>

Sabtu, 20 Desember 2014

Wawancara Konseling, Teknik Menyiapkan Konseling, Rapport, Masalah dan Kriterianya




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Untuk mengumpulkan informasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara wawancara konseling. Wawancara konseling terjadi apabila ada seseorang yang tidak mampu menangani sendiri masalahnya dan memerlukan bantuan konselor untuk menentukan pemecahan-pemecahan konseling yang di butuhkan. Konseling adalah proses membantu seseorang untuk memperoleh pemahaman tentang masalahnya serta cara penyelesaiannya. Agar proses konseling dapat berlangsung dengan baik, maka perlu juga di perhatikan teknik-teknik untuk mempersiapkan konseling. Sehingga dalam pelayanan konseling dapat dilakukan dengan tepat. Tujuan utam konseling adalah untuk membantu seorang individu untuk mengerti, memahami, menyesuaikan diri dan menyelesaikan masalah. Untuk mencapai tujuan itu maka harus tercipta hubungan rapport antara konseli dan konselor. Kemudian memahami masalah yang di hadapi, serta kriteia masalah tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian wawancara konseling?
2.    Bagaimana prosese wawancara konseling?
3.    Bagaimanakah teknik mempersiapkan konseli?
4.    Bagaimana menciptakan suasana repport?
5.    Apa sajakah kriteria dalam masalah konseli?

C.    Tujuan
1.    Memahami pengertian wawancara konseling
2.    Untuk mendiskripsikan proses dalam wawancara konseling
3.    Menjelaskan proses wawancara konseling
4.    Megetahui cara menciptakan suasana repport
5.    Untuk memahami kriteria masalah konseli


BAB III
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN WAWANCARA KONSELING

1.    Pengertian Wawancara
Menurut I. Djumhur dan Muh.Surya, wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut di lakukan dengan cara dialog secara lisan baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan menurut Dewa Ketut Sukardi, wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab antara interviewer dan intervieww.
Jadi wawancara adalah suatu proses komunikasi tanya jawab yang di lakukan oleh penanya dengan narasumber yang bertujuan untuk mendapatkan data dan mengumpulkan informasi.
2.    Pengertian Konseling
Menurut I. Djumhur dan Muh.Surya, konseling adalah suatu teknik dalam pelayanan secara keseluruhan, yaitu dengan memberikan bimbingan secara individu. Sedangkan menurut Prayitno, konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang konselor kepada individu yang mengalami mengalami masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang di hadapi oleh konseli.
Jadi konseli adalah suatu cara yang di gunakan konselor untuk membantu konseli memecahkan masalah yang di hadapi dengan cara pemberian bimbingan kepada individu.
3.    Pengertian Wawancara Konseling
Menurrut pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa wawancara konseling merupakan suatu cara pemberian bimbingan kepada konseli oleh seorang konselor untuk memecahkan masalahnya dengan cara tanya jawab untuk mendapatkan data dan informasi tentang masalah yang di hadapi.
B.       MACAM-MACAM WAWANCARA KONSELING
Dalam wawancara konseling ada beberapa metode yang di gunakan. Adapun metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Wawancara model Trait Factor Counseling
Wawancara ini membahas tentang masalah bakat, minat, dan kemampuan diri yang sesuai, dan nantinya dapat di terapkan dalam pekerjaan. Langkah kerja :
1)        Membangun hubungan pribadi
2)        Mendengarkan dengan perhatian, ungkapan, pikiran, dan perasaan
3)        Mengadakan analisis kasus
4)        Membantu mengintegrasikan semua data
5)        Mengakhiri hubungan pribadi dengan konseling
2.    Wawancara model Perencanaan Konseling Behavioristik
Wawancara ini membahas masalah yang berhubungan tentang lingkungan atau pengalaman yang mempengaruhi tingkah laku. Langkah kerja :
1)        Membangun hubungan pribadi
2)        Mendengarkan dengan perhatian
3)        Menganalisis kasus
4)        Membantu menentukan penyelesaian yang memuaskan
5)        Mengakhri hubungan pribadi dengan konseling
3.    Wawancara model Pelaksanaan Rational-Emotive Therapy
Wawancara ini membahas tentang permasalahan yang irasional sehingga menjadi rasional. Langkah kerja :
1)      Membangun hubungan pribadi
2)      Mendengarkan dengan perhatian
3)      Menganalisi kasus
4)      Membantu untuk menemukan jalan keluar dari masalah
5)      Mengakhiri hubungan pribadi dengan konseling
4.      Wawancara model Pelaksanaan Konseling untuk Penyesuaian diri
Wawancara ini membahas tentang permasalahan penyesuaian diri. Langkah kerja :
1)      Membangun hubungan pribadi
2)      Mendengarkan dengan perhatian
3)      Menganalisis kasus
4)      Membantu menemukan tindakan dan sikap yang sesuai sehingga permasalahan dapat terpecahkan
5)      Mengakhiri hubungan dengan konseing
5.      Wawancara model Pelaksanaan Konseling untuk Membuat Pilihan
Wawancara ini membahas tentang permasalahan membuat pilihan tetapi bukan pilihan program studi atau pekerjaan. Langkah kerja :
1)      Membangun hubungan pribadi
2)      Mndengarkan dengan perhatian
3)      Menganalisi kasus
4)      Membantu untuk menerapkan bagi dirinya sendiri apa yang di harapkan dan kemudian membantu menentukan pilihan dengan mempertimbangkan kelemahan dan kelebihan
5)      Mengakhiri hubungan pribadi dengan konseling

C.    PROSES WAWANCARA KONSELING
1.      Pembukaan
Diletakan dasar bagi pengembangan hubungan antar pribadi yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah dalam wawancara konseling.
Hal-hal yang dilakukan konselor :
1)      Membangun hubungan pribadi antar konselor dan konseli
2)      Menyambut konseli dengan sikap ramah
3)      Mengajak berbasa-basi sebentar
4)      Menjelaskan kekhususan dari wawancara konseli
5)      Mempersilahkan konseli untuk mengemukakan hal yang ingin di ungkapkan
2.      Penjelasan Masalah
Konseling mengemukakan pikiran dan perasaan yang berkaitan dengan hal yang ingin disampaikan.
Hal-hal yang perlu dilakukan konselor antaralain :
1)      Menerima ungkapan konseli apa adanya, serta mendengarkan dengan penuh perhatian
2)      Menentukan jenis masalah dan pendekatan konseling yang sebaiknya diambil.
3.      Penggalian Latar Belakang Masalah
Karena dalam proses kedua, konseling belum menyajikan gambaran lengkap mengenai kedudukan masalah, diperlukan penjelasan, ungkapan, pikiran, perasaan yang lebih mendetail, dan mendalam supaya kedudukan masalah menjadi lebih  jelas. Hal yang perlu dilakukan konselor adalah menganalisis kasus dengan pendekatan konseling yang disiplin.
4.      Menyelesaikan Masalah
Dalam fase analisis kasus diatas, konselor dan konseli membahas bagaimana mengatasi masalah. Konseli ikut berpikir, memandang, dan mempertimbangkan. Hal yang perlu dilakukan konselor adalah agar dalam diri konseli terdapat perubahan dalam sikap dan pandangan, juga merencanakan tindakan konkret untuk dilaksanakan setelah proses konseling selesai.
5.      Penutup
Jika konseli sudah merasa yakin dengan penyelesaian yang ditemukan bersama dengan konselor, maka proses konseling berakhir. Biasanya konselor mengambil langkah dalam memulai proses penutupan ini yaitu dengan cara sebagai berikut :
1)      Memberikan ringkasan jalannya pembicaraan
2)      Mengesahkan kembali ketentuan atau keputusan yang diambil
3)      Memberikan semangat
4)      Berpisah dengan konseli
D.    TUJUAN WAWANCARA
Dalam bidang bimbingan dan konseling, wawancara sering di gunakan. Wawancara dapat memiliki beberapa tujuan, diantaranya yaitu :
1.      Mengumpulkan data
2.      Menciptakan hubungan
3.      Memberi pertolongan
Biasanya dalam bimbingan dan konseling, tujuan akhirnya untuk memberikan pertolongan, sedangkan tujuan mengumpulkan data, dan menciptakan hubungan merupakan tujuan sementara yang memungkinkan menentukan keberhasilan langkah berikutnya dalam proses pertolongan, atau seterusnya mencapai tujuan akhir pertolongan. 2.Tehnik Menyiapkan Konseli
E.      Cara-cara menyiapkan klien dalam konseling
            Kesiapan merupakan sebuah kondisi yang harus dipenuhi sebelum klien dapat membuat hubungan konseling. Dalam hal kesiapan klien untuk melakukan konseling akan tergantung dari hal-hal berikut:
·         Motivasi klien untuk memperoleh bantuan dari konselor mengenai permasalahannya
·         Berbagai pengetahuan klien mengenai konseling
·         Kecakapan intelektual dari klien sendiri
·         Tingkat tilikan terhadap masalah dan dirinya sendiri
·         Harapan-harapan klien terhadap konselor               
·         Sistem pertahanan (Defense Mechanism) dari klien sendiri.
Namun terdapat beberapa hambatan dalam mencapai kegiatan konseling yang paling sering dijumpai, diantaranya adalah:
·         Penolakan secara kultural terhadap hal-hal diatas, sebagaimana kekuatan kultural dalam mempengaruhi cara pandang atau persepsi seseorang yang hal ini akan mempengaruhi berbagai kesiapan klien dalam menghadapi konseling.
·         Situasi fisik dalam konseling, seperti kondisi klien, kondisi lingkungan dari ruangan konseling, dan hal-hal bersifat fisik lainnya.
·         Pengalaman pertama dalam konseling yang tidak menyenangkan, hal ini akan mempengaruhi persepsi klien terhadap konseling.
·         Kurangnya pengertian terhadap konseling
·         Kurang dapat melakukan pendekatan terhadap klien
·         Di dalam sebuah lembaga, kurang terdapat iklim penerimaan terhadap konseling.
Kesiapan klien dalam memulai sebuah proses konseling merupakan hal penting yang akan berpengaruh terhadap kesuksesan konseling itu sendiri. Hal ini dapat ditempuh dengan melalui berbagai metoda-metoda yang diantaranya adalah:
·         Melalui pembicaraan dengan berbagai pihak/lembaga mengenai topik-topik masalah dan pelayanan konseling yang diberikan
·         Menciptakan iklim kelembagaan yang merangsang untuk meminta bantuan
·         Menghubungi sumber-sumber yang referral atau sesuai, misalnya berasal dari organisasi seperti sekolah, maupun berasal dari guru dan sebagainya.
·         Memberikan informasi kepada klien tertentu tentang dirinya dan prospeknya
·         Melalui proses pendidikan itu sendiri
·         Teknik-teknik survey terhadap masalah-masalah klien
·         Orientasi pra-konseling, hal ini dapat berupa teknik penstrukturan maupun hal-hal yang bersifat fisik.
Kesiapan klien juga dapat terganggu apabila klien tersebut merupakan klien yang bersifat “kiriman” karena sesuatu hal, hal ini sering terjadi dalam sebuah lembaga seperti sekolah maupun sebuah perusahaan. Bagi klien yang tidak datang atas kemauan sendiri, pengalaman menunjukkan bahwa akan sangatlah menguntungkan jika penyuluh segera membahas tanggapan klien tentang keberadaan klien saat itu dihadapan konselor. Dalam hal ini konselor dapat:
·         Menanyakan kepada klien, bahwa siapa yang menyuruh klien tersebut datang kepada konselor. Yang hal ini bermanfaat untuk informasi awal bagi konselor.
·         Memberikan alasan mengapa klien diminta datang menghadap konselor, misalnya dengan bertanya kepada klien, “Pak Joni mengganggap kamu (klien) agak kurang bergairah di dalam kelas dan hasil belajarmu menurun,”
·         Mengemukakan kepada klien tentang hal-hal yang dapat diberikan oleh seorang konselor kepada klien selama proses konseling
·         Mengajak klien untuk mengemukakan perasaan yang dialaminya dalam suasana saat itu. Apakah dia marah? Takut? Bingung? Tidak menentu? Atau bagaimananya.
·         Menekankan bahwa klien bebas memilih untuk tetap berada di tempat itu (bersama konselor) atau pergi. Seringkal, jika klien menyadari bahwa dia boleh saja secara bebas membatalkan pertemuannya dengan konselor, justru dapat merupakan langkah pertama dalam membina sikap percaya klien terhadap konselor yang selanjutnya akan menjadi pendorong baginya untuk datang secara sukarela kepada konselor.
·         Menyarankan bahwa jika klien tersebut menolak konselor sebagai seseorang yang dapat membantu klien tersebut, ada sumber-sumber (orang-orang) lain dapat dimintai bantuannya untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Tunjukkan nama mereka jika klien memang berminat.
F.      RAPPORT
Tujuan helping relationship atau hubungan konseling adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan helpe (konseli) dan bukan untuk memenuhi kebutuhan konselor (helper). Secara luas dikatakan bahwa klien harus dapat mempunyai tanggung jawab mengenai dirinya, dan membuat keputusan berdasarkan alternative-alternatif yang dia tentukan atas bantuan konselor. Untuk mencapai tujuan yang baik tersebut, maka dalam hubungan konseling harus terjadi rapport antara konseli dan konselor.
Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Rapport  dimulai dengan persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan persamaan. Jika sudah terjadi persetujuan dan rasa persamaan, timbullah kesukaan terhadap satu sama lain.
Jika anda menekunkan pada perbedaan, maka anda akan sulit mencapai rapport. Sebaliknya jika anda menekankan pada pandangan persamaan dan rasa bebagi maka sikap resisten dan berlawanan akan hilang. Jika sikap dan persamaan ini tumbuh maka terjadilah rapport.
Didalam konseling, seorang konselor harus mampu menciptakan rapport. Dengan cara sebagai berikut:
·         Pribadi konselor harus empati, merasakan apa yang dirasakan klliennya. Dia juga harus terbuka, menerima tanpa syarat, dan mempunyai rasa hormat dan menghargai.
·         Konselor harus mamu membaca perilaku nonverbal klien. Terutama yang berhubungan dengan bahasa lisannya.
·         Adanya rasa kebersamaan , intim, akrab, dan minat membantu tanpa pamrih. Artinya ada keikhlasan, kerelaan, dan kejujuran pada diri konselor.
Adapun upaya pengembangan rapport, yang ditentukan oleh aspek-aspek dari diri konselor yaitu:
·         Kontak mata
·         Perilaku non-verbal (perilaku attending), bersahabat, hangat, luwes, keramahan, senyum, menerima, jujur/asli, penuh perhatian, dan terbuka
·         Bahasa lisan/verbal, (sapaan sesuai dengan teknik-teknik konseling), seperti ramah menyapa, senyum, dan bahasa lisan yang halus.
Adapun tujuan menciptakan suasana rapport dalam hubungan konseling adalah agar suasana konseling itu merupakan suasana yang memberikan keberanian dan kepercayaan diri klien untuk menyampaikan isi hati, perasaan, kesulitan, dan bahkan rahasia batinnya kepada konselor.
Menciptakan rapport dalam suasana konseling tidaklah begitu mudah, karena sering mengalami kendala-kendala. Diantara kendala-kendala tersebut adalah, sebagai berikut:
·         Konselor kurang mampu menstabilkan emosinya sehubungan dengan latar belakang kehidupannya yang banyak masalah. Sebagai manusia, sering konselor terpengaruh suasana sosial psikologis dan emosional di sekelilingnya, misalnya suasana keluarga, iklim tempat kerja, dan jabatan yang dipegangnya terutama jika konselor itu seorang guru. Jika konselor tidak menguasai emosi egonya , dan jika selalu dalam ketidakstabilan emosi, maka konselor seperti itu tidak akan efektif, bahkan mungkin dapat lebih merusak klien
·         Konselor yang terikat dengan sistem nilai yang dianutnya secara sadar atau tidak mampu mempengaruhi sistem nilai klien
·         Konselor dihantui oleh kelemahan teori dan teknik konseling yang ia miliki. Konselor pemula memang sering dihantui oleh masalah teori dan teknik yang sesuai dalam setiap fase konseling atau dalam memberikan resfon yang akurat sesuai dengan pernyataan klien. Masalah ini dapat teratasi jika calon konselor sering mengadakan latihan wawancara konseling, baik bersama teman maupun dengan klien. Konselor yang bijaksana akan menggunakan pendekatan CSA (creative-synthesis-analysis) dan eklektisistik (selektif terhadap teori-teori sesuai keluarga atau klien yang dihadapi).
Kesulitan lain berada pada pada pihak eksternal atau pihak klien yaitu:
·         Jika ada anggota keluarga (seorang atau beberapa orang) tidak mempunyai motivasi untuk mengikuti konseling. Mereka akan menghambat jalannya konseling, betapapun konselor menguasai teori atau teknik, karena mereka enggan untuk melibatkan diri dalam pembicaraan
·         Ada klien yang enggan disebabkan dipaksa oleh orang tua, suami/istri, polisi, atau pihak lain. Jadi, dia hadir pada konseling keluarga tanpa sukarela atau keinginan sendiri. Biasanya klien ini ada yang berpura-pura, defensif, dan ada pula yang menutup diri sama sekali terhadap konselor, sehingga sulit bagi konselor untuk mengungkap perasaannya
·         Ada klien yang sudah berpengalaman mengikuti berbagai konseling dari konselor, sehingga seakan-akan dia sudah ‘kecanduan’ untuk mengobrol dan bukan untuk meminta bantuan dalam pemecahan masalah yang dihadapi.

G.    MASALAH DAN KRITERIA MASALAH DALAM BIMBINGAN KONSELING
1.Pengertian dan ciri-ciri masalah
Dalam perkembangan dan proses kehidupannya, manusia sangat mungkin menemui berbagai permasalahan, baik oleh individu secara perorangan maupun kelompok. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu sangat dimungkinkan selain berpengaruh pada dirinya sendiri, juga berpengaruh kepada orang lain atau lingkungan sekitarnya.
Pada hakekatnya, proses pengembangan manusia seutuhnya hendaknya mencapai pribadi-pribadi kediriannya yang matang, dengan kemampuan sosial yang baik, kesusilaan yang tinggi, serta keimanan dan ketakwaan yang dalam. Namun pada kenyataannya, sering dijumpai keadaan pribadi yang kurang berkembang dan rapuh, tingkat kesosialan dan kesusilaan yang rendah, serta tingkat keimanan dan ketakwaan yang dangkal.
Ketidakmampuan setiap individu untuk mewujudkan perkembangan yang optimal pada ke empat dimensi (individualitas, sosialitas, moralitas, dan relegiusitas) tersebut dikarenakan oleh berbagai permasalahan yang dialami selama proses perkembangannya. Masalah merupakan sesuatu atau persoalan yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Masalah yang menimpa seseorang bila dibiarkan berkembang dan tidak segera dipecahkan dapat mengganggu kehidupan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Adapun ciri-ciri masalah adalah sebagai berikut:
·         Masalah yang muncul karena ada kesenjangan antara harapan (das sollen)  dan kenyataan (das sein)
·         Semakin besar kesenjangan, maka masalah semakin berat
·         Tiap kesenjangan yang terjadi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda
·         Masalah muncul sebagai perilaku yang tidak dikehendaki oleh individu itu sendiri maupun oleh lingkungan
·         Masalah timbul akibat dari proses belajar yang keliru
·         Masalah memerlukan berbagai pertanyaan dasar yang perlu dijawab
·         Masalah dapat bersifat individual maupun kelompok.

2. Kriteria Masalah
Pada dasarnya, masalah ditandai oleh adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Namun, tidak semua masalah perlu ditangani melalui pendekatan konseling. Suatu masalah perlu ditangani melalui konseling, bila memenuhi kriteria tertentu. Pada dasarnya, masalah tersebut berasal dari suatu masalah yang cukup serius, cukup mengguncangkan pribadi konseli, masalah tersebut senantiasa mencekam sehingga pikiran dan perasaan konseli tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan berpengaruh terhadap perubahan fisiologik tubuh. Disisi lain, masalah tersebut sudah berada diluar jangkauan konseli untuk mereda, menghalau ataupun untuk menyelesaikannya sendiri. Sementara itu, bila masalah tersebut tidak diatasi maka akan merugikan diri sendiri maupun pihak lain, terjadinya hambatan perkembangan, penyimpangan sikap dan perilaku, salah perilaku dan inadekuat lain.
Selanjutnya, secara sadar konseli butuh bantuan dari orang lain untuk menghadapi, mengatasi, dan memecahkan masalahnya yang berada di luar kemampuannya. Jadi, masalah tersebut perlu digarap dengan cara-cara khusus, cara-cara yang memadai. Dengan kata lain, masalah tersebut diatasi dengan bantuan orang lain yang memiliki kompetensi atau keahlian sesuai dengan karakteristik dan kadar permasalahanya perlu penanganan secara profesional.
Meski masalah tersebut cukup serius dan sifatnya spesifik, menimbulkan ketegangan, kecemasan, ketakutan, frustasi ataupun konflik namun masalah tersebut masih dalam jangkauan profesi bimbingan dan konseling, masih dalam kategori “normal”, belum termasuk “abnormal”. Bila masalah konseli mencapai kadar yang sangat berat, neuosus, diluar jangkauan konselor, maka perlu di referal kepada psikologis klinis. Terlebih-lebih bila diagnosa masalah mengidentifikasi adanya simtoma abnormalitas atau psikosis, maka merupakan kewenangan psikiater untuk menanganinya.
Berikut ini adalah kriteria masalah dalam konseling secara prinsip, antara lain:
·         Masalah sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tergolong serius, sifatnya khas dan cukup mengguncangkan kehidupan secara sosial maupum pribadi dari konseli. Masalah yang dihadapi oleh konseli itu mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial dari konselinya
·         Masalah yang cukup serius itu, selalu mengganggu pikiran dan perasaan, serta masalah tersebut diluar jangkauan subjek untuk mangatasi atau menyelesaikan sendiri. Masalah tersebut adalah suatu masalah dimana konseli sudah merasa tidak mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan dirinya sendiri. Maka, disini konseli membutuhkan bantuan dari konselor untuk membantu salam upaya pemecahan masalahnya tersebut
·         Bila masalah tersebut tak terpecahkan ataupun tak terselesaikan, maka akan mengakibatkan kerugian bagi subjek maupun pihak lain yang boleh jadi berdampak memunculkan masalah baru. Jika suatu masalah yang dihadapi oleh konseli tidak segera terpecahkan atau terselesaikan, maka masalah tersebut dapat memunculkan suatu masalah yang baru dan akan mengganggu kehidupan dari konseli. Oleh sebab itu, suatu masalah yang dihadapi oleh konseli harus secepatnya dapat terselesaikan dengan baik
·         Pada gilirannya, konseli butuh bantuan pertolongan untuk memecahkan masalahnya secara memadai, sehingga dapat mengembangkan pribadi yang balance, produktif dan sehat. Konseli akan selalu membutuhkan pertolongan bantuan dari seorang konselor dalam upaya pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Setelah memperoleh  bantuan dari konselor, maka diharapkan konseli mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, serta dapat hidup dengan seimbang, produktif, dan sehat
·         Dengan kata lain, masalah tersebut perlu ditangani secara profesional oleh figur yang kompeten dan berwenang. Dalam menangani suatu permasalahan yang dihadapi oleh konseli memang sudah seharusnya ditangani oleh orang yang profesional dan sudah ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Jika dalam menangani suatu masalah itu tidak ditangani oleh orang yang sudah profesional, maka akan menjadi ketakutan, apabila pemecahannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konseli atau tidak sesuai dengan tugas perkembangan dari konseli yang bersangkutan
·         Akhirnya, masalah yang dimaksud berada dalam ruang lingkup kewenangan konselor yaitu masalah-masalah melanda pada orang-orang normal. Seorang konselor hanya akan membantu memecahkan masalah dari konseli yang masih dalam keadaan normal, atau tidak sedang mengalami gangguan jiwa (abnormal). Jika konseli sudah berada dalam suatu keadaan yang abnormal, maka hal itu sudah tidak menjadi kewenangan dari seorang konselor. Dengan kata lain, masalah itu bisa dialih tangankan kasus ke orang yang lebih ahli, misalnya seorang psikiater.
3. Jenis-jenis masalah
Berikut ini ada beberapa masalah yang dialami oleh para remaja di sekolah menengah, antara lain:
·         Masalah emosi
Secara tradisional, masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan kadang kurang tampak irasional. Hal ini dapat dilihat dari gejala yang nampak pada mereka, misalnya mudah marah. Keadaan seperti ini sering kali menimbulkan berbagai permasalahan khususnya dalam kaitannya dengan penyesuaian diri di lingkungannya. Sekolah sebagai lembaga formal yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk membantu subjek didik menuju kearah kedewasaan yang optimal harus mempunyai langkah-langkah konkrit untuk mencegah dan mengatasi masalah emsosional ini. Misalnya dengan memberikan pelayanan khusus bagi siswa melalui program layanan informasi, layanan konseling, layanan bimbingan dan konseling kelompok. Dalam layanan bimbingan dan konseling kelompok, anak dapat berlatih bagaimana cara menjadi pendengar yang baik, bagaimana cara mengemukakan masalah, bagaimana cara mengendalikan diri baik dalam menanggapi masalah sesama anggota maupun saat mengemukakan masalahnya sendiri.
·         Masalah penyesuaian diri
Salah satu tugas yang paling sulit pada masa remaja adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis baik dengan sesama remaja maupun dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Pada fase ini remaja lebih banyak di luar rumah bersama dengan teman-temannya sebagai kelompok, maka dapatlah dipahami jika pengaruh teman sebaya dalam segala pola perilaku, sikap, minat, dan gaya hidupnya lebih besar daripada pengaruh dari keluarga. Perilaku remaja sangat bergantung pada pola-pola perilaku kelompok. Yang menjadi masalah apabila mereka salah dalam bergaul. Dalam keadaan demikian, remaja akan cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan berbagai akibat yang akan menimpa dirinya. Untuk itulah, maka sekolah harus ikut membantu tugas-tugas perkembangan remaja tersebut agar mereka tidak mengalami kesalahan dalam penyesuaian dirinya. Melalui penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pembinaan bakat dan minat baik lewat kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikuler di sekolah, hal-hal tersebut diharapkan dapat mencegah dan mengatasi kesalahan pergaulan tersebut. Contoh dari masalah penyesuaian diri ini adalah susah dalam hubungan sosial dan mencari teman.
·         Masalah perilaku seksual
Tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh remaja sehubungan dengan kematangan seksualitasnya adalah pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis dan belajar memerankan peran seks yang diakuinya. Pada masa ini, remaja sudah mulai tertarik pada lawan jenis, mulai bersifat romantis, yang diikuti oleh keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dan perhatian dari lawan jenis. Sebagai akibatnya, remaja memiliki minat yang tinggi terhadap seks. Seharusnya mereka mencari dan atau memperoleh informasi tentang seluk beluk seks dari orang tua, tetapi pada kenyataannya mereka lebih banyak mencari informasi dari sumber-sumber yang kadang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dari teman sebaya yang sama-sama kurang memahami arti pentingnya seks, dari internet, media elektronik, dan media cetak yang kadang-kadang lebih menjurus ke pornografi. Sebagai akibat dari informasi yang tidak tepat tersebut dapat menimbulkan perilaku seks remaja yang apabila ditinjau dari segi moral dan kesehatan tidak layak dilakukan, misalnya berciuman ataupun masturbasi. Bagi generasi muda sekarang ini, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap normal dan benar. Bahkan hubungan seks di luar nikah dianggap benar apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai dan saling merasa terikat. Untuk menanggulangi dan mengatasi masalah seperti itu, sekolah hendaknya melakukan tindakan-tindakan yang nyata, misalnya pendidikan seks (seks education).
·         Masalah perilaku sosial
Tanda-tanda masalah perilaku sosial pada remaja dapat dilihat dari adanya diskriminasi terhadap mereka yang berlatar belakang ras, agama, atau sosial ekonomi yang berbeda. Dengan perilaku-perilaku sosial seperti ini, maka akan dapat melahirkan geng-geng atau kelompok-kelompok remaja, yang pembentukannya berdasarkan atas kesamaan latar belakang, agama, suku, dan sosial ekonomi. Pembentukan kelompok atau geng pada remaja tersebut dapat memicu terjadinya permusuhan antar kelompok atau geng. Untuk mencegah atau mengatasi masalah-masalah tersebut, sekolah sebenarnya dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kelompok (baik kurikuler maupun kokurikuler) dengan tidak memperhatikan latar belakang suku, agama, ras, an sosial ekonomi. Sekolah harus mampu memperlakukan siswa secara sama, dan tidak membeda-bedakan siswa yang satu dengan siswa lainnya.
·         Masalah moral
Masalah moral yang terjadi pada remaja ditandai oleh adanya ketidakmampuan remaja dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya antar sekolah, keluarga, ataupun dalam kelompok remaja. Ketidakmampuan membedakan mana yang benar dengan mana yang salah dapat membawa masalah bagi kehidupan remaja pada khususnya dan pada semua orang pada umumnya. Untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah yang demikian, maka sekolah sebaiknya menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan dan meningkatkan budi pekerti. Contoh dari masalah moral ini adalah mencontek saat ujian.
·         Masalah keluarga
Di dalam sekolah menengah, sering ditemukan berbagai permasalahan remaja yang penyebab utamanya adalah terjadinya kesalahpahaman antara anak dengan orang tua. Seperti yang telah dikemukakan oleh Hurlock (dalam Mugiarso, 2011: 98), sebab-sebab umum pertentangan keluarga selama masa remaja adalah standar perilaku, motode disiplin, hubungan dengan saudara kandung, sikap yang sangat kritis pada remaja, dan masalah palang pintu (perbedaan pendapat). Remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern itu berbeda. Menurut remaja, orang tua yang mempunyai standar kuno harus mampu mengikuti standar yang modern, sedangkan orang tua bersikeras pada pendiriannya semula. Keadaan inilah yang menjadi sumber perselisihan di antara mereka. Metode-metode disiplin yang diterapkan oleh orang tua yang terlalu kaku dan cenderung otoriter akan dapat menimbulkan permasalahan dan pertentangan di antara remaja dan orang tua. Salah satu ciri remaja adalah dimilikinya sikap kritis terhadap segala sesuatu, namun bagi keluarga tertentu sering tidak menyukai sikap remaja yang terlalu kritis terhadap pola perilaku orang tua dan terhadap pola perilaku keluarga pada umumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan masalah keluarga palang pintu adalah peraturan keluarga tentang penetapan jam atau waktu pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa remaja itu dapat berhubungan, terutama teman-teman yang lawan jenis. Untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut, maka sekolah harus mampu meningkatkan kerjasama dengan orang tua dari para siswanya.
Prayitno (dalam Mugiarso, 2011: 99) mengelompokkan masalah siswa di sekolah menengah menjadi empat kelompok besar, yaitu:
1.Masalah yang berhubungan dengan dimensi keindividualan, masalah ini berkaitan dengan pribadi (diri sendiri) dari siswa yang bersangkutan
2.Masalah yang berhubungan dengan dimensi kesosialan, masalah berkaitan dengan bagaimana seorang siswa mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya
3.Masalah yang berhubungan dengan dimensi kesusilaan, masalah ini berkaitan dengan moral para peserta didik (siswa) pada sekolah menengah
4.Masalah yang berhubungan dengan dimensi keberagamaan, masalah ini berkaitan dengan ras, suku, dan agama dari masing-masing peserta didik (siswa) pada sekolah menengah.


0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar dengan bahasa yang baik dan sopan ya :)