
dari belajar dalam membentuk perilaku normal dan abnormal yaitu, classacal
conditioning dan operant conditioning.
3. Model – model humanistic
Suatu kekuatan ketiga dalam psikologi modern muncul pada abad pertengahan
ke 20, yaitu psikologi humanistic. Para teoritikus humanistic seperti carl
rogers (1902 – 1987) dan Abraham maslow (1908 – 1970) meyakini bahwa perilaku
manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik – konflik yang tidak
disadari maupun conditioning yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan
terhadap pendapat bahwa perilaku manusia semata – mata ditentukan oleh factor
diluar dirinya, para teoritikus melihat orang sebagai aktor dalam
drama kehidupan, bukan reactor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Mereka
berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self
direktion humanistic. Psikologi humanistic berhubungan erat dengan aliran
filosofis eropa yang disebut sebagai eksistensialisme. Para eksistenssialis
meyakini bahwa kemanusiaan kita membuat kita bertanggung jawab atas arah yang
akan diambil dalam kehidupan kita.
Para humanis mempertahankan bahwa orang memiliki kecenderungan untuk
melakukan self -actualization untuk berjuang menjadi apa yang mereka mampu.
Tiap orang memiliki serangkaian perangai dan bakat – bakat yang mendasari
perasaan dan kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dalam
hidup kita. Meski pada akhirnya tiap manusia mati, namun masing – masing dapat mengisi
kehidupan dengan penuh arti dan tujuan apabila kita mengenali dan menerima
kebutuhan dan perasaan terdalam kita. Untuk memahami perilaku abnormal dalam
pandangan humanistic, kita perlu untuk memahami penghambat yang dihadapi orang
dalam berjuang mencapai self-actualization dan keautentikan. Untuk mencapai hal
ini, psikolog harus belajar memandang dunia dari perspektif klien. Karena
pandangan subyektif klien tentang dunianya sendiri menginterpretasi
dan mengevaluasi pengalaman mereka baik dengan cara yang bersifat
self-enhancing atau self-defeating.
4. Model-model kognitif
Kata kognif berasal dari kata latin cognition,yang berarti pengetahuan.
para teorinitis kognitif mempelajari kognisi (pikiran-pikiran), keyakinan,
harapan, dan sikap-sikap yang menyertai dan mungkin mendasari perilaku
abnormal.mereka berfokus pada bagaimana realitas diwarnai oleh harapan-harapan
dan sikap kita dan bagaimana tidak akurat atau biasanya pemprosesan informasi
tentang dunia dan tempat kita di dalamnya dapat menimbulkan perilaku abnormal.
Para teoritis kognitif menyakini bahwa interpretasi kita dalam kehidupan kita
dan bukan peristiwa itu sendiri,menentukan keadaan emosional kita. Beberapa
model kognitif yang paling menonjol dari pola-pola perilaku abnormal adalah
pendekatan pemprosen informasi dan model-model yang dikembangkan oleh psikolog
Albert Ellis dan psikiater Aaron Beck.
D. Perspektif Budaya
Kebudayaan adalah sebuah proses pergulatan abadi untuk
menyingkapkan universalitas. Dengan demikian putik-putik kebudayaan merupakan
mula tanggap terhadap seluruh fenomena kehidupan yang teraktualisasi dalam
praktek kehidupan sehari-hari. Dalam ranah
antropologi, kebudayaan memiliki 3 institusi inti yang terdiri atas: ideologi,
organisme, dan teknoekonomi.
Jika ideologi terdiri atas dimensi cita-cita,
keyakikan-keyakinan, dan nilai-nilai dasar yang hendak dijunjung tinggi bersama
sebagai acuan moral bertindak, maka organisme telah menjelma dalam bentuk
organisasi sosial dan politik pada masyarakat kontemporer. Sedangkan teknoekonomi
berupa cara-cara manusia beradaptasi dan mengeksploitasi alam guna mewujudkan
cita-citanya.
Dengan demikian, kebudayaan adalah sebuah proses kesadaran
manusia untuk menyikapi situasi kongkrit secara langsung. Dalam dinamikanya,
kebudayaan juga merupakan sebuah proses menjawab pertanyaan terdalam tentang
makna, rasionalitas, dan tentang manusia pada umumnya. Ketika kebudayaan tidak
mampu menggapai makna dan peran rasionalitas yang semestinya menggerakkan dan
mendasari perkembangan peradaban manusia, maka kebudayaan mengalami invalid
pada dirinya sendiri. kebudayaan semestinya merupakan sebuah proses menggali
dan menemukan makna guna menjawab pertanyaan-pertanyaan universal dalam ranah
rasionalitas.
Dalam proses itu, akan ditemukan sintesa dari seluruh
antitesa yang pada akhirnya akan menggerakkan akal budi menterjemahkan
persepsi-persepsi yang masih bersifat postulat. Dalam dimensi ini, kebudayaan
mempunyai misi penting dalam mendorong kearah sinkretisme dari seluruh usaha
menemukan dan memformulasikan segi-segi humanitas dalam rangka mewujudkan hidup
yang bahagia.
Sayangnya, dalam sejarah peradaban manusia, teknoekonomilah
yang paling cepat membentuk cirri-ciri strategis sebuah masyarakat. Dengan
demikian, jika kita hendak mengembalikan fungsi kebudayaan bagi kehidupan
manusia, maka kita perlu mendasari gerakan kita lewat pemahaman secara
menyeluruh tentang teknoekonomi. Di sini, titik balik kebudayaan diperlukan
agar kebenaran yang selama ini terwacanakan secara episteme dan secara doxa
menjadi relevan untuk dikembalikan pada asal muasal filosofisnya.
Disinilah pentingnya kegunaan seluruh refleksi filosofis bagi
kehidupan politik sehari-hari. Sebab, masalah diskontinyuitas kebudayaan dan
konsep tentang kebenaran yang selama ini erat kaitannya dengan kekuasaan dan
pengetahuan, telah melahirkan konsep tentang ideologi yang merepresi. Disini
timbul pertanyaan siapakah figur yang berbicara benar dalam kapasitasnya
sebagai guru kebenaran dan keadilan? Sebab, ketika kebenaran dimengerti sebagai
sebuah sistem dan prosedur teratur produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi
dan operasi pernyataan-pernyataan, maka kebenaran selalu berhubungan secara
melingkar dengan sistem kekuasaan.
Pada akhirnya, kebenaran yang dihasilkan dan dijaga
keberlangsungannya dalam tubuh sosial oleh sistem kekuasaan, akan menjelma
sebagai ‘rezim” kebenaran. Rezim kebenaran itu bukanlah semata-mata ideologis
maupun berupa superstruktural, melainkan sebuah kondisi yang berasal dari paham
kapitalisme. Masalah politis ini menunjukkan secara nyata bahwa kebenaran erat
kaitannya dengan kuasa dan pengetahuan. Oleh sebab itu, status kebenaran
seperti itu perlu digugat karena apa yang selama ini diyakini sebagai sesuatu
yang benar adalah buatan manusia lewat kuasa dan pengetahuan yang dimilikinya.
E.Perspektif Agama
Kesehatan Mental
Dalam Perspektif Agama sudah dipikirkan para ahli sejak dulu.
Sebenarnya pendekatan agama dalam penyembuhan gangguan psikologis merupakan
bentuk penyembuhan yang paling tua. Telah beberapa abad lamanya para nabi atau para
penyebar agama melakukan peranan-peranan therapeutic, terutama dalam
menyembuhkan penyakit-penyakit rohaniah umatnya. Metode pengobatan lainnya yang
digunakan dalam menyembuhkan gangguan mental diantaranya yaitu Syahadat, Iman
dan takwa, Silaturahmi, Amal saleh, sabar, dan salat.
Kesehatan mental dalam perspektif
agama, ada kecenderungan bahwa orang-orang di zaman modern ini
semakin rindu atau haus akan nilai-nilai agama, sehinga tausiyah,
nasihat, atau kesempatan dialog dengan para kyiai, ustadz sangat diharapkannya.
Mereka merindukan hal itu dalam upaya mengembangkan wawasan agamanya atau
mengatasi masalah-masalah kehidupan yang sulit diatasinya tanpa nasihat
keagamaan tersebut.
Oleh karena itu, Sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam
mencapai mentalnya yang sehat, agama berfungsi sebagai berikut :
·
Memelihara
fitrah, manusia yang telah bertakwa kepada Tuhan berarti dia telah memelihara
fitrahnya sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa.
·
Memelihara
jiwa
·
Memelihara
akal
·
Memelihara
keturunan
Para ahli juga
mengemukakan pendapat
tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental sebagai berikut.
·
William
James berpendapat bahwa keimanan pada Tuhan adalah terapi terbaik bagi
keresahan dan merupakan penopang hidup.
·
Carl G.
Jung mengemukakan bahwa yang menyebabkan pasien terjangkit penyakit adalah
hilangnya dasar – dasar agama mereka dan mereka akan sembuh setelah mereka
kebali kepada wawasan agama.
·
A. A
Briel mengatakan bahwa individu yang benar – benar religius tidak akan pernah
menderita sakit jiwa.
·
Shelley
E. Taylor mengemukakan beberapa hasil penelitian para ahli tentang dampak
positif agama terhadap kesehatan mental dan kemampuan mengatasi stress yang
diantaranya sebagai berikut:
·
Palaotzian
dan Kirkpatrick mengemukan bahwa agama dapat meningkatkan kesehatan mental dan
membantu individu untuk mengatasi stress.
·
Ellison
mengemukakan bahwa agama dapat mengembangkan kesehatan psikologis banyak orang,
orang yang kuat imannya akan lebih bahagia dan lebih sedikit mengalami dampak
negatif dari kehidupan.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap kesehatan
mental individu. Adapun pribadi yang sehat mentalnya menurut perspektif agama
diantaranya yaitu:
·
Beriman
kepada Allah dan taat mengamalkan ajarannya.
·
Jujur,
amanah (bertanggung jawab) dan ikhlas dalam beramal.
Selain itu,
dalam bukunya Kesehatan
Mental, Prasojo
menjelaskan prinsip-prinsip kesehatan mental kaitannya dengan agama yang
didasarkan pada hubungan manusia dengan Tuhan, adalah sebagai berikut:
·
Kestabilan
mental tercapai dengan perkembangan kesadaran seseorang terhadap sesuatu yang
lebih luhur daripada dirinya sendiri tempat ia bergantung kepada Tuhan.
·
Kesehatan
mental dan ketenangan batin (equanimity) dicapai dengan kegiatan yang tetap dan
teratur dalam hubungan manusia dengan Tuhan, seperti melalui sholat dan berdoa.
KESIMPULAN
Perspektif adalah
kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi
perspektif manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi
tertentu.
Ada beberapa jenis
perspektif diantaranya adalah Perspektif biolgis Model medis mewakili
perspektif biologis tentang perilaku abnormal yaitu sistem saraf, bagian -
bagian system saraf (system syaraf pusat dan system syaraf tepi). Perspektif
sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang
kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses sosial kehidupan di
dalamnya. Perspektif psikologis yang didalam nya ada (model psikodinamika,
model belajar, model humanistic, model kognitif). Perspektif budaya, dan
perspektif agama bahwa
agama mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan mental individu.
DAFTAR PUSTAKA
Nevid, J.S dkk. 2005.
Psikologi Abnormal Jilid I Jakarta : Erlangga
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan ya :)