BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa pada anak-anak
merupakan hal yang banyak terjadi, yang umumnya tidak terdiagnosis dan
pengobatannya kurang adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada 15% sampai
22% anak-anak dan remaja, namun yang mendapatkan pengobatan jumlahnya kurang
dari 20% (Keys, 1998). Gangguan hiperaktivitas-defisit perhatian (ADHD/
Attention Deficit-Hyperactivity Disorder) adalah gangguan kesehatan jiwa yang
paling banyak terjadi pada anak-anak, dimana insidensinya diperkirakan antara
6% sampai 9%.
Diagnosis gangguan jiwa pada
anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya,
menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya
atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999). Dasar untuk memahami
gangguan yang terjadi pada bayi, anak-anak, dan remaja adalah dengan
menggunakan teori perkembangan. Penyimpangan dari norma-norma perkembangan
merupakan tanda bahaya penting adanya suatu masalah.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian dari perilaku abnormal pada anak dan remaja?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan perilaku abnormal pada anak dan remaja?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku abnormal pada anak dan remaja?
4. Apakah sajakah penyebab dari perilaku abnormal pada anak dan remaja?
5. Bagaimana cara menangani gangguan abnormal pada anak dan remaja?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari perilaku abnormal pada anak dan remaja.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari gangguan perilaku abnormal.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab dari gangguan perilaku abnormal pada anak dan remaja.
4. Mengetahui penyebab dari gangguan perilaku abnormal pada anak dan remaja.
5. Mengetahui bagaimana cara menangani perilaku abnormal pada anak dan remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gangguan
Psikologi Abnormal ( Abnormal Psychology ) merupakan salah
satu cabang psikologi yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal dan
cara menolong orang – orang yang mengalaminya.
Banyak masalah yang
teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin muncul
lebih awal tapi masih bisa ditoleransi, atau tidak dianggap sebagai masalah
dirumah. Kadang-kadang stres karena masuk sekolah pertama kali ikut
mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa yang secara
sosial dapat diterima pada usia tertentu, seperti ketakutan terhadap orang
asing di usia 9 bulan, menjadi tidak dapat diterima di usia yang lebih besar. Banyak
perilaku yang dianggap abnormal pada masa dewasa, seperti ketakutan intens pada
orang asing dan kurang kontrolnya terhadap keinginan buang air kecil, dianggap
normal pada masa anak usia tertentu.
Diagnosis gangguan jiwa pada
anak-anak dan remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya,
menyimpang bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya
atau terganggunya fungsi adaptasi (Townsend, 1999).
Masalah-masalah
psikologis yang dialami pada masa kanak-kanak dan remaja merujuk pada usia dan
kebudayaan. Keyakinan-keyakinan budaya membantu menentukan apakah orang-orang
melihat perilaku tertentu sebagai normal atau abnormal. Orang-orang yang hanya
mendasarkan pada normalitas standart
yang berlaku pada budaya mereka saja akan beresiko menjadi etnocentris ketika
mereka memandang tingkah laku orang lain dalam budaya yang berbeda sebagai
abnormal. Perilaku abnormal pada anak-anak bergantung pada definisi orang tua
mereka yang dipandang dari kacamata budaya tertentu.
B. Jenis-Jenis Gangguan Perilaku Abnormal
Pada Anak dan Remaja
1. Gangguan Perkembangan Pervasif
Anak-anak
yang mengalami gangguan pervasive menujukan hendaya perilaku atau fungsi pada
bagian area perkembangan. Tipe mayor yang akan dibahas adalah gangguan autistuk
(autism). Gangguan pervasive lain adalah asperger, gangguan rett, dan gangguan
disintegrasi pada anak-anak.
a. Jenis-jenis Gangguan
pervasif
a) Gangguan autisme
Kata autism berasal
dari bahasa yunani autos yang berarti self. Istilah ini digunakan pertama kali
oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler pada tahun 1906, untuk merujuk pada gaya
berfikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Autisme itu sendiri adalah
gangguan terparah yang dialami pada masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis
dan berlangsung seumur hidup. Anak yang menderita autisme akan merasa sendir,
terlepas dari upaya orang tua unyuk menjebatani muara yang memisahkan mereka.
Autisme
adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia,
percaya bahwa kejadian – kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri.
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi,
serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya
meliputi kurangnya respon terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan
sosial, dan respon yang aneh terhadap lingkungan seperti mengepakkan tangan,
bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala.
Cara berpikir anak
autistik adalah bahwa mereka adalah pusat dunia, dan percaya bahwa kejadian
eksternal mengacu pada dirinya. Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak
laki-laki ini, umumnya mulai tampak pada usia 18-30 bulan (Rapin, 1997). Namun
demikian akan terlihat lebih jelas pada usia anak 6 tahun rata-rata yang
mengalami gangguan ini mengalami diagnosis pertama kali. Anak autistik sering
digambarkan oleh orang tuanya sebagai ‘bayi yang baik ‘’ di awal masa
balita. ini biasanya anak tidak banyak menuntut. Tapi setelah mereka
berkembang, mereka mulai menolak afeksi fisik yang berupa pelukan atau ciuman.
Ciri-ciri yang biasanya ada pada anak penderite autisme, antara lain :
1)
Kesendirian yang amat sangat.
2)
Mereka bermasalah dengan
bahasa, komunikasi, stereotipe.
Ada anak
autis yang tidak bisa berbicara, atau jika ada anak yang bisa bicara, biasanya
digunakan secara tidak lazim seperti dalam ekolalia (mengulang kembali apa yang
didengar dengan nada suara yang tinggi dan monoton). Anak autisme biasanya
menggunakan komunikasi secara nonverbal, misalnya tidak bisa menunjukan kontak
mata atau ekspresi wajah. mereka juga merespon dengan lambat terhadap orang
dewasa yang ingin mendapat perhatian mereka. Walau mereka tidak respponsif,
tapi mereka dapat memperlihatkan emosi-emosi yang kuat, terutama saat mereka
sedih, marah, dan takut.
3)
Ciri utama dari anak autisme
adalah gerakan stereotipe yang berulang
yang tidak memiliki tujuan, misalnya berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun ke depan ke belakang dengan lengan memluk kaki.
4)
Sebagian anak autistik ada yang
menyakiti dirinya sendiri, dengan membenturkan
kepala, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak
rambut.
5)
Terkadang mereka panic secara
tiba-tiba (tantrum).
6)
Tidak menyukai perubahan
lingkungan, cirri yang diberi istilah “penjagaan
kesamaan”. Jika ada benda yang di pindah walau hanya digeser sedikit saja, anak autism akan mengalami tantrum
atau menangis sampai benda itu
kembali ke tempat semula.
b) Gangguan Asperger
Gangguan ini bentuknya lebih ringan dari gangguan
pervasif, ditunjukan dengan adanya defisit pada interaksi social dan perilaku
stereotipe tetapi tanpa disertai dengan perrlambatan yang signifikan pada aspek
bahasa dan kognitif seperti pada penderita autism. Karakteristik penderita
gangguan asperger, diantaranya:
1)
Hendaya yang nyata pada
interaksi sosial, misalnya kegagalan kontak mata atau mengembangkan hubungan
pertemanan yang sesuai dengan usianya, atau gagal dalam menemukan orang lain
untuk berbagi aktivitas atau minat yang menyenankan.
2)
Perkembangan perilaku minat,
aktivitas yang sempit, repetitif dan stereotipe. misalnya memaikan tangan atau
jari-jari.
3)
Tidak adanya keterlambatan pada
perkembangan bahsa atau kognitif maupun perkembangan keterampilan self help
atau perilaku adaptif yang tidak berkaitan dengan interaksi sosial.
c) Gangguan Rett
Gangguan pervasive yang
ditandai adanya abnormalitas fisik, perilaku, motorik, dan kognitif yang
dimulai setelah bebrapa bulan perkembangan normal. Karakteristik dari gangguan
rett antara lain:
1).
Pertumbuhan kepala melambat
2). kemuduran
pada keterampilan motorik (kehilangan kemampuan keterampilan pada tangan).
3).
Perkembangan yang buruk pada koordinasi gerakan seluruh badan.
4). Hilangnya
minat sosial.
5). Hambatan
yang berat pada perkembangan bahasa
d) Gangguan Disintegrasi Kanak-Kanak
Gangguan perkembangan pervasive yang ditandai dengan hilangnya
keterampilan yang pernah dikuasai dan fungsi yang abnormal setelah satu periode
perkembangan ormal pada dua tahun pertama. Karakteristik dari gangguan ini
adalah:
1). Hilangnya secara signifikan keterampilan-keterampilan yang pernah
dikuasainya, seperti pada area pemahaman atau penggunaan bahasa, fungsi sosial
atau adaptif, kontrol pada buang air kecil dan besar.
2).
Keabnormalan fungsi seperti yang tampak pada gangguan interaksi sosial dan
komunikasi, perkembangan tingkah laku, minat atau aktivitas yang sempit,
stereotip.
b. Penanganan Gangguan Pervasif
a) Metode Operant conditioning,
di mana hadiah dan hukuman secara sistematis diaplikasikan untuk meningkatkan
kemampuan anal dalam memperhatikan orang lain, bermain dengan anak lain,
mengembangkan keterampilan akademik, dan menghilangkan perilaku menyendiri.
b)
Reinforcer sosial (pujian) dan
reinforce primer (makan), ini dapat dgunakan untuk membantu member contoh di
kamar mandi, misalnya buang air kecil, berbicara, dan bermain sosial.
c) Teknik yang didasarkan pada pemusnahan (menahan pemberian reinforce
terhadap respon), ini digunakan untuk menghilangkan perilaku self-mutilative yang berupa membenturkan
kepala.
d) Stimulasi averser seperti memukul, da n pada kasus yang lebih ekstrim adalah dengan kejutan
listrik, dapat dilkukan apabila pendekatan yang lebih lunak terbukti tidak
efektif. Penggunaan kejutan listrik pada anak-anak tentu mengundang pertanyaan
moral, hukum dan etika. Lovaas mengatakan bahwa kegagalan untuk menghilangkan
perilaku yang menyakiti dirimenempatkan anak pada resiko yang lebih besar akan
bahaya fisik dan tidak memberikan anak untuka mengikuti terapi lain.
e) Pendekatan biologis, hanya member pengaruh pada penanganan autism.
hal ini dapat berubah. penelitian menunjukan bahwa obat-obatan yang
meningkatkan aktivitas serotonin, seperti SSRI, dapat mengurangi pikiran dari
perilaku repetitive serta agresifitas sehingga menghasilkan perbaikan dalam
hubungan sosial dan penggunaan bahasa pada individu autistic dewasa (McDougle
dkk, 1996).
2. Retardasi Mental
Sekitar 1% dari populasi mengalami gangguan retardasi mental, yaitu
keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi
kognitif dan sosial. Retardasi mental dapat didiagnosis berdasarkan 3 kombinasi
kriteria:
a)
Skor rendah pada intelegensi
formal (skor IQ kira-kira 70 atau bawahnya).
b)
Adanya bukti hendaya dalam
melkukan tugas sehari-hari dibandinkan dengan orang lain yang seusianya dalam
lingkup budaya tertentu.
c)
Perkembangan gangguan terjadi
sebelum usia 18 tahun.
Tingkat retardasi mental
Derajat Keparahan
|
Perkiraan Rentang IQ
|
Jumlah Penyandang Retardasi Mental
dalam rentang ini
|
Retardasu mental ringan (mild)
|
50-55 sampai sekitar 70
|
Kira-kira 85%
|
Retardasi mental sedang (moderat)
|
35-40 sampai 50-55
|
10%
|
Retardasi berat (severe)
|
20-25 sampai 35-40
|
3-4%
|
Retardasi mental parah (profound)
|
Di bawah 20 atau 25
|
1-2%
|
1)
Penyebab Retardasi Mental
a)
Aspek biologis
Aspek biologis mencakup gangguan kromosom
dan genetis, penggunaan alcohol pada saat
ibu mangandung. Walau demikian, tetap
tidak bisa dijelaskan, terutama yang tergolong retardasi ringan.
b) Psikososial
Dalam aspek psikososial ini mungkin
melibatkan penyebab unsur budaya
atau keluarga, seperti pengasuhan dalam lingkungan rumah yang miskin.
2)
Tipe-Tipe Retardasi Mental
a) Sindrom Down dan Abnormalitas kromosom
Abnormalitas yang paling
umum penyebab retardasi mental adalah
sindrom down, yang ditandai dengan kelebihan kromosom pada pasangan
kromosom ke-21, sehingga menyebabkan jumlah kromosom menjadi 47, bukan 46
seperti pada individu normal lainnya (Wade, 2000). Kondisi ini
terjadi apabila pasangan kromosom
ke 21 pada sel telur atau sperma gagal untuk membelah secara sehingga menyebabkan ekstra kromosom.
Anak yang mengalami
sindrom down mempunyai ciri-ciri fisik tertentu seperti ; Wajah bulat,
lebar, Hidung datar, dan Ada lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada
kulit di bagian ujung mata yang memberikan kesan mata sipit. Lidah
yang menonjol, Tangan yang kecil dan membentuk segi empat
dengan jari-jari yang pendek, jari kelima yang melengkung, Ukuran
tangan dan kaki yang kecil dan tidak prporsional dibandingkan
keseluruhan tubuh. Hampir semua anak ini mengalami retardasi mental
dan banyak diantara mereka mengalami masalah fisik, seperti
gangguan jantung, pernapasan. Yang
lebih meyedihkan lagi, sebagian dari mereka ada yang meninggal dunia di usia pertengahan.
Pada tahun terakhir mereka hidup,
mereka cenderung kehilangan ingatan dan mengalai emosi yang
kekanak-kanakan yang mennadai senalitas.
b) Sindrom
Fragile X dan Abnormalitas genetis
Sindrom fragile X merupakan tipe umum dari retardasi mental yang
diwariskan. Gangguan ini diyakini muncul akibat mutasi gen pada kromosom X. Gen
yang rusak ada pada area kromosom yang tampak rapuhsehingga disebut sindro
fragile X Fragile X syndrome). Sindrom ini menyebabkan retardasi mental pada
1.000 sampai 1.500 pria (biasanya tidak terlalu parah) dan hmabatan pada
perempuan 2.000 sampai2.500 (Angier, 1991 ;Rousseau dkk., 1991).
Perempuan mempunyai dua kromosom X, tampaknya memberikan perlindungan
dari gangguan ini bila kerusakan terjadi pada salah satunya. Sementara pada
laki-laki hanya memilki satu kromosom X, hal ini dapat menjelaskan mengapa
gangguan ini banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Efek
dari sindrom ini adalah gangguan belajar ringan, sampai retdasi parah yang
menybabkan tidak bisa bicara.
3).
Faktor Penyebab Gangguan Retardasi
a. Faktor-Faktor
Prenatal
l
Infeksi atau penyalahgunaan
obat-obatan selama ibu mengandung.
l
Rubella (cacar Jerman) pada ibu hamil, akan ditularkan
pada anak yang belum lahir, yang mengakibatkan
kerusakan otak sehingga menyebabkan
retardasi, dan ini juga akan berperan pada autisme.
l Penyakit ibu
yang juga dapat menyebabka retardasi adalah, sifilis dan herpes
genital.
l Komplikasi
kelahiran, seprti kekurangan oksigen, atau cedera kepala, menyebabkan anak akan terken agangguan neurologis, termasuk retardasi mental.
l Kelahiran
prematur juga menyebabkan timbulnya gangguan retardasi mental.
l Infeksi otak
atau trauma pada masa bayi dan kanak-kanak awal dapat menyebabkan gangguan
retardasi mental dan gangguan kesehatan lainnya .
l Anak-anak
yang terkena racun , seprti cat yang mengandung timah, juga dapat
mengalami kerusakan pada otak yang menyebabkan anak terkena gangguan retardasi.
b.
Budaya-keluarga
l Faktor psikososial, seperti lingkungan rumah yang miskin, yaitu
tidak memberikan stimulus intelektual, penelantaran, dan kekerasan dari orang
tua.
l Dari studi di Atlanta menunjukan bahwa ibu yang tidak lulis SMA
kemungkinan empat kali lipat mempunyai anak yang mengalami gangguan retardasi
mental ringan dari pada ibu yang berpendidikan.
4) Intervensi
Pelayanan yang harus diberikan pada
penderita retardasi mental adalah memenuhi tuntutan perkembangan, sebagian
bergantung pada derajat keparahan tipe retardasi. Dengan pelatiha yang tepat,
anak-anak dengan retardasi ringan akan setara dengan anak kelas 6 SD. Banyak
anak ini dpat bersekolah di kelas regular. Sebaliknya anak dengan retardasai
mental berat membutuhkan penananganan yang institusi atau ditempatkan di pusat pelayanan
residensial (recidential Care) yang ada di komunitas, isalnya group home.
Teknik- teknik pelayanan yang dilakukan untuk anak penderita retardasi mental
adalah memberikan pelatihan keterampilan sosial, yang memfokuskan pada
perkembangan kemampuan individu dalam
berhubungan dengan orang lain, dan pelatihan pengelolaan amarah, untuk membantu
individu mengembangkan kemampuannya secara efektif dalam mengatasi konfliknya
tanpa bersikap agresif.
3. Gangguan
Belajar
Gangguan belajar yang paling umum adalah gangguan disleksia.
Disleksia mrupakan 80% dari kasus gangguan belajar dan dialami pada individu
yang mengalami kesulitan membaca, walaupu mereka memiliki intelegensi
rata-rata. (Miller-medzon, 2000). Mungkin berbakat, tapi mereka mengalami
kesulitan dalam membaca, menulis, menghitung, hingga menghambat mereka dalam
prestasi sekolah atau kehidupan sehari-hari. Gangguan belajr merupakan gangguan
yang kronis, Karena akan mempengaruhi perkembangan sampai dewasa.
Tipe-Tipe Gangguan Belajar
a)
Gangguan Matematika
Menggambarkan anak yang lemah dalam hal kemampuan
aritmatika. Mereka kurang bisa memahami istilah matematika dasar, seperti
penjumlahan, pengurangan. Masalah ini mungkin akan terlihat saat anak duduk di
kelas 1 SD (6 tahun), tapi pada umumnya tidak dikenali sampai anak duduk di
kelas 2 atau 3 SD.
b)
Gangguan Menulis
Keterbatasan ini muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahsa,
tanda baca, atau kesulitan dalam membuat paragraf. Kesulitan in umumnya tampak
saat anak usia 7 tahun (kelas 2 SD).
c)
Gangguan Membaca
Gangguan mambaca( disleksia),
mengacu pada anak yang mengalami gangguan pemahaman mengenali kata-kata dan
bacaan. Disleksia diperkirakan mempengaruhi 4% dari anak-anak usia sekolah
(APA,2000). Disleksia biasanya tampak
pada anak usia 7 tahun ( kelas 2 SD). Mereka mungkin salah mempersepsikan
huruf seperti jungkir balik(contoh
antara huruf W dan M).Gangguan ini lebuh banyak pada anak
laki-laki daripada anak perempuan. Anak laki-lakidengan gangguan disleksia
sering menunjukan perilaku mengganggu di kelas daripada anak perempuan,
sehingga lebih besar kemungkinan untuk menjalani evaluasi.
Intervensi dalam Ganguan Belajar:
a)
Model psikoedukasi
Pendekatan
ini menekankan kekuatan dan preferensi anak daripada usaha untuk mengoreksi
defisiensi yang diduga mendasarinya. Misalya seorang anak menyimpan informasi
auditorilebih baik dari visual, akan diajar secara verbal, misalkan menggunakan
pita, bukan materi visual.
b)
Model behavioral
Model ini
mengasumsikan bahwa untuk bisa belajar dengan efektif, seorang harus belajar
mengenali huruf, menghubungka suara dengan huruf, kemudian mengkombinasikan
huruf dan suara menjadi kata dan seterusnya.
c)
Model medis
Penanganan
harus diarahkan pada patologi yang mendasarinya bukan pada ketidak mampuan
dalam belajar.
d) Model neurpsikologi
Mengasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan defisit dalam
pengolahan informasi yang mempunyai dasar biologis.
e)
Model Linguistik
Pendekatan
ini berfokus pada defisiensi dasar dalam bahasa anak, Seperti kegagalan
mengenali suara dak kata yang saling dikaitkan untuk menghasilkan arti, yang
menimbulkan masalah dalam mengeja,membaca, menemukan kata-kata untuk
mengekspresikan diri mereka.
f)
Model kognitif
Model ini
berfokus pada bagaimana anak-anak mengatur pemikiran mereka ketika mereka
belajar akademik.. Dalam perspektif ini anak dibantu utuk belajar:
1)
Mengenali sifat dari tugas
belajar
2)
Menetapkan strategi masalah
yang efektif untuk menyelesaikan tugas .
3)
Memonitor tugas mereka.
4. Gangguan Komunikasi
Gangguan
komunikasi meliputi, kesulitan dalam pemahaman atau penggunaan bahasa. Ketegori
dari gangguan komunikasi:
1)
Gangguan bahasa ekspresif;
melibatkan hendaya dalam penggunaan bahasa verbal, spertikosa kata yang lambat,
kesalahan dalam tata bahasa, kesulitan mnegingat dan kesulitan kembali
mnegingat kata-kata.
2)
Gangguan bahasa responsive;
mengacu padaanak yang memiliki kesulitan baik dalam memahami maupun memproduksi
bahasa verbal. Kasus ini ditandai oleh kesulitan memahami kata dan kalimat
sederhana (seperti jauh dekat).
3)
Gangguan fonologik; melibatkan
kesulitan dalam artikel suara dalam berbicaratanpa adannya kerusakan pada
mekanisme bicara atau hendaya neurologis.
6. Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Perilaku Bermasalah
Kategori gangguan ini
mengacu pada masalah perilaku yang sangat beragam, termasuk gangguan attention-deficit
hyperactive (ADHD), gangguan tingkah laku (CD), dan gangguan sikap
menentang (ODD). Gangguan-gangguan ini menimbulkan masalah sosial dan biasanya
lebih merugikan orang lain dari pada anak-anak yang menerima diagnosisi ini.
Walaupun terdapat perbedaan antara gangguan-gangguan ini, tingkat terjadinya
beberapa gangguan ini secara bersamaan amat tinggi (Jensen, Martin, &
Cantwell, 1997).
a)
Gangguan Attention-Deficit
Hyperactive (ADHD)
ADHD
merupakan gangguan perilaku yang ditandai oleh aktivitas motorik berlebih dan
ketidakmampuan untuk memfokuskan perhatian.
Pada
gangguan ADHD, anak memperlihatkan impulsivitas, tidak adanya perhatian, dan
hiperaktivitas yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat perkembangan mereka.
ADHD
dibagi menjadi 3 subtipe: tipe prodominan tidak adanya perhatian, tipe
prodominan hiperaktif/impulsif, dan tipe kombinasi yang ditandai dengan adanya
perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas tingkat tinggi (APA, 2002). Gangguan
ini biasanya didiagnosis pertama kali ketika anak berada di sekolah dasar.
Ciri-ciri diagnostik dari
ADHD:
l Kurangnya perhatian : gagal memperhatikan detail, melakukan
kecerobohan, sering lupa melakukan aktivitas sehari-hari, dll.
l Hiperaktivitas : pola perilaku abnormal yang ditandai oleh kesulitan
mempertahankan perhatian dan kegelisahan yang ekstrim. Ciri-cirinya: tangan
atau kaki bergerak gelisah di kursi, berlarian, dan kesulitan bermain dengan
tenang.
l Impulsivitas : sering berteriak di kelas, dan tidak bisa menunggu
giliran dalam suatu aturan, permainan, dsb.
Walaupun
anak-anak ADHD cenderung memiliki inteligensi rat-rata atau di atas rata-rata,
mereka seringkali berprestsi di bawah potensinya di sekolah. Mereka kemungkinan
besar memiliki kesulitan belajar, mengulang kelas, dan ditempatkan dalam kelas
khusus (Faraone dkk, 1993). Mereka juga lebih sering mengalami luka fisik dan
masuk rumah sakit dibandingkan teman-teman sebayanya ("Children with
Hyperactivy 2001; Leibson dkk, 2001). Mereka juga cenderung lebih beresiko
mengalami gangguan mood, kecemasan, dan masalah dalam hubungan dengan
anggota keluarga (Biederman dkk., 1996a,b ). Anak-anak dengan ADHD lebih besar
kemungkinannya untuk gagal dalam mengemban tugas, diskors dari sekolah, dan
membutuhkan dari interverensi lanjutan selama masa remaja, dibandingkan
teman-teman sebaya lainnya (Lambert dkk., 1987).
Faktor
keluarga menjadi penyebab ADHD, seperti konflik orang tua-anak, konflik
perkawinan yang negatif, dan interaksi orang tua-anak yang penuh dengan
paksaan. Selain itu, faktor-faktor lingkungan dan interaksi genetis-lingkungan
juga memegang peranan penting (Bradley & Golden, 2001).
Pendekatan
penangan ADHD dapat menggunakan terapi obat (Ritalin atau obat stimulan lain),
terapi kogitif-behavioral untuk membantu mengembangkan perilaku yang lebih
tepat dan keterampilan memperhatikan.
b)
Gangguan Tingkah Laku (CD)
Gangguan
tingkah laku adalah gangguan psikologis pada anak-anak dan remaja yang ditandai
oleh perilaku bermasalah dan antisosial yang melanggar norma-norma sosial yang
melanggar hak orang lain. Gannguan tingkah laku bersifat kronis dan persisten
(Lahey dkk., 1995).
Ciri-ciri
anak yang yang mengalami gangguan tingkah laku, dia akan secara sengaja
bertindak agresif dan kasar, tidak punya perasaan dan tidak memiliki rasa
bersalah terhadap kelakuan buruk mereka. Anak dengan gangguan tingkah laku
sering memilki gangguan atau masalah perilaku lain, termasuk ADHD, menarik diri
secara sosial dan depresi mayor (Lamber dkk., 2001).
CD
biasanya disebabkan oleh pengasuhan yan buruk, seperti kurangnya reinforcement
untuk perilaku yang tepat. Maka pendekatan penanganannya dengan memberi
pelatihan kepada orang tua untuk membantu menggunakan reinforcement secara
lebih tepat.
c)
Gangguan Sikap Menentang (OOD)
Gangguan
sikap menentang (OOD) ditandai oleh perilaku negatif dan menentang sebagai
respon terhadap perintah dari orang tua, guru, atau figur otoritas lain.
Anak-anak OOD dapat bersikap dengki atau dendam kepada orang lain, tetapi
biasanya tidak menunjukkan perilaku kasar, agresif, dan nakal seperti pada
gangguan tingkah laku.
Faktor
penyebab OOD kemungkinan komponen genetis dan abnormalitas otak ringan yang
diasosiasikan dengan ADHD.sebagian ahli yakin bahwa sikap menentang merupakan
ekpresi dari temperamen anak yang digambarkan sebagain tipe "anak yang
yang tidak teselesaikan atau kontrol orang tua yang terlalu ketat dapat menjadi
akar dari gangguan ini. Teoritikus psikodinamika melihat OOD sebagai tanda dari
fiksasi dari masa anal perkembangan psikoseksual, ketika konflik di antara
orang tua dan anak mungkin muncul pada toilet training. Konflik-konflik
yang tersisa mungkin diekspresikan dalam bentuk dalam bentuk menentang tehadap
harapan-harapan orang tua (Egan,1991). Teoritikus belajar melihat perilaku
menentang muncul akibat penggunaan strategi reinforcement yang tidak
tepat dari orang tua.
7. Kecemasan
dan Depresi
Kecemasan dan ketakutan
merupakan ciri normal pada masa kanak-kanak. Namun kecemasan dianggap tidak
normal jika berlebihan dan menghambat fungsi akademik dan sosial atau menjadi
menyusahkan atau persisten.
Gangguan kecemasan yang
umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja mencakup fobia spesifik, fobia
sosial, dan gangguan kecemasan menyeluruh.
a)
Gangguan Kecemasan akan
Perpisahan
Gangguan
kecemasan akan perpisahan merupakan gangguan pada anak-anak yang ditandai oleh
ketakutan yang berlebihan akan perpisahannya dari orang tua atau pengasuh
lainnya. Gangguan ini didiagnosis jika kecemasan akan perpisahan tersebut
persisten dan berlebihan atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Ciri-ciri
dari gangguan ini adalah mimpi buruk, sakit perut, mual dan muntah ketika
mengantisipasi perpisahan (seperti pada hari-hari sekolah),temper tantrum bila
orang tua akan pergi. Ganguan ini dapat berlangsung sampai dewasa, menyebabkan
perhatian yang berlebihan pada keselamatan ank-anak dan pasangan, serta
kesulitan menoleransi perpisahan apapun dari mereka.
Perspektif
tentang gangguan gangguan kecemasan di masa kanak-kanak, menurut teoretikus
psikoanalisis merupakan kecemasan-kecemasan dan ketakutan pada masa kecil,
seperti yang terjadi pada orang dewasa, melambangkan konflik-konflik yang tidak
disadari. Teoretikus kognitif memfokuskan pada peran bias-bias kognitif yang
mendasari reaksi kecemasan, seperti mengharapkan hasil-hasil yang negatif, self-talk
yang negatif, dan menginterpretasikan situasi-situasi yang tidak jelas sebagai
mengancam.
Teoretikus
belajar menyatakan bahwa munculnya kecemasan menyeluruh dapat menyentuh
tema-tema yang luas, seperti ketakutan akan penolakan atau kegagalan yang
dibawa pada berbagai situasi. Ketakutan terhadap penolakan yang tidak kuat
dapat digeneralisasikan pada hampir seluruh area interaksi sosial san prestasi.
Faktor genetis dapat pula memegang peranan dalam kecemasan akan perpisahan dan
gangguan kecemasan lain.
Penanganan kecemasan dapat dilakukan dengan teknik-teknik kognitif
seperti menggantikan self-talk yang menimbulkan kecemasan dengan self-talk
yang bersifat coping msalah juga membantu. Pendekatan kognitif-behavioral
telah memberikan hasil-hasil yang mengagumkan dalam menangani gangguan
kecemasan di masa kanak-kanak (Baret dkk., 2001; Beidel, Turner & Morris,
2000; Braswell & Kendall, 2001), serta penangan dengan obat-obatan flufoxamine (Luvox).
b)
Depresi pada Masa kanak-kanak
dan Remaja
Anak-anak
dan remaja dapat menderita gangguan mood, termasuk gangguan bipolar dan depresi
mayor. Seperti o rang dewasa yang depresi, anak-anak dan remaja ini memiliki
perasaan tidak berdaya,pola berpikir yang lebih lebih terdistorsi,
kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri sehubungan dengan
kejadian-kejadian negatif, self esteem, self-confidance, dan persepsi
akan kompetensi yang lebih rendah dibandingkan dengan teman-teman sebayanya
yang tidak depresi (Lewinsohn dkk., 1994; Kovacs, 1996).
Anak-anak
dan remaja yang mengalami depresi sering melporkan adanya episode kesedihan dan
menangis, merasa apatis, sulit tidur, lelah, dan kurang nafsu makan. Mereka
juga memiliki pikiran-pikiran untuk bunuh diri dan bahkan mencoba untuk bunuh
diri. Di antara para remaja, agresivitas dan perilaku seksual yagn berlebihan
juga dapat menjadi tanda adanya depresi.
Anak-anak
yang depresi mungkin gagal dalam melabel perasaan mereka sbagai depresi atau
menunjukkan perilaku yang menyelubungi depresi, seperti CD dan keluhan fisik.
Anak-anak yang depresi kadang kurang memiliki berbagai ketrampilan, termasuk
ketrampilan akademik, atletik, dan sosial (Seroczynski, Cole & Maxwell,
1997).
Depresi
pada anak jarang terjadi dengan sendirinya. Mereka umumnya memiliki gangguan
psikologis lain, terutama gangguan
keceamasann dan CD atau ODD (Hammen & Compas, 1994). Secara keseluruhan,
depresi masa kanak-kanak meningkatkan kesempatan anak untuk mengembangkan
gangguan psikologis lain paling tidak dalam 20 bagian.
Penangan
dalam mengatasi depresi pada masa anak-anak dan remaja dapat dilakukan dengan
terapi kognitif-behavioral, yang biasanya melibatkan model ketrampilan coping
dimana anak-anak dan remaja memmperoleh pelatihan ketrampilan sosial,
ketrampilan pemecahan masalah, dan cara-cara meningkatkan frekuensi dari aktivitas
yang menyenangkan serta mengubah gaya berpikir depresi. Di samping itu, terapi
keluarga dapat bermanfaat dalam membantu keluarga memecahkan konflik-konflik
dan mengatur kembali hubungan mereka sehingga anggota keluarga dapat menjadi
lebih suportif satu sama lain. Obat anti depresan juga efektif dan aman untuk
menangani depresii pada anak.
Faktor-faktor
risiko dari bunuh diri pada remaja meliputi gender, usia, geohrafi, ras,
depresi, perilaku stres, penyalahgunaan obat, dan penularan sosial.
8.
Ganguan Eliminasi
Gangguan eliminasi
merupakan masalah hendaya dalam kontrol terhadap buang air kecil (enuresis) dan
buang air besar (enkopresis) yang tidak berhubungan dengan penyebab organik.
Kedua gangguan tersebut lebih umum terjadi pada anak laki-laki.
a)
Enuresis
Enuresis berasal dari
bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan auron,yang berarti “urine”.
Enuresis adalah kegagalan mengontrol BAK setelah seseorang mencapai usia
“normal” untuk mampu melakukan kontrol. Enuresis diperkirakan mempengaruhi 7%
anak laki-laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya hilang
dengan sendirinya pada usia remaja atau sebelumnya, walaupun pada 1% kasus
masalah ini berlanjut sampai dewasa (APA, 2000).
Enuresis dapat terjadi
selama tidur malam saja, selama anak terjaga saja, atau keduanya. Enuresis saat
tidur malam saja adalah tipe yang paling umum, dan enuresis yang muncul saat
tidur disebut mengompol.
Ciri-ciri diagnostik dari
Enuresis
l Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik
disengaja maupun tidak).
l Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak berada pada tingkat
perkembangan yang setara).
l Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3
bulan, atau menyebabkan hendaya yang signifikan dalam fungsi atau distres.
l Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.
Perspektif Teoretis. Teori psikodinamika mengemukakan bahwa enuresis dapat
mempresentasikan ekspresi kemarahan terhadap orang tua karena pelatihan BAK dan
BAK yang keras. Teoretikus belajar menekankan bahwa enuresis muncul paling
sering pada anak-anak dengan orang tua yang mencoba melatih mereka sejak usia
dini. Kagagalan pada masa awal dapat menghubungkan kecemasan dengan usaha untuk
mengontrol BAK.
Enuresis primer, ditandai oleh mengompol
yang terus menerus dan tidak pernah mampu untuk mengontrol BAK, diturunkan
secara genetis. Enuresis sekunder tampak pada anak-anak yang memiliki masalah
setelah mampu mengontrol BAK dan diasosiasikan dengan mengompol secara berkala.
Penanganan. Enuresis biasanya hilang
dengan sendirinya setelah anak-anak menjadi dewasa. Metode behavioral
mengondisikan anak-anak untuk bangun bila kandung kemih mereka penuh. Salah
satu contohnya adalah metode bel dan bantalan dari Mowrer. Caranya adalah
dengan meletakkan bantalan di bawah anak yang sedang tidur. Bila bantalan
basah, sirkuit listrik menutup menyebabkan bel berbunyi dan membangunkan anak
yang masih tidur.setelah beberapa kali pengulangan, anak-anak belajar untuk
bangun sebagai respon dari tekanan kandung kemih sebelum mereka mengompol. Teknik
ini biasanya dilakukan dengan metodeclassical conditioning.
Terapi obat dapat
dilakukan dengan menggunakan flufoxamine, sebuah SSRI tipe anti depresan,
bekerja pada sistem otak yang mengontrol BAK.
b)
Enkopresis
Enkopresis berasal dari
bahasa Yunani en- dan kopros, yang
artinya “feses”. Enkopresis adalah kurangnya kontrol terhadap keinginan buang
air besar yang bukan disebabkan oleh masalah organik. Anak harus memiliki usia
kronologis minimal 4 tahun, atau pada anak-anak dengan perkembangan yang
lambat, usia mentalnya minimal 4 tahun (APA, 2000). Sekitar 1% dari anak usia 5
tahun menederita enkopresis. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak
laki-laki. Enkopresis jarang terjadi pada
usia remaja kecuali mereka yang mengalami retardasi mental yang parah atau
intens. Faktor-faktor predisposisi yang mungkin diantaranya adalah toilet
training yang tidak konsisten atau tidak lengkap dan sumber stres psikologis,
seperti kelahiran saudara sekandung atau mulai bersekolah.
Soiling (mengotori),
tidak seperti enuresis, lebih sering terjadi pada siang hari. Hal ini akan
memalukan bagi anak. Anak-anak membuat jarak dengan teman-temannya atau
pura-pura sakit agar bisa tinggal di rumah.
Metode operant
conditioning dapat membantu dalam mengatasi soiling. Disini diberikan reward
(dengan pujian atau cara-cara lain) untuk keberhasilan usaha self-control dan
hukuman untuk ketidaksengajaan (misanya, dengan memberi peringatan agar lebih
memperhatikan rasa ingin BAB dan meminta anak untuk membersihkan pakaian
dalamnya). Bila enkopresis bertahan, direkomendasikan evaluasi medis dan
psikologis untuk menentukan kemungkinan penyebab dan penanganan yang tepat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan jiwa pada anak-anak dan
remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan tingkat usianya, menyimpang
bila dibandingkan dengan norma budaya, yang mengakibatkan kurangnya atau
terganggunya fungsi adaptasi. Jenis-jenis perilaku abnormal padaanak antara
lain: gangguan perkembangan pervasif, retardasi mental, gangguan belajar,
gangguan komunikasi, gangguan pemusatan perhatian dan perilaku bermasalah,
kecemasan dan depresi, gangguan eliminasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Nevid,
Jeffrey s., dkk. 2003. Psikologo Abnormal II. Jakarta:Erlangga.